Fatwapedia.com – Madzhab Hanafi mengatakan apabila orang yang melakukan shalat itu sendirian, maka ia harus menentukan dengan jelas jenis shalat fardhu atau wajib yang dilakukan. Namun jika dia melakukan shalat sunnah, maka cukup dengan niat shalat saja.
Apabila ia menjadi imam, maka wajib melakukan ta’yin sebagaimana yang telah diterangkan. Apabila imam dan makmumnya lelaki, maka imamnya tidak disyaratkan niat mengimami lelaki. Makmum sah mengikuti imam, meskipun imamnya tidak berniat mengimami mereka. Apabila imamnya lelaki dan makmumnya perempuan, maka imamnya disyaratkan niat mengimami wanita, supaya niat makmum wanita dalam mengikuti imam tersebut menjadi sah.
Adapun seorang makmum, maka dia juga wajib melakukan ta’yin sebagaimana yang telah diterangkan. Dia juga perlu menambahi niat mengikuti imam. Umpamanya adalah dengan niat melaksanakan kefardhuan waktu dan mengikuti imam dalam melakukannya, atau niat melakukan shalat yang dilakukan oleh imam, atau niat mengikuti imam dalam shalatnya.
Madzhab Maliki (Al-Bada’i’, jilid 1, halaman 127 dan setelahnya; Ad-Durrul Mukhtar jilid 1, halaman 406; Tabyinul Haqa’iq, jilid 1, halaman 99; Fathul Qadir jilid 1, halaman 185; Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha’ir, halaman 32 dan setelahnya) mengatakan menentukan dengan jelas (ta’yin), merupakan keharusan dalam shalat-shalat fardhu, shalat Sunnah yang lima (yaitu witir; Ied, Kusuf Khusuf dan Istisqa’) dan shalat sunnah fajar. Adapun shalat-shalat sunnah yang lain seperti shalat dhuha, rawatib, dan tahajud, maka cukup niat shalat sunnah secara mutlak. Sehingga apabila dilakukan sebelum tergelincirnya matahari, maka shalatnya menjadi shalat dhuha, akan menjadi shalat ratib zhuhur kalau dilakukan sebelum melaksanakan shalat zhuhur atau sesudahnya, akan menjadi shalat tahiyyatul masjid jika dilakukan ketika masuk masjid, akan menjadi shalat tahajjud apabila dilakukan pada malam hari, dan akan menjadi shalat asy-syaf’ (shalat sunnah isya) apabila dilakukan sebelum shalat witir. Juga, tidak disyaratkan niat melakukan secara ada’ (tunai) atau qadha’ (utang shalat yang terlewat) dan juga tidak disyaratkan menentukan bilangan rakaat shalat. Melakukan shalat qadha dengan niat shalat ada’ adalah sah begitu juga sebaliknya. Wajib menyatakan niat secara sendirian atau sebagai imam, namun tidak wajib menyatakan niat sebagai imam kecuali dalam shalat jumat dan shalat jamak taqdim, disebabkan hujan atau disebabkan perasaan takut. Karena, dalam shalat-shalat tersebut imam menjadi syarat bagi sahnya shalat (Asy-Syarh Al-Kabir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi, jilid 1, halaman 233, 520; Bidayah al-Mujtahid, jilid 1, halaman 1l6; Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, halaman 57).
Madzhab Syafi’i (Al-Majmu’, jilid 3, halaman 243-252; Mughni Al-Muhtaj, jilid 1, halaman 148, 150, 252 dan 253; Hasyiyah Al-Bajuri, jilid,1, halaman 149) menetapkan bahwa apabila shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu -meskipun fardhu kifayah seperti shalat jenazah atau shalat qadha, atau shalat i’adah atau shalat nadzar, maka yang diwajibkan dalam niat shalat-shalat tersebut ada tiga.
Pertama, niat kefardhuan shalat, yaitu dengan berniat dan bermaksud melakukan shalat fardhu, supaya ia dapat dibedakan dari shalat sunnah dan i’adah. Adapun redaksi ungkapan bagi niat kefardhuan umpamanya adalah (أؤدي الظهر فرض الوقت لله تعالى) “Saya melaksanakan shalat zhuhur yang merupakan kefardhuan waktu karena Allah Ta’ala. Kata (أؤدي) juga boleh diganti dengan asal kata (الفعل) dan (الأداء). Kedua, menyatakan kehendak (al-qashdu), yaitu kehendak melaksanakan suatu perbuatan dengan cara menyatakan kehendak melaksanakan shalat, supaya ia dapat dibedakan dari jenis perbuatan-perbuatan yang lain. Ketiga, menyatakan dengan jelas jenis shalat fardhu yang dilakukan, umpamanya shalat shubuh atau zhuhur atau yang lain, yaitu dengan cara menyatakan keinginan melakukan shalat fardhu zhuhur umpamanya.
