Fatwapedia.com – Dalam Islam, tidak semua petunjuk ajarannya bersifat qath’i (tegas), tetapi ada juga yang bersifat zhan’i (menimbulkan dugaan dan perbedaan pemahaman). Yang zhanni inilah yang menjadi wilayah ijtihad para ulama. Maka lahirlah perbedaan pendapat dan madzhab. Kita akan menemukan madzhab-madzhab dalam berbagai bidang disiplin ilmu Islam. Baik dalam ilmu Aqidah, Akhlaq, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Hadits, dsb. Meskipun tentu, dalam ilmu-ilmu tersebut ada kaidah dasarnya yang disepakati.
Perbedaan pendapat seperti ini adalah Sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Karena Allah menciptakan akal manusia itu berbeda-beda, juga memberikan rezeki ilmu dan pemahaman yang berbeda. Di zaman Nabi saw pun, perbedaan pendapat dalam memahami dalil telah terjadi di kalangan sahabat. Misalnya kasus yang terkenal adalah perintah Nabi untuk berangkat mengepung Yahudi Bani Quraizhah,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata; Nabi ﷺ bersabda ketika perang al-Ahzab, “Janganlah seseorang melaksanakan shalat Asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Setelah berangkat, sebagian dari pasukan melaksanakan shalat Asar di perjalanan sementara sebagian yang lain berkata, “Kami tidak akan shalat kecuali setelah sampai di perkampungan itu.” Sebagian yang lain beralasan, “Justru kita harus shalat, karena maksud beliau bukan seperti itu.” Setelah kejadian ini diberitahukan kepada Nabi ﷺ, beliau tidak menyalahkan satu pihakpun.” (HR. Bukhari, no.4119).
Perhatikanlah, terjadi perbedaan pendapat dari para sahabat dalam memahami sabda Nabi ﷺ, “Janganlah seseorang melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkambungan Bani Quraizhah”. Satu kelompok memahami zahirnya yaitu shalat harus dilaksanakan di Bani Qaraizhah meskipun di perjalanan sudah masuk waktu Ashar, bahkan tiba di Bani Quraizhah malam hari. Sedangkan kelompok lain memahami inti maksud dari sabda Nabi tersebut, yaitu agar bersegera dalam perjalanan, hingga waktu Ashar telah tiba di tujuan, sehingga ketika di perjalanan telah masuk waktu Ashar, mereka melaksanakan shalat sesuai waktunya. Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan salah satu dari dua kelompok ini, menunjukkan beliau menyetujui adanya perbedaan pendapat.
Mempelajari perbedaan pendapat dalam ilmu-ilmu Islam sangat penting di zaman ini. Yaitu ketika satu kelompok mudah menyesatkan, membid’ahkan, mengingkari dengan keras dan kasar bahkan mengkafirkan kelompok lain yang berbeda pemahaman. Padahal perbedaan tersebut masih dalam kategori masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, yang harusnya dikedepankan sikap toleransi. Hal ini tiada lain disebabkan sikap fanatik buta terhadap kelompoknya, hasil dari doktrin pemahaman kelompoknya yang menjadikan sesuatu yang zhanni menjadi qath’i. Padahal dalam kaidah fiqih juga disebutkan, La inkaro fi al-masail al-khilafiyyah (tidak boleh ada pengingkaran dalam masalah yang mengandung perbedaan pendapat), imam As-Suyuthi dalam kitab Qawaid Fiqihnya, Al-Asybah wan Nazhair, pada kaidah yang ke-35 menyebutkan dengan redaksi,
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak boleh diingkari yang menjadi perbedaan pendapat, hanyalah yang diingkari itu yang disepakati.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, hal.158).
Mempelajari perbedaan pendapat akan melapangkan dada untuk dapat bertoleransi kepada saudara sesama muslim yang berbeda pilihan ijtihad, melaksanakan kewajiban menjaga persaudaraan dan menghentikan perpecahan yang terus berlarut.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama itu tiada lain adalah cabang-cabang dan ranting-ranting dari pohon syariat yang besar, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahab Asy-Sya’roni rahimahullah,
فَإِنَّ الشَّرِيْعَةَ كَالشَّجَرَةِ الْعَظِيْمَةِ الْمُنْتَشِرَةِ، وَأَقْوَالَ عُلَمَائِهَا كَالْفُرُوْعِ وَالْأَغْصَانِ
“Sesungguhnya syariat itu seperti pohon yang besar dan menyebar, dan pendapat para ulamanya seperti cabang-cabang dan ranting-ranting.” (Abdul Wahab Asy-Sya’roni, Al-Mizan, hal. 70).
Perbedaan ini juga di sisi lain menjadi kemudahan dan rahmat bagi kaum muslimin dalam menjalankan syari’at. Seperti perkataan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah,
مَا سَرَّنِي أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَخْتَلِفُوْا، لِأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah membuatku senang bahwa para sahabat Nabi Muhammad ﷺ itu tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda pendapat, maka tidak ada rukhsah (keringanan).” (Al-‘Ajluni, Kasyful Khofa, 1/79).
Begitu pula imam Malik rahimahullah ketika khalifah Harun Ar-Rasyid rahimahullah memintanya agar menyebarkan kitab-kitabnya dan mengarahkan umat kepada pendapatnya, ia menjawab :
يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ، إِنَّ اخْتِلَافَ الْعُلَمَاءِ رَحْمَةٌ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ، كُلٌّ يتَّبِعُ مَا صَحَّ عَنْدَهُ، وَكُلٌّ عَلَى هُدًى، وَكُلٌّ يُرِيْدُ اللهُ تَعَالَى
“Wahai Amirul Mu’minin! Sesungguhnya perbedaan para ulama itu adalah rahmat Allah ta’ala atas umat ini. Setiap orang mengikuti apa yang benar menurutnya, semuanya berada di atas petunjuk, dan semuanya dikehendaki oleh Allah ta’ala.” (Al-‘Ajluni, Kasyful Khofa, 1/80).
Abu Abdullah Al-Maqarri berkata :
تَعَلَّمَ الْخِلَافَ يَتَّسِعْ صَدْرُكَ
“Pelajarilah perbedaan pendapat, niscaya hatimu menjadi lapang.”
Oleh: Ust Muhammad Atim