Fatwapedia.com – Sepuluh hal ini adalah yang sering dilakukan, bukan membatasi hanya 10 hal. Pembatal islam adalah segala hal yang bertentangan dengan syariat yang disertai pengingkaran dalam hati atas kewajiban tersebut.
Secara bahasa, Nawaaqidh berasal dari kata “Naaqidh” yang artinya hal-hal yang merusak dan membatalkan. Secara syari’at, Nawaaqidhul Islaam adalah gambaran tentang keyakinan-keyakinan dan ucapan-ucapan serta perbuatan-perbuatan yang akan meniadakan keimanan seseorang.
Ada sepuluh hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah Ta’ala:
1. Melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, seperti berdo’a kepada selain Allah, berdo’a kepada orang yang sudah mati, dsb. Kesyirikan ditempatkan di nomor pertama karena alasan-alasan sebagai berikut:
Karena banyaknya manusia yang terjerumus dalam kemusyrikan, Allah berfirman: “…wahum musyrikuun” (al-ayat). Ibnu Hajar Al-Haitsamy mengatakan: “Banyaknya manusia terjerumus kepada kesyirikan tanpa mereka sadari”;
- Karena besarnya dosa kemusyrikan (syirik disebut sebagai dosa besar ditinjau dari sifatnya bukan dari hukumnya, karena kesyirikan itu dosa yang paling besar yang tidak akan diampuni pelakunya jika sampai mati dia belum bertaubat sedangkan dosa yang lainnya akan diampuni bagi yang Allah kehendaki walaupun pada waktu mati dia belum bertaubat). Ada hadits dari Ibnu Mas’ud ketika Rasulullah ditanya, dosa apakah yang paling besar, Rasulullah menjawab: “Engkau menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah padahal Dialah yang menciptakanmu” (Muttafaqun ‘alaih). Juga hadits dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa besar yang paling besar? Yaitu syirik kepada Allah” (Muttafaqun ‘alaih);
- Seluruh dosa-dosa itu berada di bawah kehendak Allah kecuali syirik (lihat An-Nisa’: 48 & 116);
- Seluruh para rasul dilarang oleh Allah untuk berbuat kemusyrikan;
- Kemusyrikan menghapuskan amalan-amalan. Kemusyrikan yang merajalela di muka bumi ini tidak lepas dari tiga hal, yaitu: ‘aqidah, ucapan dan perbuatan.
2. Barangsiapa yang menjadikan antara dirinya dan Allah perantara yang dia berdo’a melalui mereka (seperti meminta syafa’at dan bertawakkal kepada mereka) maka dia telah kafir (dan musyrik-red) secara ijma’. Ada 2 alasan mengapa kaum musyrikin menjadikan (membuat) malaikat sebagai perantara dalam ibadah (do’a) mereka, yaitu:
sebagian mereka beranggapan bahwa dirinya bukan termasuk yang ahli untuk langsung berdo’a kepada Allah (mereka merasa sebagai orang yang kotor dan banyak dosa sehingga perlunya perantara dalam do’a mereka);
sebagian mereka beranggapan bahwa para nabi, malaikat, para wali dan orang-orang shalih mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah sehingga mereka menjadikan orang-orang tersebut (para nabi dan lainnya) sebagai perantara dalam ibadah (do’a) mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang menjadikan antara Allah dengan makhluk-Nya perantara sebagaimana antara raja dengan rakyatnya maka dia telah musyrik”.
Untuk itu dalam berdo’a harus langsung kepada Allah, tidak boleh melalui perantara seperti melalui orang yang sudah mati karena ini adalah syirik besar. Adapun meminta supaya dido’akan oleh orang yang shalih yang masih hidup dan dia ada di tempat (bukan ghaib) maka ini diperbolehkan tetapi hukumnya makruh (tidak dianjurkan).
3. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan kaum musyrikin (juga orang-orang kafir secara umum) atau ragu-ragu tentang kekafiran mereka atau bahkan membenarkan madzhab-madzhab mereka maka dia telah kafir. Terdapat 2 kaidah yang agung dalam agama kita yaitu:
perintah hanya untuk beribadah kepada Allah saja dan menumbuhkan loyalitas/kecintaan di dalamnya;
menjauhi kesyirikan dan menumbuhkan sikap bara’ (berlepas diri) terhadapnya serta mengkafirkan pelakunya.
