Fatwapedia.com – Pada periode pertama pemerintahan Ir Joko Widodo dan Jusuf Kalla berencana mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) untuk menarik zakat 2,5% bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Muslim.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin, kala itu, mengatakan kebijakan potongan 2,5% untuk zakat bukanlah paksaan, tapi lebih bersifat imbauan.
“PNS Muslim yang berkeberatan bahwa gajinya atau honornya dipungut sebagian 2,5% untuk zakat, dia bisa mengajukan keberatan,” ujar Lukman.
Apa yang dimaksud zakat profesi, yang hingga kini menimbulkan kebingungan dan kontroversi tersebut?
Zakat Profesi adalah zakat yang dikenakan atas setiap pekerjaan atau keahlian baik yang dilakukan oleh sendiri atau bersama orang lain seperti lembaga yang mendatangkan penghasilan dan memenuhi nishab. Secara perhitungan, dapat dibagi dalam dua cara yaitu: pertama zakat dibayarkan langsung dari laba kotor baik secara bulanan atau tahunan dan kedua zakat dibayarkan dari penghasilan bersih alias setelah dipotong biaya kebutuhan pokok.
Tetapi zakat profesi banyak menuai kontroversi dan perdebatan. Banyak ulama-ulama yang berdebat pada kasus zakat profesi ini. Zakat profesi ini baru muncul dan diwacanakan di zaman modern, tidak terdapat secara eksplisit dalam kitab-kitab fiqih klasik, dan juga tentu termasuk zakat yang banyak diperselisihkan oleh para ulama di masa sekarang, baik tentang keberadaannya atau pun tentang aturan-aturan dan berbagai ketentuannya.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ada satupun ayat yang menyebutkan adanya zakat profesi. Namun ada sekelompok orang yang dianggap sebagai pemikir dan pembaharu fiqih Islam, antara lain Dr. Syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Fiqhuz Zakah” yang mempelopori adanya zakat profesi. Lalu beramai-ramai diikuti oleh kalangan intelektual kampus di Indonesia, mereka mengeluarkan pernyataan adanya kewajiban zakat profesi.
Paham ini bukanlah berasal dari ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Sebab zakat adalah urusan ibadah yang tidak dapat dikurangi dan ditambah jenis-jenis barang yang menjadi obyek zakat.
Istilah zakat profesi sebenarnya berasal dari doktrin Syi`ah yang dikembangkan oleh Ayatollah Khomaini dalam bukunya Zubdatul Ahkam. Di Indonesia, zakat profesi ini kemudian dipopulerkan oleh Prof. M. Amien Rais, yang dipublikasikan melalui tulisannya di harian Jawa Pos.
Adakah zakat profesi dalam ajaran Islam? Berikut ini perdebatan para pakar, antara pendukung dan penentang zakat profesi.
Debat Zakat Profesi
Pada 7 Maret 1987, Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, menyelenggarakan Seminar dengan mengundang kelompok yang menggagas bolehnya zakat profesi, dan pihak yang menolak gagasan tersebut. Panitia penyelenggara menampilkan pembicara dari kalangan pendukung zakat profesi: Ahmad Azhar Basyir, MA, Ketua Majlis Tarjih PP Muhammadiyah, Zaenal Abidin, SH, dekan Fak Hukum UII, dan Drs. Zuhad Abdurrahman, dekan Fak Syariah UII.
Ketika panitia menyampaikan surat undangan seminar kepada Ahmad Azhar Basyir, dia bertanya pada panitia, “Apakah saudara Muhammad Thalib diundang?”
“Dia tidak diundang,” jawab panitia.
Kemudian Ahmad Azhar Basyir mengusulkan, “Kita perlu mencari pandangan secara obyektif dan sekaligus uji shahih pihak yang berpendapat adanya zakat profesi. Dan Muhammad Thalib termasuk pihak yang menentang. Karena itu saya sarankan untuk diundang dalam seminar, agar kita dapat mendengarkan argumentasi penolakan adanya zakat profesi”.
Maka Drs Muhammad Thalib hadir sebagai narasumber ke empat dalam seminar tersebut. Usai para narasumber pendukung zakat profesi menyampaikan paparan, tiba giliran untuk Muhammad Thalib.
“Karena kita membicarakan masalah fiqh, maka jelaskan dulu kata profesi dalam bahasa Arabnya apa, sehingga kata-kata asing seperti ini dapat dipahami secara benar. Tujuannya, untuk mendapatkan definisi yang jelas tentang istilah profesi. Selain itu, apakah istilah profesi dalam bahasa Arab mempunyai satu pengertian atau banyak?” demikian Muhammad Thalib memulai pembahasan.
Ketiga narasumber tidak dapat memberikan jawaban. Lalu Muhammad Thalib menyodorkan pilihan bahasa Arab dari kata profesi: Amalun, Kasabun, Hirfatun, Mihnatun.
“Manakah yang tepat untuk istilah profesi,” tanya Muhammad Thalib, yang juga tidak memperoleh jawaban dari ketiga narasumber.
Dari arah audiens, tiba-tiba Dr. M. Amin Rais angkat bicara. “Profesi itu mempunyai dua makna, making money dan non making money” katanya.