Niat tersebut harus dilakukan berbarengan dengan semua bagian takbiratul ihram, meskipun secara global tidak secara terperinci. Umpamanya adalah dengan menggambarkan (istihdhar.) rukun-rukun shalat dalam hati, hingga eksistensi shalat, sifat-sifat shalat yang wajib dinyatakan seperti zhuhur, fardhu dan lain-lain benar-benar hadir dalam hati, kemudian memunculkan keinginan untuk melaksanakan yang digambarkan itu sewaktu memulai takbiratul ihram dan berterusan hingga akhir takbiratul ihram. Namun, proses berbarengan antara niat dan takbiratul ihrom ini cukup dengan menggunakan standar, kebiasaan. Yaitu selagi orang tersebut dianggap sebagai orang yang menyadari shalat yang sedang dilakukannya, bukan orang yang lalai akan shalat yang dilakukannya. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang dipilih.
Cara ini menurut madzhab Syafi’i diistilahkan dengan al-istihdhar wal muqaranah al-‘urfiyyain (menggambarkan shalat dalam hati dan membarengkan niat dengan takbiratul ihram menurut standar kebiasaan). Caranya adalah sebelum melakukan takbiratul ihram menggambarkan semua perbuatan shalat, baik yang ucapan maupun tindakan dari awal hingga akhir meskipun secara global –ini menurut pendapat yang mu’tamad- dan membarengkan penggambaran hati yang singkat tersebut dengan takbiratul ihram.
Kesimpulannya adalah, apabila shalat yang dilakukan itu adalah salah satu dari shalat wajib yang lima, maka wajib menyatakan tiga niat; melakukan shalat, kefardhuan, dan menentukan dengan jelas jenisnya (ta’yin). Umpamanya dengan menyatakan, (نويت أن أصلي فرض الظهر) “Saya niat melakukan shalat fardhu zhuhur”. (نويت أداء فرض صلاة العصر) “Saya niat melaksanakan fardhu shalat ashar”. (نويت أداء فرض صلاة المغرب) “Saya niat melaksanakan fardhu shalat ashar.”
Menyatakan niat shalat dilakukan supaya ibadah dapat dibedakan dari adat kebiasaan; menyatakan zhuhur supaya dapat dibedakan dari shalat ashar; dan niat kefardhuan supaya dapat dibedakan dari shalat-shalat sunnah.
Menyatakan jumlah rakaat bukanlah suatu syarat. Begitu juga dengan menyatakan dengan jelas hari pelaksanaan shalat, jenis shalat ada’ atau qadha’, mengaitkannya kepada Allah Ta’ala (Ini juga pendapat madzhab Hanafi dan Maliki sebagaimana yang telah saya terangkan, dan juga pendapat madzhab Hambali; lbnu Nujaim, Al-Asybah wan-Nazha’ir, halaman 32, 35; Kasysyaful Qina’ jilid 1, halaman 365 dan setelahnya; Ghayatul Muntaha, jilid 1, halaman 116), menyebut rukun-rukun shalat, dan juga menyatakan menghadap kiblat. Semua ini tidak disyaratkan dalam niat shalat, melainkan hanya kesunnahan saja. Sehingga, tidak wajib mengaitkan amalan shalat kepada Allah Ta’ala, karena ibadah adalah bentuk amalan yang dilakukan hanya untuk Allah, Namun, menyatakan hal tersebut adalah disunnahkan supaya arti keikhlasan benar-benar terealisasikan.
Sunnah juga niat menghadap kiblat, menyatakan jumlah rakaat, supaya terhindar dari perbedaan-perbedaan pendapat. Kalau seandainya dalam niat seseorang keliru dalam menyebut jumlah rakaat, umpamanya niat shalat zhuhur dengan menyatakan tiga atau lima rakaat, maka shalatnya tidak sah. Niat ada’ dan qadha’ juga disunnahkan supaya antara keduanya dapat dibedakan. Namun, pendapat yang ashah di kalangan ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa shalat ada’ sah dilakukan dengan niat shalat qadha’. Begitu juga sebaliknya, jika memang ada sebab atau udzur, seperti tidak tahu waktu karena mendung yang gelap atau semacamnya, kalau seandainya seseorang menyangka bahwa waktu shalat sudah terlewat, sehingga dia melakukan shalat tersebut secara qadha’, dan ternyata waktunya belum terlewat, atau dia menyangka bahwa waktunya belum terlewat, sehingga dia melakukan shalatnya dengan cara ‘ada dan ternyata waktunya sudah terlewat, maka shalatnya tetap sah.