(dua kaidah ini bisa dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 256 tentang wajibnya kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah).
Sikap/sifat kufur terhadap thaghut adalah berkeyakinan tentang bathilnya peribadahan kepada selain Allah, menjauhinya, membencinya dan mengkafirkan ahlinya serta mengadakan permusuhan kepadanya.
4. Barangsiapa yang berkeyakinan (bukan dengan kebodohan) bahwa selain petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih sempurna daripada petunjuknya atau berkeyakinan bahwa hukum selainnya lebih baik daripada hukum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut di atas hukum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia telah kafir. Telah datang hadits dari Jabir bin Abdillah dalam hadits khuthbatul hajat riwayat Al-Imam Muslim bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah. Berkata Hasan Bin ‘Atiyah: “Sesungguhnya Jibril menurunkan As-Sunnah kepada Nabi seperti halnya dia menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi”.
Dalam masalah ini, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata bahwa orang yang berhukum kepada selain hukum Allah tidak terlepas dari 4 keadaan:
orang yang berhukum kepada selain hukum Allah dalam kondisi/keadaan dia meyakini selain hukum Allah itu lebih baik dari pada hukum Allah, maka ini adalah kufur akbar;
orang yang berhukum kepada selain hukum Allah dalam kondisi dia yakin bahwa hukum Allah itu lebih baik tetapi dia yakin bolehnya berhukum kepada selain hukum Allah, maka ini juga kufur akbar;
barangsiapa yang mengatakan bahwa hukum Allah itu menyamai hukum buatan manusia sehingga boleh berhukum dengan selain hukum Allah, maka ini juga kufur akbar;
barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah dalam kondisi dia meyakini bahwa hukum Allah lebih baik dan lebih pantas untuk diterapkan akan tetapi dia berhukum kepada selain hukum Allah karena dorongan hawa nafsunya untuk meraih dunia atau tekanan dari penguasa-penguasa lainnya, ini masuk dosa besar yang tidak sampai mengeluarkannya dari Islam.
5. Barangsiapa yang membenci sedikitpun dari ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkannya maka sungguh dia telah kafir. Allah berfirman: “Wakarihuu maa anzalallaahu faahbatha a’maalahum” (al-ayat), ini ditujukan bagi orang-orang kafir dan munafiqin. Kebencian itu ada 2 macam:
kebencian thabi’y, yaitu kebencian secara tabi’at yang ada pada setiap manusia tanpa benci sedikitpun kepada syari’at Allah, sebagaimana firman Allah: “Kutiba ‘alaikumulqitaal wahuwa kurhullakum” (Al-Baqarah:216), dalam ayat ini orang-orang beriman secara tabi’at kemanusiaan membenci perang karena dalam perang itu seseorang akan mengorbankan hartanya, meninggalkan tempat tinggalnya dan cita-citanya yang didambakannya tanpa sedikitpun membenci syari’at Allah tersebut yaitu kewajiban perang (jihad fii sabiilillaah);
kebencian i’tiqady, yaitu kebencian yang ada pada orang-orang kafir dan munafiqin yang mereka membenci (dengan keyakinannya) terhadap syari’at Allah, sebagaimana Allah terangkan kebencian mereka terhadap jihad fii sabiilillaah dalam firman-Nya: “Wakarihuu `an yujaahiduu fii sabiilillaahi biamwaalihim wa anfusihim” (al-ayat).
6. Barangsiapa yang memperolok-olok (melecehkan) sedikit saja dari ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau memperolok-olok masalah pahala dan siksanya maka sungguh dia telah kafir. Allah berfirman:
قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَـٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُوا۟ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَـٰنِكُمۡ
“Katakanlah, apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok. Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman”. (At-Taubah:65-66).
Asy-Syaikh Asy-Syanqithy dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa sikap tidak hormat kepada Rasul atau menganggap kurang atau menghinanya maka sungguh ini telah menjadikan dia kufur. (Adhwa’ul Bayan jilid VII).
Makanya, kita tidak boleh memperolok-olok ajaran/sunnah Rasulullah seperti memelihara jenggot, memakai kain di atas mata kaki dan sunnah yang lainnya karena akan terkena ancaman dalam ayat tadi tanpa kita sadari, na’udzu billah min dzalik.
