Fatwapedia.com – Serial Mujahid Da’wah, “Muhasabah dan Tadabbur” Insya Allah akan hadir selama hari-hari Ramadhan 1442 H. Semoga bermanfaat sebagai inspirasi amal, ikhtiar introspeksi diri, serta renungan terhadap fenomena kehidupan, guna meraih Ridha Ilahy.
Seri ke-6
Menolak Syariat Islam “Sumbangan” Terbesar Untuk Misi Islamophobia
Firman Allah Swt,
“Kaum Yahudi dan Nasrani ingin memadamkan cahaya Islam dengan ucapan-ucapan mereka, tetapi Allah tidak membiarkan keinginan jahat mereka itu. Allah menghendaki cahaya Islam terus memancar, sekalipun kaum kafir tidak menyukainya.” (QTT, At-Taubah [9]:32)
BILA KITA mengetahui kegigihan setan menggoda manusia, dengan ucapan maupun perbuatan, masihkah kita tenang-tenang saja tanpa kesadaran untuk melawan? Bisakah kita mengantisipasi dampak bujuk rayu setan, di negeri yang menyemai banyak angkara murka, bahkan melukai perasaan dan menyakiti hati umat Islam?
Al-Qur’an menginformasikan hal ini jauh sebelum zaman kita sekarang. Bahwa serbuan pemikiran dan serangan terhadap keyakinan umat Islam tidak hanya dilakukan menggunakan kekerasan, perang, ataupun penjajahan. Tetapi propaganda lisan, justru senjata setan yang lebih efektif untuk memadamkan cahaya Islam.
Senjata lisan takkan berhenti bersuara hingga hari kiamat. Karena lisan merupakan penerjemah isi hati yang diungkapkan dengan narasi berbisa. Ungkapan yang keluar dari mulut manusia bisa berupa kata bijak dan bajik, bisa juga kata keji dan hoax.
“…Kebencian orang-orang kafir kepada kalian telah mereka nyatakan dengan mulut-mulut mereka, padahal kebencian yang tersembunyi dalam hati mereka jauh lebih besar. Kami telah menjelaskan bukti-bukti kebencian golongan kafir itu kepada kalian, jika kalian benar-benar mau memperhatikan keselamatan diri kalian.” (QTT, Ali Imran [3]:118)
Di masa lampau, ekspresi kebencian orang-orang Yahudi dan Nasrani, terlihat jelas dari mulutnya. Mereka menyebar kebencian pada Islam, mengekspos isu melalui provokasi dan intimidasi. Untuk tujuan ini, adakalanya mereka berkonspirasi dengan orang-orang munafik pada suatu kesempatan, atau bersama-sama orang musyrik pada kesempatan lain.
Kasus Hadits Ifki, menyebarkan berita bohong, di bawah koordinasi gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai contoh. Sasaran fitnahnya, langsung menusuk pribadi Nabi Saw dan keluarganya. Isunya, seolah istri Nabi Saw Aisyah ra selingkuh dengan salah seorang sahabat bernama Shafwan bin Mu’atthal Assulami.
Orang-orang munafik mempolitisir berita bohong itu untuk menjatuhkan reputasi Islam, mencemarkan kemuliaan Rasulullah dan mempermalukan kaum muslimin. Beruntunglah, fitnah mereka gagal, setelah Allah Swt bersihkan nama baik keluarga Nabi Saw yang dikotori kaum munafik, dengan firman-Nya:
“Wahai kaum mukmin, sesungguhnya beberapa orang yang menyebarkan tuduhan dusta tentang ‘Aisyah berzina adalah dari kalangan orang-orang mukmin juga. Janganlah kalian menyangka bahwa kejadian itu merugikan kalian. Kejadian itu justru membawa kebaikan bagi kalian. Setiap orang yang turut menyebar-luaskan tuduhan dusta itu akan mendapatkan hukuman karena perbuatannya. Dan orang yang membuat fitnah itu akan mendapatkan adzab yang berat di akhirat.” (QTT, An-Nur [24]:11)
Upaya menista Islam tidak pernah berhenti, dari generasi ke generasi tanpa kenal damai. Gerakan Zionisme dan Salibisme internasional selalu melakukan konspirasi makar terhadap Islam. Menyerang Islam dan mencari-cari aib kaum muslimin melalui lisan, tulisan, buku-buku, seminar, media massa, TV, video, medsos, karikatur, dan lain-lain.