Muhammad Thalib pun melayani pernyataan M. Amin Rais. “Making money, wujud konkritnya seperti apa?” Apakah seorang mbok bakul yang berprofesi mengumpulkan kotoran ayam, lalu menjualnya ke pasar, dan memperoleh uang dari hasil penjualan itu. Apakah profesi mbok bakul ini tergolong making money atau non making money? Apakah penghasilan mbok bakul ini juga dikenakan zakat profesi?” Tanya M. Thalib.
“Maksud saya bukan begitu,” sela Amin Rais.
“Jika demikian tunjukkan contoh konkritnya, agar kita semua jelas pengertiannya,” balas M. Thalib.
“Makna profesi yang saya baca dalam Webster’s Dictionary, adalah keahlian olah raga yang menghasilkan duit seperti sepak bola, bulu tangkis. Inilah yang disebut dengan penghasilan profesi. Jadi pada intinya semula adalah permainan biasa, kemudian jadi pekerjaan yang menghasilkan uang,” jawab Amin.
Tiba-tiba saja Amin Rais nyeletuk, “Saya juga bisa membaca kitab Arab seperti membaca komik”.
“Saya percaya Anda bisa membaca kitab bahasa Arab. Tapi kalau kemampuannya hanya setingkat membaca komik, pantas saja tidak mampu membaca kitab tafsir, fiqh dan lain-lain yang membutuhkan kemampuan ilmu bahasa Arab,” jawab Muhammad Thalib yang membuat suasana seminar bertambah seru dan panas.
Seorang peserta lain, Profesor Husein Yusuf menyela, “Saudara Muhammad Thalib jangan menganggap kami ini seperti anak klas tiga SD”.
“Yang menganggap begitu siapa, itu kan persepsi Anda sendiri,” kata Thalib enteng.
Para pendukung zakat profesi seperti ingin mengeroyok narasumber yang menentang. Maka Ismail Thaib, dari Muhammadiyah, ikut bicara. “Kata-kata shadaqah atau shidqah dalam Al-Qur’an, semuanya bermakna zakat”.
Pernyataan Ismail Thaib jadi boomerang. “Jika benar semua kata shadaqah atau shidqah dalam Al-Qur’an berarti zakat, bagaimana dengan ayat 4 surat An-Nisa’?”
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Wahai kaum mukmin, berikanlah maskawin kepada perempuan-perempuan yang kalian nikahi sebagai suatu pemberian yang menyenangkan. Wahai para suami, jika para istri memberikan dengan suka rela sebagian maskawin mereka kepada kalian, makanlah harta itu dengan senang hati. (QS An-Nisa’ [4] : 4)
Jika kata shaduqa dalam ayat ini, yang juga berasal dari kata shadaqah atau shidqah dimaknai zakat. Apakah lelaki yang ingin menikahi seorang perempuan harus membayar zakat lebih dulu kepadanya baru boleh dinikahi?” sergah M. Thalib.
Hingga seminar berakhir, para pendukung Zakat Profesi belum menemukan definisi yang tepat tentang tema pokok seminar. Ketika akan merumuskan hasil seminar, yang seharusnya dihadiri semua peserta dan narasumber. Tapi ternyata, pihak pendukung zakat profesi tidak satupun yang hadir.
Lalu tim perumus yang diketuai oleh Ir. Sahirul Alim, MSc, memutuskan bahwa Zakat Profesi tidak dikenal dalam Islam, dan tidak memiliki dasar syar’i. Oleh karena itu UII tidak memberlakukan Zakat Profesi pada karyawannya.
Tidak puas dengan keputusan seminar, pada kesempatan lain, seorang dosen IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, Drs. Abdurrahim mengajak Muhammad Thalib berdiskusi tentang zakat profesi.
Drs. Abdurrahim membacakan Al-Qur’an surat Al-An’aam ayat 141 yang berbunyi:
وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ جَنّٰتٍ مَّعْرُوْشٰتٍ وَّغَيْرَ مَعْرُوْشٰتٍ وَّالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا اُكُلُهٗ وَالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖٓ اِذَآ اَثْمَرَ وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ وَلَا تُسْرِفُوْا ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَۙ
Allah adalah Tuhan yang telah menciptakan kebun-kebun yang rimbun dan yang tidak rimbun, kurma, tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam rasa buahnya, dan zaitun serta delima yang serupa dan yang tidak serupa warnanya. Wahai kaum mukmin, makanlah buahnya setelah tumbuh-tumbuhan itu berbuah dan bayarkanlah zakatnya pada hari mengetamnya. Janganlah kalian berlebih-lebihan memakannya. Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS Al-An’am (6) : 141)
“Bukankah kata Yauma hashadihi dalam bahasa Indonesia berarti hari mendapatkan hasil,” kata Abdurrahim.
Selanjutnya Abdurrahim mengatakan, “Saya ini orang Indonesia, maka saya memahami maksud ayat itu sesuai dengan kaedah bahasa Indonesia”.
Muhammad Thalib menjawab, “Apakah Allah Swt pernah menunjuk orang Indonesia menjadi Nabi dan menurunkan wahyu-Nya dalam bahasa Indonesia, sehingga Anda merasa berhak menundukkan urusan agama di bawah pengertian bahasa Indonesia?
Untuk apa Anda membanggakan diri sebagai orang Indonesia, lalu memahami Islam dalam konteks keindonesiaan, untuk membela kebathilan zakat profesi yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-Qur’an ataupun Hadits Nabi?”
IRFAN S. AWWAS