Fatwapedia.com – Memaafkan adalah perkara mudah namun berat untuk dilakukan. Itu bagi manusia. Adapun bagi Allah memaafkan kesalahan hamba-Nya adalah perkara gampang. Bahkan ada tiga perkara yang Allah memaafkan.
Sahabat Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhuma meriwayatkan dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku karena aku (apa yang mereka lakukan) tanpa ada kesengajaan, lupa dan apa yang mereka dipaksa untuk melakukannya.” [Hadits Hasan riwayat Ibnu Majah dan Al Baihaqi]
Hadits diatas menunjukkan bahwa orang yang melakukan suatu larangan Allah atau meninggalkan sesuatu dari perintah Allah tanpa ada kesengajaan untuk melakukan larangan Allah atau meninggalkan perintahNya maka orang yang seperti ini tidak dicela di dunia dan tidak diadzab di akherat.
Demikan pula orang yang melakukan hal-hal tadi karena lupa atau karena dipaksa. Ini dimaafkan oleh Allah sebagai nikmat dan karunia dariNya.
Keutamaan Allah atas umat ini.
Seperti inilah agungnya karunia Allah atas umat ini, dimana Allah meringankan beban atas umat ini yang pada umat sebelum kita tidak mendapatkan keringanan seperti itu. Dahulu Bani Israil jika di perintah dengan sesuatu lalu mereka lupa untuk mengerjakannya atau di larang dari sesuatu lalu mereka tidak sengaja melakukannya maka Allah menghukum mereka karenanya, sementara umat ini Allah maafkan apa yang dilakukan karena lupa atau tidak sengaja. Allah kabulkan permohonan do’a umat ini.
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.”(QS. Al Baqaroh: 286)
Allah Ta’ala berfirman:
ولَيْس عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.”(QS. Al Ahzab: 5)
Demikian pula, Allah tidak membebani hambaNya sesuatu yang mereka tidak mampu untuk melakukannya. Allah berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al Baqarah: 286)
Dan merupakan hikmah atau kebijaksanaan Allah bahwa Ia tidak menghukum seorang dari umat ini kecuali bila ada unsur kesengajaan untuk bermaksiat dan menyelisihi perintah. Karena suatu siksaan atas amal atau pahala dikaitkan dengan adanya niatan. Namun hal ini bukan berarti dia lepas dari hukum yang berkaitan dengan perbuatannya. Terutama yang berkaitan dengan hal-hal manusia. Sebagai contoh: Orang yang memecahkan piring orang lain tanpa ada kesengajaan maka dia tidak berdosa namun dia dituntut untuk menggantinya atau memberikan senilai piring yang ia pecahkan. Contoh lain: orang yang lupa suatu sholat wajib hingga habis waktunya maka dia tidak berdosa, namun dia dituntut untuk mengerjakan sholat yang ia tinggalkan karena lupa.
Beberapa contoh dari Al Qur’an dan hadits
Disana ada sekian contoh dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah yang menunjukkan tentang tidak dicatatnya sebagai dosa dari orang yang melakukan pelanggaran karena tidak sengaja atau lupa meskipun dia tetap dibebani dengan hukum yang lain, diantara contohnya:
1. Pembunuhan tanpa ada kesengajaan.
Orang yang menyengaja memanah binatang buruan atau memanah musuh (yang kafir) lalu panah tadi mengenai seorang muslim (hingga mati) atau seorang yang darahnya terjaga menurut agama, maka orang yang memanah tersebut tidak berdosa meskipun tidak berarti bebas dari tuntutan untuk membayar tebusan dan kaffarot.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisa: 92)
2. Mengakhirkan sholat dari waktu yang telah ditentukan.
Barangsiapa mengakhirkan sholat dari waktunya karena ada udzur (halangan bukan atas kesengajaan) seperti karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa. Namun dia dituntut untuk mengkodlo (membayar dengan mengerjakannya) seketika ia terbangun dari tidurnya atau ketika ia ingat.
Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik Radliyallah ‘anhu dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Barangsiapa yang lupa suatu sholat hendaknya dia melakukannya ketika mengingatnya, tidak ada kaffarot (tebusan) kecuali hanya itu.”
Dan disebutkan dalam riwayat Imam Muslim: “Barangsiapa lupa suatu sholat atau tertidur dari sholat hendaknya ia melakukan sholat bila mengingatnya…..”