Media masa menjadi penyambung lidah kaum kafir, dalam usaha memadamkan cahaya Islam. Saat ini, mayoritas media masa dan TV seperti Kompas, Suara Pembaharuan, Metro TV, Kompas TV dan sejenisnya, dikuasai oleh mereka yang berseberangan dengan Islam. Mereka menjadi corong BNPT dan Densus 88, terkait pemberitaan kasus radikalisme dan segala peristiwa yang merugikan umat Islam.
Membantu Musuh Islam
Sebagaimana Abdullah bin Ubay yang memfitnah Nabi, dan bukannya mengeritik tokoh Yahudi dan Nasrani. Sosok Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga berkelakuan sama. Ingin melucuti kaum muslimin secara emosional dengan menjadikannya tersangka radikalisme berdasarkan identitas: jenggot, jidat hitam, celana cingkrang, jilbab besar, dan kaos bertuliskan kalimat tauhid.
Termasuk umat Islam yang menghendaki berlakunya syari’at Islam di lembaga negara, berjihad membela Islam, dikategorikan pengikut paham radikal. Sebaliknya, mereka yang mengenakan kaos berlambang palu arit gaya komunis, atau kaum Syi’ah yang menghujat sahabat dan istri Nabi tidak dijadikan target tersangka radikal versi BNPT.
Berbekal kriteria radikal bikinan BNPT, memuluskan jalan bagi Densus 88 sebagai eksekutor: menyisir lorong-lorong sempit, rumah kos, pesantren, masjid, majelis ta’lim, untuk mencari tersangka teroris. Tidak peduli, yang ditemukan nanti benar-benar tersangka teroris atau sekadar persamaan identitas, sudah dianggap cukup bukti untuk ditangkap atau ditembak mati. Akhirnya, dengan tuduhan rekayasa pun, orang yang taat beragama, bisa digiring sebagai tersangka radikalisme.
Sejak dimunculkannya stigma terorisme dan radikalisme, nasib umat Islam bagai bulan-bulanan media massa. Semua argumentasi keagamaan yang datang dari gerakan Islam selalu dilabelkan berpotensi radikalis dan menghasut terorisme.
Belum lama ini muncul buku pelajaran agama yang diasumsikan disusupi paham radikal. Indikasinya, dalam buku yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, dan menjadi salah satu referensi pelajaran Agama untuk kurikulum tahun 2013, konon memuat kalimat yang memperbolehkan membunuh siapapun, selain yang menyembah Allah.
Artinya, jika narasi dalam buku tersebut dianggap radikal, berarti paham radikal di negeri ini disosialisasikan oleh negara dan dibiayai APBN. Lalu, mengapa Islam yang disalahkan? Mengapa bukan kementerian, penulis buku, penerbit dan penyebar yang dicurigai radikal? Ataukah ada pihak tertentu yang sengaja menyusupkan paham radikal atas nama agama Islam untuk menyebar kebencian antar umat beragama? Sebab Islam tidak mengajarkan kebencian karena perbedaan agama.
Kasus terbaru, penghentian pengajian dan pemberian sanksi kepada karyawan PELNI dengan tuduhan radikal oleh Direksi dan Komisaris secara subyektif. Seorang pegawai PT Pelni dipecat setelah mengundang seorang penceramah yang dianggap radikal ke dalam acara pengajian.
Menurut keterangan Komisaris PT Pelni Dede Budhyaryo, pemecatan pegawai tersebut dilakukan sebagai langkah serius pihaknya untuk memerangi paham radikalisme.
Tapi mengapa ada diskriminasi? Stigma radikal acapakali disematkan ke agama Islam, dan tidak pada gerakan sparatis Papua, Komunis, Syi’ah, Kristen, atau aliran sesat sejenisnya? Sejumlah anggota DPR dari fraksi PDIP, melalui RUU HIP, mengusulkan perubahan pancasila jadi ekasila, dan mengganti Ketuhanan YME jadi ketuhanan berkebudayaan. Mengapa mereka tidak disebut radikal, musuh negara dan anti pancasila?
Ketua BNPT Irfan Idris memberikan jawaban diskriminatif dan anti agama. “Hal itu terjadi lantaran para pelaku teror membawa-bawa simbol agama,” katanya.
“Jelas Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu teroris. Namun bedanya mereka tidak membawa-bawa agama dalam perjuangannya. Sehingga tidak multitafsir dalam pergerakan OPM. Dan OPM pun ditangani oleh aparat-aparat khusus dalam segala tindakannya,” terang Irfan Idris.
