Fatwapedia.com – Dalam Islam, setelah kitab Al Quran, ada kitab-kitab hadits sebagai sumber rujukan ilmu yang meriwayatkan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama dahulu dan sekarang telah bersepakat bahwa kitab yang paling dipercaya setelah Al Quran adalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Kita telah membahas kitab Shahih Al-Bukhari pada edisi yang lalu. Nah, pada edisi ini kita akan sedikit mengupas kitab Shahih Muslim.
Shahih Muslim, demikian kitab ini dikenal oleh kaum muslimin. Nama asli kitab ini adalah Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashar Minas-Sunan bin-Naqli Al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah. Dalam bahasa kita kurang lebih maknanya ‘Hadits shahih yang bersambung rantai sanadnya, teringkas dari hadits-hadits (yang sangat banyak), dari penukilan orang-orang yang terpercaya, sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Kitab ini ditulis oleh Imam Muslim. Nama lengkap beliau Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi. Beliau berkunyah Abul Husain. Beliau berasal dari negeri Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia. Al Imam Ad Dzahabi menyebut beliau dengan muhsin An Naisaburi, yang berarti orang Naisaburi yang banyak memberikan kebaikan, atas prestasi dan kesungguhan beliau bagi Islam dan kaum muslimin.
Shahih Muslim memuat hadits-hadits shahih yang merupakan saringan dari sejumlah 300.000 hadits yang dihafal dan dianggap shahih oleh Al Imam Muslim rahimahullah. Dari sejumlah besar hadits itu, beliau memilih 3030 hadits, atau dalam pendapat lain 4000 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangannya berjumlah sekitar 10.000 hadits.
Dengan penuh kesungguhan, beliau rahimahullah menulis kitab Shahih ini selama sekitar 15 tahun. Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, serta membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Beliau sangat teliti dan hati-hati dalam memilih lafazh-lafazh hadits yang ingin beliau cantumkan. Lebih dari itu, beliau memberikan isyarat adanya perbedaan antara lafaz tersebut. Maka akhirnya lahirlah kitab Shahih ini.
Tentang ketelitian beliau ini, tersirat dari ungkapan beliau sendiri, “Tidaklah aku mencantumkan sebuah hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan. Tidak pula aku menggugurkan suatu hadits, melainkan dengan alasan pula.” Demikianlah. Sebuah kitab yang agung, luas, dan dalam kandungan maknanya. Seolah laut lepas tak bertepi. Imam Muslim rahimahullah pernah berkata, sebagai ungkapan kebahagiaan beliau, “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad (shahih) ini.”
Kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, berbeda dengan metode Imam Al Bukhari. Imam Muslim tidak mencantumkan judul-judul dalam setiap pokok bahasan untuk menegaskan pelajaran yang terdapat dalam hadits yang beliau sebutkan. Namun, beliau lebih memilih untuk menyebutkan tambahan-tambahan lafazh pada hadits pendukungnya. Sehingga, dalam menuliskan satu hadits pokok, beliau tambahkan hadits-hadits penguat lain untuk menjelaskan kandungan ilmu dari hadits tersebut. Sederhananya, beliau ingin menjelaskan hadits dengan hadits yang lain.
Adapun Imam Al Bukhari, beliau menyebutkan judul bab untuk mengungkap kandungan hadits, tanpa menyebutkan hadits penguatnya. Imam Al Bukhari memotong hadits sesuai dengan tema bab. Sementara Imam Muslim menuliskan satu hadits secara utuh. Sehingga, kita akan sering menemui pengulangan satu hadits dalam Shahih Al-Bukhari. Walaupun dua kitab ini berbeda dalam sistematika penyusunannya, namun Imam Muslim banyak terpengaruhi oleh metode penulisan gurunya, Imam Al Bukhari.
Para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Al-Bukhari. Kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa Shahih Al-Bukhari lebih unggul. Sedangkan sejumlah ulama lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan perbedaan tipis antara dua kitab shahih ini. Dalam sistematika penulisan, Imam Muslim lebih unggul. Namun, dari segi ketatnya syarat kesahihan, Shahih Al-Bukhari lebih utama. Yang jelas disepakati, bahwa kedua kitab hadits shahih ini sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah fiqih, dan semua bidang ilmu dalam Islam.
Namun yang harus dicatat, bahwa Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim tidaklah memuat semua hadits shahih. Al-Imam Al-Bukhari hanya memasukkan sebagian hadits shahih yang beliau hafal. Adapun Al-Imam Muslim, beliau menegaskan bahwa beliau hanya menyusun hadits-hadits populer di kalangan ulama dan disepakati keshahihannya. Sehingga, masih banyak hadits yang shahih di luar dua kitab shahih ini.
Kiranya, cukuplah kesepakatan umat, bahwa kedua kitab tersebut adalah kitab paling shahih di bawah kolong langit setelah Al-Qur`an sebagai keistimewaan tersendiri dari dua kitab ini.
Referensi:
- Al-Mandhumah Al-Baiquniyyah
- Taisirul Musthalahil Hadits Al-Ba’itsul Hatsits
Sumber: Majalah Qudwah edisi 02 volume 01 / 1433 H / 2012 M.