Fatwapedia.com – Setidaknya ada pokok-pokok yang akan dibahas dalam artikel ini. Yang kurang lebih mencakup hukum dari pemakaian sperma dari bank sperma dan hukum dari pemakaian ASI dari bank ASI?
Pertama, Bank Sperma
Bank sperma muncul karena untuk memenuhi keperluan orang tua yang menginginkan anak, akan tetapi tidak dapat mempunyai anak dikarenakan kelainan atau lain sebagainya. Namun, tidak semuanya karena kelainan dari orang tua melainkan juga karena menginginkan bakal bayi yang memiliki kelebihan dari sperma yang dibeli di bank Sperma, dengan harapan kualitas sperma yang membuahi sel telur (ovum) istri akan menghasilkan anak yang diharapkan.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasannya donor sperma tetap dan harus dirahasiakan siapa pendonornya, dan tidak boleh diketahui oleh resipien (wanita penerima sperma donoran). Hal tersebut di atas berarti bahwa donor sperma tetap kabur. Dengan demikian anak hasil dari pembuahan oleh sperma donoran lebih kabur statusnya daripada anak hasil hubungan zina. Karena apa, seburuk-buruk anak hasil zina statusnya masih dapat diketahui siapa bapaknya (akan tetapi tidak sah menurut hukum Islam), yang paling tidak sang ibu mengetahui siapa bapaknya. Berbeda dengan sperma donoran yang melarang untuk mengetahui siapa sebagai pendonor kecuali dokter yang mengurusi hal tersebut karena menurut peraturan seorang pendonor harus dirahasiakan identitasnya.
Untuk status dari anak hasil inseminasi buatan adalah sama dengan status anak hasil zina, hal tersebut bila dikaitkan dengan perwalian dalam perkawinan bagi anak wanita dan hak waris (pria maupun wanita), yang mana harus dengan wali hakim dan anak tersebut hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja. Jadi, menurut pandangan Islam hukum bank sperma adalah HARAM.
Dalam lain masalah yang masih memanfaatkan bank sperma adalah apabila sperma yang didonorkan tersebut adalah milik suami sahnya sendiri yang telah meninggal dan sang istri ingin mempunyai anak lagi tapi tidak dengan menikah lagi melainkan dengan memanfaatkan sperma suaminya yang telah terlebih dahulu disimpan di bank sperma sebelum dia meninggal. Kalau dilihat sepintas hal tersebut tidak masalah karena spemanya masih milik suaminya sendiri. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama hal tersebut jangan sampai dilakukan. Karena akan mengundang fitnah bagi si wanita tersebut walaupun spermanya dari suaminya yang sah menurut hukum Islam. Demikian juga dapat menjadikan alasan bagi janda-janda yang hamil dengan dalih memanfaatkan bank sperma dari sperma suaminya sendiri yang telah meninggal, padahal dalam kenyataannya sperma tersebut bukan dari suaminya sendiri.
Hal yang dilakukan tersebut di atas adalah usaha mengadakan tindakan preventif, sehingga tidak menimbulkan fitnah (Sadd Dzari’ah)
Kedua, Bank ASI
Tiada yang meragukan kebaikan dan manfaat dari ASI karena ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, karena proses pengolahannya telah berjalan secara alami dalam tubuh ibu karena Rahmad dan Rahim Allah SWT.
Sekarang bagaimana dengan adanya bank ASI yang mampu menyediakan ASI bagi ibu yang baru melahirkan anak akan tetapi tidak dapat menghasilkan ASI secara optimal atau karena sesuatu hal. Sebelum kita mengetahui hukumnya mari kita lihat kembali hukum Islam apabila seorang bayi minum ASI akan tetapi bukan dari ibunya. Status ibu yang menyusukan ASInya pada bayi orang lain adalah menjadi sama dengan ibunya sendiri, bayi jikalau sudah besar tidak boleh menikahi wanita yang menyusuinya dahulu juga anak-anaknya karena sama dengan saudara atau dalam Islam disebut dengan saudara seper-susuan.
Gambaran yang telah dikemukakan di atas sudah jelas siapa yang menyusukan dan siapa yang disusui itu. Hukumnya juga jelas yakni sama dengan mahram.
Sekarang yang menjadi persoalan adalah adanya bank ASI yang menyimpan ASI yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan. ASI yang disimpan di bank ASI sama dengan darah yang disumbangkan untuk kemaslahatan ummat, maka hukumnya sama seperti tranfusi darah yakni boleh diberikan kepada yang membutuhkannya. Yang membedakan adalah daarah adalah barang najis sedangkan air susu bukanlah najis. Dan sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana hubungan antara pendonor dengan penerima donor ASI? Apakah sama dengan ar-Radha’ah (saudara sepersusuan)?.
Menurut M. Ali Hasan hal itu tidaklah sama dengan ar-Radha’ah karena, agak sukar mengetahui atau menentukan pendonor ASI itu[2]. Pemanfaatan ASI adalah kemungkinan besar karena terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi sang ibu masih mungkin untuk menyusukan ASI-nya kepada buah hatinya maka dia pasti akan melakukannya.
Namun menurut hemat penulis hal tersebut bisa juga haram hukumnya[3]. Karena dari peluang untuk menjadikan ar-Radha’ah yang tidak jelas dan ibu susuannya juga tidak jelas, apabila dimasa yang akan datang tanpa sengaja peluang untuk menikahi wanita atau laki-laki yang dari anak ibu susuan tersebut terjadi maka pernikahan tersebut menjadi haram. Karena hal tersebut tadi, maka alangkah baiknya untuk tidak memakai ASI dari Bank ASI. Dimasa sekarang masih banyak susu-susu pengganti ASI walaupun tidak sebaik ASI, alangkah baiknya hal itu dihindari dan memanfaatkan teknologi masa kini.
Kesimpulan
Haram hukumnya bila memanfaatkan bank sperma apabila dengan niatan untuk memperoleh keturunan sesuai dengan yang diharapkan, namun boleh apabila sperma yang didonorkan itu adalah dari suami sendiri. Akan tetapi alangkah baiknya untuk tidak memanfaatkan bank sperma untuk menghindari fitnah.
Memanfaatkan bank ASI adalah boleh menurut sebagian besar ulama’ karena untuk kemaslahatan ummat, akan tetapi juga memiliki permasalahan yakni, masalah saudara seper susuan yang berakibat pada masa depan anak. Semoga bermanfaat.