Jadi, teroris dan radikalis itu adalah orang beragama, yang berjuang untuk menegakkan ajaran agamanya? Sementara mereka yang anti agama, diklaim bukan radikalis, sekalipun menyerang agama, ingin merubah pancasila dan mengganti dasar negara?
Menghakimi orang lain berdasarkan persepsi sepihak adalah kezaliman. Dan sikap diskriminatif inilah pemicu perpecahan bangsa. Apakah menurut BNPT, seseorang disebut radikal karena pemahaman agama atau tindakan pidana? Sebenarnya, bukanlah otoritas BNPT membuat kriteria radikal tanpa mengacu pada agama dan konstitusi Negara.
Karakter Abdullah bin Ubai bin Salul yang hatinya lebih condong pada misi orang kafir daripada berIslam dengan ikhlas, agaknya tidak hanya diwarisi BNPT dan Densus 88. Tidak kurang dari mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, gemar memvonis gerakan penegakan syari’at Islam sebagai ancaman berbahaya, menurut persepsinya sendiri.
“Munculnya gerakan Islam syari’at merupakan ekspresi politik identitas berlabel Islam. Bila tidak dikawal secara kritis dapat meruntuhkan bangunan kebhinekaan pada bangsa ini,” kata Syafii Maarif di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, seperti dikutip itoday, Rabu (17/7/2013).
Persepsi negatif itu diulang lagi ketika launching bukunya, “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” di Auditorium UMY, Kamis 16 April 2015. Dalam acara yang dihadiri sejumlah dosen dari Philipina, Thaeland, Syafii seakan belum puas bicara sebelum merecoki sesama muslim.
“Saat ini orang yang menolak Pancasila, dan lebih suka Piagam Jakarta masih ada. Tapi tinggal sedikitlah, tinggal sisa-sisa laskar Pajang, tapi mereka vokal,” katanya.
Lelaki tua asal Minang ini pun mengeritik i’tikad kalangan ‘radikal’ dalam beragama. “Kelompok radikal ini menerapkan teologi maut, karena mereka tidak mampu menawarkan solusi untuk bisa hidup,” tandasnya.
Sikap Syafii Maarif bisa dipahami, tapi bukan dibenarkan. Ia berbeda dengan pemimpin senior Muhammadiyah yang justru terlibat aktif memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, Ki Bagus Hadikusumo, dulu termasuk sosok yang paling gigih mempertahankan Piagam Jakarta yang sila pertamanya berisi tujuh kata: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Dalam desertasi di Temple University (1995) berjudul The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in Indonesia, yang kemudian diterbitkan oleh penerbit Mizan, Bandung, dengan judul Membendung Arus: Respons Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Mengungkapkan, bahwa misi awal pendirian Muhammadiyah adalah membendung arus Kristenisasi yang ditopang kekuatan politik kolonial Belanda.
Kegigihan Muhammadiyah di era KH Ahmad Dahlan, mendakwahi para pastor Kristen dan Katolik seperti van Lith, van Driesse, Domine Bakker, dan Dr Laberton, dapat dibaca dalam buku dokumenter Muhammadiyah Setengah Abad: Makin Lama Makin Tjinta (1912-1962). Ahmad Dahlan pernah menantang pendeta Kristen Samuel Zwemmer untuk debat terbuka (openbaar), karena khotbahnya yang menghina Islam, tapi Zwemmer tak berani datang. Ki Hajar Dewantoro berkomentar dalam surat kabar Darmo Kondo, Solo: “Dr. Zwemmer tidak mampu menghadapi KH Ahmad Dahlan.”
Peristiwa sejarah ini mengajarkan dua hal. Pertama, dari semua cara yang pernah digunakan orang kafir untuk mengalahkan umat Islam, yang paling efektif adalah memanfaatkan kelemahan mental dan finansial orang Islam. Kedua, menolak kewajiban menegakkan syari’at Islam di lembaga negara, sejatinya merupakan ‘sumbangan’ terbesar umat Islam bagi kepentingan golongan kafir.
Lalu, mengapa kita terpesona bahkan tertipu oleh kaum Islamophobia? Padahal Allah Swt lebih dekat pada kita daripada mereka? Gendang yang dipukul, kadang bisa menyadarkan orang yang terlelap dalam tidur. Tapi adakah gendang yang bisa menyadarkan orang yang tertipu dan sudah mati hatinya?
Oleh: Ust. IRFAN S. AWWAS