7. Sihir dan darinya seperti sulap dan pelet juga jampi-jampi (serta perdukunan-red), maka barangsiapa yang mengerjakannya atau meridhainya, sungguh telah kufur.
Sihir termasuk syirik karena 2 hal:
di dalamnya terdapat permintaan bantuan terhadap syetan-syetan atau bergantung kepadanya atau mendekatkan diri dari apa-apa yang dimaukan syetan tersebut;
di dalam ilmu sihir tersebut berarti seseorang telah mengaku mengetahui ilmu ghaib yang berarti telah berserikat dalam ilmu ghaib. (Lihat Tafsir As-Sa’dy)
8. Memberikan loyalitas (kecintaan, kasih sayang dan pertolongan) kepada kaum musyrikin dan memberikan pertolongan kepada mereka di atas kaum muslimin. Yang berhak untuk diberikan Al-Wala’ (loyalitas) ada 2 macam:
secara muthlaq, yaitu orang beriman yang menegakkan/menjalankan syari’at Allah secara sempurna;
orang yang berhak mendapatkan loyalitas di satu sisi dan berhak mendapat bara’ (kebencian) di sisi lain yaitu ahli ma’shiyat dan ahli bid’ah (selama bid’ahnya tidak sampai kufur).
Sedangkan orang kafir/musyrik tidak boleh diberikan loyalitas sedikitpun.
9. Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa sebagian orang dibolehkan mendapatkan kelonggaran untuk keluar dan tidak mengikuti syari’atnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya telah diberi kelonggaran kepada Khidhir untuk keluar (tidak mengikuti) dari syari’atnya Nabi Musa ‘Alaihis salam maka sungguh dia telah kafir.
10. Barangsiapa yang berpaling dari mempelajari agama Allah dan berpaling dari mengamalkannya sungguh telah kafir. Ibnul Qayyim dalam Madaarijus Saalikiin menjelaskan tentang keadaan orang tersebut: “Dia tidak mau menggunakan pendengaran dan hatinya untuk mendengarkan apa-apa yang dibawa Rasul, tidak membenarkannya dan tidak pula mendustakannya dan tidak memberikan kecintaan dan kebencian dan tidak memperhatikan sama sekali syari’at Allah dan Rasul-Nya”.
Ibnul Qayyim berkata: “Sebab turunnya ‘adzab karena 2 hal:
berpaling, tidak mau mempelajari agama Allah;
tidak mau beramal dalam agama Allah (tidak mau memperhatikan kewajiban dan perintah-perintah-Nya)”.
Dalilnya adalah firman Allah:
وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِـَٔايَـٰتِ رَبِّهِۦ ثُمَّ أَعۡرَضَ عَنۡهَآ ۚ إِنَّا مِنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَ مُنتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa”. (As-Sajdah:22).
Sekali lagi, sepuluh hal ini adalah yang sering dilakukan, bukan membatasi hanya 10 hal. Tetapi secara umum yang membatalkan keislaman adalah:
- menentang perkara yang sudah diketahui dari agama akan keharusan pengetahuannya (seperti kewajiban rukun Islam);
- mengerjakan perbuatan-perbuatan kekufuran;
- mengucapkan kekufuran;
- meyakini dengan keyakinan-keyakinan yang kufur dan
- meninggalkan dan berpaling dari agama Allah.
(Lihat As`ilah Wa Ajwibah Fil Kufri Wal Iman soal pertama).
Untuk menghindari hal-hal yang dapat membatalkan keislaman, kita harus mempelajari agama kita dengan baik dan mengamalkannya serta berdo’a kepada Allah agar diselamatkan dari hal-hal tersebut. Allaahumma innaa na’uudzubika min annusyrika bika syai`an-na’lamuh, wanastaghfiruka limaa laa na’lam. Aamiin Ya Mujiibas Saa`iliin.Wallaahu a’lamu bish-shawaab.
Maraji’:
- Majmuu’atut Tauhid karya ‘ulama-‘ulama besar.
- As`ilah Wa Ajwibah Fil Kufri Wal Iman, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Ar-Rajihiy.
Sumber: Buletin Al Wala` Wal Bara` Edisi ke-39 Tahun ke-1 / 12 September 2003 M / 15 Rajab 1424 H.