Fatwapedia.com – Napoleon Bonaparte, Raja Prancis pada abad ke-19, tidak punya cara untuk menguasai jantung Dunia Arab dan muslim, kecuali dengan mengumumkan bahwa dirinya masuk Islam. Kemudian dengan kekuatan ia pun menguasai umat Islam atas nama Din. Para orientalis yang menjadi perintis kolonialisme—setelah mempelajari situasi bangsa Arab dan budaya muslim—membisiki Napoleon bahwa kaum muslimin itu berutang ketaatan kepada siapa saja yang menguasai mereka dengan kekuatan dan pedang, selama orang yang bersangkutan menampakkan keislaman, meskipun pura-pura.
Setelah tentara Napoleon memasuki jantung Dunia Arab—di Kairo pada waktu itu—tersebarlah berita bahwa dirinya telah berislam. Karena iman pada waktu itu dipahami oleh kaum muslimin secara umum sebatas keyakinan dan pengakuan tanpa amal serta konsisten dengan syariat Islam maka Napoleon pun dianggap sebagai seorang muslim. Juga, karena penguasa dalam pandangan kaum muslimin hanya disebut penguasa yang sah sesuai Islam melalui penaklukan dengan kekuatan maka Napoleon pun menjadi amir bagi kaum muslimin.
Hal yang tidak berbeda juga pernah terjadi pada abad ke-8 Hijriah, yaitu ketika Tartar menunjukkan diri masuk Islam. Ketika tentara mereka menyerbu Syam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mendesak kaum muslimin untuk berjihad melawan mereka. Namun, para ulama dan ahli fikih zaman itu tidak setuju dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah dan menyangkal usulannya dengan dalih bahwa Tartar telah menjadi muslim.
Sejarawan besar Ibnu Katsir dalam kitab sejarahnya telah mengungkap rahasia di balik peristiwa yang terjadi pada tahun 702 Hijriah tersebut. Ia menyebutkan adanya krisis pemikiran yang menyebabkan kemerosotan kaum muslimin. Ibnu Katsir mengatakan, “Kaum muslimin belum juga menemukan cara untuk melawan Tartar karena mereka menampakkan keislaman, bukan bughat atau orang-orang yang membangkang terhadap Imam kaum muslimin. Mereka bukanlah orang-orang yang taat pada suatu waktu lalu menyelisihi Imam.”
Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah membuat tulisan yang menjelaskan hukum terkait persoalan tersebut. Ia menyebutkan banyak hujah atau argumen tentang perlunya jihad melawan Tartar. Ia pun menyerukan jihad, bukan untuk meyakinkan masyarakat awam, melainkan meyakinkan para ulama senior pada zamannya yang menyangkal pemikirannya dan menyebabkan umat enggan berjihad. Ulama pada waktu itu justru menyerahkan umat ini kepada musuh dan mengeluarkan argumen-argumen untuk melegitimasi kenyataan. Bahkan, ahli fikih zaman itu mampu menghadapi gerakan reformasi Syaikhul Islam dan memupusnya. Selanjutnya, atas nama Din, mereka menjebloskan Ibnu Taimiyyah ke dalam penjara.
Jadi, tragedi umat ini terulang setiap zaman. Penyebabnya adalah lenyapnya pemahaman yang sahih tentang Islam dan maraknya pemikiran untuk mendistorsi Din dari kehendak Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits ditafsirkan sesuai selera untuk melegitimasi setiap penyimpangan dan pembenaran setiap kenyataan yang batil. Din dieksploitasi untuk mempertahankan realitas yang jauh menyimpang dari karakter kejayaan Islam masa lalu.
Itulah sebabnya, kolonisasi baru tidak mengalami kesulitan memanfaatkan Islam itu sendiri untuk pertahanan kehadiran pemikiran dan penjajah asing. Bahkan, semua sistem yang datang untuk menguasai Dunia Arab mulai dari aliran yang paling kiri, Marxisme, sampai aliran liberal yang paling kanan mampu mempekerjakan banyak ulama untuk membantu kesuksesan misi aliran asing tersebut. Para ulama itu membela dan melegitimasi semua tindakan mereka atas nama Din, meskipun sejatinya menghancurkan din itu sendiri. Kita menunggu Ibnu Taimiyyah baru untuk menggugah ingatan para ulama yang keblinger!
Prof. Dr. Hakim Al-Muthairi
Guru Besar Tafsir dan Hadits Fakultas Syariah, Universitas Kuwait
Disunting dari terjemahan Abu Ahmad