Fatwapedia.com – Jalan ke janah (surga) memang banyak rintangan dan halangan. Berbagai tantangan menghadang untuk menggapai nikmat terindah yang tak bisa terbetik di benak. Memang semua yang berharga butuh pengorbanan.
Tapi jangan khawatir sobat, jalan yang susah itu bisa jadi mudah. Jalan yang berat itu bisa jadi gampang. Perhatikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا ، سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
”Siapa yang menempuh suatu perjalanan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan jalannya menuju surga.” [H.R. At Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah didalam Al Misykah]
Loh kok bisa menuntut ilmu memudahkan jalan menuju surga? Coba kita renungkan, sobat.
1. Sedikit Yang Sampai ke Langit Lebih Baik Daripada Banyak Tapi Tertolak
Sobat tentu tahu kalau amalan yang diterima itu ada dua syarat utama. Harus ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu syarat mutlak. Nah, bagaimana kita bisa membedakan antara bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan yang tidak? Jawabannya, kita harus menuntut ilmu. Dengan mempelajari ayat Al Quran dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kita tahu mana yang disyariatkan dan mana yang enggak.
Nah, dengan kita mengetahui mana yang disyariatkan dan mana yang tidak berarti amalan kita efisien. Semua amalan yang kita amalkan Allah subhanahu wa ta’ala terima. Makanya, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengungkapkan untaian nasihat,
الاقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الاجْتِهَادِ فِي بِدْعَةٍ
“Sederhana dalam amalan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak dicontohkan.”
2. Amalan Ringan Tapi Berat di Timbangan Lebih Baik Daripada Amalan Berat Tapi Kurang Berbobot
Ada loh amalan-amalan yang ringan tapi pahalanya mantap. Ada juga amalan yang lebih berat tapi pahalanya lebih sedikit. Nah, dengan menuntut ilmu, sobat bisa memberi peringkat mana amalan yang harus kita lakukan. Kalau bisa dilakukan semenit, kenapa harus berjam-jam. Begitu ‘kan teman-teman?
Butuh contoh?
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Ummul Mukminin, Juwairiyah radhiyallahu ‘anha. Alkisah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada pagi hari saat salat Subuh.
Juwairiyah waktu itu masih di tempat salat beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pulang dari masjid dalam keadaan Juwairiyah radhiyallahu ‘anha masih duduk di tempatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengatakan, “Engkau tetap pada keadaan seperti aku berpisah denganmu?”
Juwairiyah pun mengatakan, “Ya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengajarkan, “Aku telah membaca satu zikir setelah aku berpisah denganmu. Zikir itu terdiri dari empat kalimat, dibaca tiga kali. Seandainya zikir ini ditimbang dengan apa yang engkau baca sejak pagi tadi, niscaya akan lebih berat darinya. Ucapan ini adalah:
سبحان الله وبحمده عدد خلقه ورضى نفسه وزنة عرشه ومداد كلماته
”Mahasuci Allah dengan memuji-Nya. Tasbih sebanyak makhluk-Nya, tasbih yang membuat ridha Allah, tasbih yang seberat ‘Arsy-Nya, dan tasbih yang sebanyak tinta kalimat-Nya. ”
Coba bayangkan saudaraku, hanya dengan kalimat ini dibaca tiga kali, lebih berat daripada apa yang dibaca oleh ibunda Juwairiyah radhiyallahu ‘anha semenjak pagi buta. Bayangkan! Cuma beberapa kalimat! Gampang bukan? Dengan tenaga yang sedikit, kita bisa dapatkan manfaat selangit. Tapi, hanya yang memiliki ilmu saja yang bisa mengamalkannya. Bukannya begitu?
3. Rutinitas Bernilai Ibadah, Bukan Ibadah Bernilai Rutinitas
Sobat, kalau dua poin di atas tadi berkaitan dengan optimalisasi ibadah, poin ini berkaitan dengan rutinitas sehari-hari. Tahu enggak, aktivitas kita sehari-hari yang bersifat kebiasaan bisa bernilai ibadah lho. Begini, lmam Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengungkapkan:
عبادات أهل الغفلة عادات وعادات أهل اليقظة عبادات
“Ibadah orang lalai bernilai rutinitas biasa, sedangkan rutinitas orang yang sadar agama bernilai ibadah.” [Syarh Al Arba’in An Nawawiyah]
Maksudnya bagaimana?
Maksudnya, ibadah yang dilakukan orang yang tidak menghayatinya, nilainya seperti aktivitas sehari-hari. Alias nggak berpahala. Misalnya ada orang yang salat, tapi tidak menghayati salatnya, pahalanya pun hilang, minimalnya berkurang. Sama saja seperti orang yang mandi, tidur, makan, dan sebagainya, nggak ada pahalanya. Nah, bukannya orang yang seperti ini rugi besar? Sudah capek, lelah, dan letih, nggak dapat pahala pula. Na’udzu billah min dzalik.
Sebaliknya, orang yang sadar agama, rutinitasnya bisa bernilai ibadah. Mandi, tidur, makan, cuci baju, dan lain sebagainya bisa bernilai pahala di sisi Allah. Hah, masak sih? lya, kalau dia meniatkannya untuk mendukung ibadahnya. Dia mandi untuk membuat dirinya segar dalam ibadah. Dia tidur agar semangat dalam ibadah. Dia makan agar menguatkannya dalam beribadah. Dia mencuci bajunya agar tidak terganggu dalam ibadah. Demikian seterusnya, segala aktivitas yang dilakukannya dilatarbelakangi untuk beribadah. Jadilah, segala aktivitas yang dia lakukan bernilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Dia tahu bahwa Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إنما الأعمال بالنيّات ، وإنما لكل امريء مانوى
“Hanyalah amalan itu tergantung niatnya. Seseorang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Jadi, amalan mubah apa pun akan bernilai menjadi ibadah jika dia meniatkannya.
Kalau kita termasuk orang jenis kedua ini, beruntunglah kita. Coba bayangkan sobat, berapa banyak ibadah kita lakukan sepanjang hari? Mudah, ringan, bernilai ibadah. Bagaimana kita bisa mendapatkannya? Dengan menuntut ilmu. Ya, kesadaran semacam itu hanya akan didapatkan oleh orang yang menuntut ilmu.
Begitulah sobat. Ternyata jalan menuju surga yang dipenuhi halangan dan rintangan bisa menjadi gampang dan mudah. Dengan amalan yang tepat dan niat yang benar, ibadah jadi mudah! Kuncinya satu saudara-saudara: menuntut ilmu agama yang benar.
Pertanyaannya, kapan lagi kita menuntut ilmu kalau bukan sekarang?!