Madzhab Maliki menetapkan bahwa dalam keadaan apa pun, shalat ada’ boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat qadha’. Begitu juga sebaliknya. Menurut madzhab Hambali, shalat ada’ boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat qadha’. Begitu juga sebaliknya jika memang dia salah sangka dalam menetapkan waktu. Madzhab Hanafi menetapkan bahwa shalat atau haji secara ada’ boleh dilaksanakan dengan menggunakan niat shalat atau haji secara qadha’, begitu juga sebaliknya.
Apabila shalat yang dilakukan adalah shalat sunnah yang mempunyai waktu tertentu seperti shalat sunnah rawatib, atau shalat sunnah yang mempunyai sebab seperti shalat sunnah istisqa’, maka dalam niat diwajibkan dua perkara: berkehendak melakukannya dan menyatakan dengan jelas jenis shalatnya seperti shalat sunnah zhuhur; Idul Fitri, atau Idul Adhha. Adapun niat kesunnahan tidaklah disyaratkan.
Adapun shalat sunnah mutlak (yaitu shalat sunnah yang tidak mempunyai waktu tertentu dan tidak mempunyai sebab seperti shalat sunnah tahiyyah al-masjid atau shalat Sunnah wudhu), maka cukup dengan niat melakukan shalat saja.
Imam tidak disyaratkan niat menjadi imam, melainkan hanya disunnahkan saja supaya mendapatkan keutamaan jamaah. Apabila ia tidak niat menjadi imam, maka ia tidak mendapatkan keutamaan jamaah. Karena, seseorang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya.
Dalam madzhab Syafi’i, niat menjadi imam adalah syarat dalam empat shalat: [1] shalat Jumat; [2] shalat jamak taqdim karena hujan; [3] shalat i’adah yang dilakukan pada waktunya secara berjamaah; [4] shalat nadzar ber-jamaah. Semuanya ini dilakukan supaya keluar dari dosa. Begitu juga dengan madzhab Maliki, mereka menetapkan bahwa niat menjadi imam tidak wajib kecuali dalam shalat Jumat, jamak, khauf, dan istikhlaf. Karena, imam merupakan syarat dalam shalat-shalat tersebut. Sedangkan Ibnu Rusyd, menambahi dengan shalat jenazah.
Orang yang menjadi makmum disyaratkan niat menjadi makmum, yaitu dengan cara menyatakan niat mengikuti, menjadi makmum, atau berjamaah dengan imam yang hadir atau dengan orang yang ada di mihrab. Niat ini dilakukan berbarengan dengan takbiratul ihram dan harus dilakukan. Karena, mengikuti adalah satu aktivitas amal, sehingga memerlukan niat, karena yang akan diperoleh oleh seseorang adalah tergantung niatnya. Tidak cukup apabila hanya menyatakan niat mengikuti secara mutlak, tanpa dikaitkan dengan imam. Apabila seseorang mengikuti imam tapi tidak dengan niat atau dengan keraguan, maka batallah shalatnya jika memang dia lama dalam menunggu imam.
Madzhab Hambali (Al-Mughni, jilid 1, halaman 464-469, jilid 2, halaman 231; Karysyaful Qina’ jilid 1, halaman 364-370) mengatakan bahwa, apabila shalat yang dilakukan adalah shalat fardhu, maka disyaratkan dua perkara: menyatakan dengan jelas jenis shalat yang dilakukan (ta’yin), apakah shalat zhuhur atau ashar atau yang lain; dan berkehendak untuk melaksanakannya. Tidak disyaratkan menyatakan niat kefardhuan umpamanya dengan menyatakan, (أصلي الظهر فرضا) “Saya shalat zhuhur secara fardhu.”
Adapun shalat yang sudah terlewat, apabila orang yang melakukan tersebut menyatakan dengan jelas bahwa yang dilakukan adalah shalat zhuhur hari ini (misalnya), maka dia tidak perlu menyatakan niat qadha’ atau ada’, shalat qadha’ dengan menggunakan niat ada’ atau sebaliknya adalah sah apabila memang sewaktu melakukannya dia salah sangka dalam menentukan waktunya.
Apabila shalatnya adalah shalat sunnah, maka diwajibkan menyatakan dengan jelas (ta’yin) jenis shalatnya, jika memang shalat tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu atau waktu-waktu tertentu seperti shalat kusuf, shalat istisqa’, tarawih, witir, shalat sunnah rawatib. Apabila shalat sunnah tersebut mutlak, maka tidak perlu menyatakan dengan jelas jenis shalatnya, seperti shalat malam. Maka, cukuplah menyatakan niat shalat, karena memang tidak ada ciri-ciri tertentu dalam shalat tersebut. Kesimpulannya dalam masalah ini madzhab Hambali sama dengan madzhab Syafi’i.