3. Mengucapkan Kekufuran.
Orang yang dipaksa untuk mengucapkan ucapan kekafiran (jika tidak mau akan dibunuh atau dipotong anggota tubuhnya atau yang semisalnya) maka kalau dia mampu untuk mengatakan sesuatu yang mengesankan dihadapan orang yang memaksanya bahwa dia telah mengucapkan apa yang diinginkan, hendaknya ini yang dilakukan yaitu tidak berterus terang. Namun jika tidak memungkinkan kecuali harus berterus terang maka dalam kondisi seperti ini boleh mengucapkannya tanpa diyakini dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”(QS. An Nahl: 106)
Tetapi bila orang yang dipaksa ini tetap bersabar dengan tidak mau mengucapkan ucapan kekafiran, bersabar atas gangguan dan hal yang menyakitkan dan mengharap pahala dari Allah tentunya hal ini lebih mulia. Seandainya dia terbunuh karena memegang perinsip akidahnya yang benar dan tidak mau mengucapkan ucapan kekafiran maka dia termasuk orang yang mati syahid. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَاتُشْرِكْ بِاللِه شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ أَوْحُرِّقْتَ
“Janganlah kamu menyekutukan Allah sedikitpun meski kamu di potong atau di bakar.” [HR. Ibnu Majah]
Maksudnya: janganlah kamu mengucapkan ucapan kesyirikan dan semisalnya bila kamu dipaksa untuk melakukan demikian meskipun berakibat seperti yang disebutkan dalam hadits.
Perincian penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan tanpa ada kesengajaan karena lupa.
Sesungguhnya konsekuensi atas perbuatan yang di kerjakan karena tidak sengaja atau lupa itu berbeda-beda dengan perbedaan perbuatan atau ucapan yang dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada empat macam berikut.
Pertama: Jika ketidaksengajaan atau lupa terjadi pada meninggalkan apa yang di perintahkan maka tidak gugur kewajiban itu, bahkan harus disusul dengan dilakukan. Misalnya seandainya seorang memberikan zakat hartanya kepada orang yang ia sangka fakir namun ternyata ia kaya maka tidak sah dan harus ia berikan kepada orang fakir. Orang yang memberi zakat tersebut boleh menarik zakatnya yang keliru itu. Misal karena lupa: seandainya seorang bertayamum karena lupa padahal dia punya air, maka wajib atasnya untuk berwudhu dan seandainya dia sudah sholat dengan tayamum tersebut maka dia harus mengulang sholatnya.
Kedua: Jika ketidaksengajaan dan lupa terjadi pada perkara yang dilarang dan bukan termasuk merusak maka tidak ada tuntutan atasnya, contohnya: seorang minum suatu minuman dia tidak tahu kalau itu adalah khomer atau arak, dia tidak berdosa dan tidak dihukum. Dan demikian pula orang yang sedang ihrom (ketika haji atau umroh) bila lupa memakai minyak wangi, ia tidak dikenai hukuman apa-apa.
Ketiga: Bila ketidaksengajaan atau lupa terjadi pada bentuk melakukan sesuatu yang dilarang dan larangan itu termasuk dari bentuk merusak maka tidak gugur dari tuntutan. Contohnya: Seorang yang disuguhi makanan dari merampas miliknya orang, dan orang yang disuguhi itu tahu namun ketika makan ia lupa bahwa makanan tersebut dari merampas maka ia menanggung.
Demikan pula orang yang membunuh binatang buruan disaat ihrom dalam kondisi ia lupa atau tidak tahu hukumnya maka dia dituntut membayar fidyah sebagai kaffarat atas perbuatannya.
Keempat: Jika ketidaksengajaan atau lupa terjadi pada bentuk melakukan sesuatu yang dilarang dan perbuatan tersebut sesuatu yang bisa menyebabkan seorang dikenai hukuman maka ketidak sengajaan atau lupa adalah bentuk kesamaran yang hukuman itu gugur dari pelaku.
Misalnya, bila ada seorang membunuh orang muslim dinegeri kafir yang dinyatakan statusnya sebagai negeri perang maka si pembunuh tadi tidak dikenai hukuman kishosh dan tebusan.
Yang tidak dimaafkan dari orang yang lupa
Apa yang telah lalu dari penjelasan seputar tidak adanya tuntutan atas suatu perbuatan karena lupa itu bagi orang yang lupa yang tidak ada upaya untuk terjadinya kelupaan. Adapun orang menyebabkan dirinya terjatuh kedalam kelupaan maka lupa yang seperti ini terkadang tidak menjadikannya lepas dari tuntutan. Misalnya ada seorang yang mengetahui pakaiannya ada najis lalu dia menunda-nunda untuk menghilangkan najis tadi sampai dia lupa dan sholat dengan pakaian najis tadi maka orang seperti ini dianggap orang yang meremehkan disamping dia mengkodlo sholatnya.
Tentang lupa membaca basmalah ketika menyembelih
Orang yang menyengaja tidak membaca basmalah ketika menyembelih maka sembelihannya tidak halal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”(QS. Al An’am: 121)
Adapun apabila karena lupa maka boleh dimakan sebelihannya.
Bercakap-cakap dalam sholat karena lupa
Orang yang seperti ini tidak batal sholatnya menurut madzhab Imam Syafii.
Lupa makan, minum dan bersetubuh saat puasa
Tidak batal puasa orang yang makan atau minum karena lupa ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa lupa, lalu dia makan atau minum dalam keadaan puasa, hendaknya ia menyempurnakan puasanya, karena Allahlah yang memberi makan dan minum kepadanya.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
Yang berkaitan dengan perbuatan orang yang dipaksa
Kosekuensi hukum yang berkaitan dengan perbuatan orang yang dipaksa berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemaksaan dan tabiat dari perbuatan yang orang dipaksa untuk melakukannya.
Orang yang dipaksa adakalanya ada pada kondisi yang dia tidak ada pilihan dan tidak ada kemampuan untuk mengelak, ini seperti orang yang diikat lalu dibawa paksa memasuki tempat yang ia telah bersumpah untuk tidak memasukinya. Orang yang seperti ini tidak dikatakan melanggar sumpah dan tidak berdosa.
Terkadang ada bentuk paksaan yang seorang bisa mengelak, jika dia melakukannya maka perbuatannya ada konsekuensi. Misalnya orang yang dipaksa untuk membunuh orang lain, jika tidak mau membunuh maka dia yang akan dibunuh. Dalam kondisi ini maka tidak boleh seorang membunuh hanya karena ingin menyelamatkan nyawanya.
Dipaksa untuk melakukan zina dan perkara yang diharamkan selain membunuh
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan yang diharamkan seperti mencuri, minum khomer dan semisalnya maka boleh baginya melakukannya dengan menanggung apa yang ia rusak dari hak manusia.
Catatan: Pemaksaan yang seorang tidak dicatat sebagai dosa bila melakukan pelanggaran adalah jika sampai pada tingkatan terancam nyawanya, anggota tubuhnya, hartanya dan yang semisalnya dimana dia tidak bisa mengelaknya.
Pemaksaan atas perkataan
Mayoritas ulama menyatakan bahwa pemaksaan bisa terjadi pada segala ucapan. Maka, siapa dipaksa atas suatu ucapan yang di haramkan, tidak ada dosa atasnya dan ucapannya tidak berkonsekuensi apapun. Contoh dari ini adalah orang yang dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran. Allah tidak mencatatnya sebagai dosa sebagaimana firmanNya:
إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”(QS. An Nahl: 106)
Pemaksaan atas ucapan juga berlaku pada akad nikah, jual beli, dan pembatalan seperti pemaksaan atas cerai, rujuk, sumpah dan nadzar. Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَاطَلَاقَ وَلَاعِتَاقَ فِى إِغْلاقٍ
“Tidak ada perceraian dan pemerdekaan budak dalam keadaan dipaksa.” [Hadits hasan riwayat Abu Daud]
Keridloan orang yang dipaksa
Bila nampak pada orang yang dipaksa keridloan terhadap apa yang ia dipaksa dengannya dan adanya keinginan dari dirinya untuk melakukannya maka dianggap sah apa yang dia jalani dari akad dan semisalnya.
Pemaksaan yang dianggap sah
Bila seorang dipaksa untuk mengucapkan atau melakukan sesuatu yang ia diwajibkan atasnya maka pemaksaannya tidak menghalangi dari ditetapkannya hukum atasnya. Sebagai contoh.
1. Orang kafir yang berada dinegeri yang dihukumi negeri perang bila dipaksa masuk islam lalu dia mengucapkan syahadat maka sah islamnya.
2. Bila penguasa memaksa seseorang yang punya hutang untuk menjual hartanya guna membayar hutang-hutangnya maka dianggap sah penjualannya.
Demikian penjelasan 3 perkara yang dimaafkan Allah kepada hamba-Nya. Semoga tulisan ini bermanfaat.
[Dinukil dengan ringkas dan sedikit tambahan dari kitab Al Wafi fi syarhil arbain hal 328-341]