Fatwapedia.com – Dalam riwayat Bukhari dan juga Muslim disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kriteria orang-orang yang mendapatkan keistimewaan khusus masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, yaitu :
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَلاَ يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak menganggap sial karena perihal gerak-gerik burung dan semisalnya, tidak melakukan pengobatan dengan kay (menempelkan besi panas) dan kepada Rabbnya mereka bertawakal.”
Akan tetapi al-Imam Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan hadits yang senada, namun ada tambahan lafazh :
هُمُ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ، وَلَا يَسْتَرْقُونَ ، وَلَا يَتَطَيَّرُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka adalah orang-orang yang TIDAK MERUQYAH, tidak minta diruqyah, tidak menganggap sial karena perihal gerak-gerik burung dan semisalnya dan kepada Rabbnya mereka bertawakal.”
Tentu adanya tambahan lafazh “لَا يَرْقُونَ (tidak meruqyah)” dengan kemasyhuran kitab Shahih Muslim menjadi kajian sendiri dikalangan ulama hadits, bagaimana status kevalidan tambahan ini. Bahkan jika kita melihat langsung kitab Shahih Muslim, maka sanad untuk ziyadah (tambahan) lafazh yang kita bahas adalah (hadits no. 220) :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، أَخْبَرَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، فَقَالَ :…
“Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshûr, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah mengabarkan kepada kami Hushain bin Abdur Rahmân ia berkata, ketika aku duduk di majelisnya Sa’id bin Jubair ia berkata….(lalu beliau membawakan hadits dari gurunya, yaitu Ibnu Abbas radhiyallahu anhu secara marfu, dengan lafazh yang ada tambahannya tersebut).”
Para perawinya semuanya tsiqah, bahkan Sa’id bin Manshûr adalah seorang Imam ahli hadits yang punya beberapa tulisan dalam hadits, seperti Tafsir dan kitab as-Sunan.
Namun kalau kita kumpulkan jalan-jalannya, maka Sa’id bin Manshûr dalam meriwayatkan dari gurunya saja, yaitu Husyaim bin Basyîr, menyelisihi para perawi berikut -yang mudah bagi saya menelurusinya-, yang meriwayatkan tanpa ziyadah dimaksud :
- Usaid bin Sa’id, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 6541) disandingkan dengan perawinya. Al-Imam Nasa`i, Daruquthni dan selainnya menilainya sebagai perawi matruk.
- Suraij bin an-Nu’mân, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no. 2448). Al-Imam Yahya bin Ma’în, Abu Hâtim dan selainnya mentsiqahkannya.
- Sujâ’ bin Makhlad, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (no. 2448). Al-Imam Yahya bin Ma’în, Abu Zur’ah, Ahmad bin Hanbal dan selainnya mentsiqahkannya.
Maka Sa’id bin Manshûr dengan penyelisihannya dalam meriwayatkan ziyadah yang kita bahas, terhadap dua perawi terakhir yang berstatus tsiqah, maka sudah cukup untuk menilai ziyadah ini Syadz. Karena definisi syadz menurut para ulama hadits adalah penyelisihan perawi yang diterima haditsnya terhadap perawi lainnya yang lebih tsiqah darinya, baik secara personil maupun secara jumlah.
Kita bertambah yakin syadz-nya ziyadah ini dengan informasi dari jalan lainnya ketika membandingkan riwayat Sa’id bin Manshûr dari gurunya, Husyaim dalam meriwayatkan dari gurunya Hushain bin Abdur Rahman yang menjadi poros sanad. Data yang mudah saya dapatkan sebagai berikut :
- Syu’bah, melalui jalan Ishaq bin Manshûr dari Rûh bin ‘Ubâdah darinya dalam Shahih Bukhari (no. 6472) yang mana Syu’bah, yang dijuluki amirul mukminin fil hadits meriwayatkan hadits tanpa tambahan yang beliau dengar langsung dari Hushain bin Abdur Rahman. Kedua perawi dibawah syu’bah, keduanya adalah perawi tsiqah.
- Muhammad bin Fudhoil dari Hushain bin Abdur Rahman, melalui jalannya ‘Imrân bin Maisarah, Imam Bukhari meriwayatkannya (no. 5705). Keduanya adalah perawi tsiqah.
- Hushain bin Numair Hushain bin Abdur Rahman, melalui jalannya Musaddad, Imam Bukhari meriwayatkannya (no. 5752). Keduanya adalah perawi tsiqah.
- ‘Abtsar bin al-Qâsim Hushain bin Abdur Rahman, melalui jalannya Abu Hushain al-Kûfiy, Imam Tirmidzi meriwayatkannya (no. 2446). Keduanya adalah perawi tsiqah.
Kesimpulannya, ziyadah (tambahan) dalam Shahih Muslim “لَا يَرْقُونَ”, melalui jalannya al-Imam Sa’id bin Manshûr adalah syadz dari tinjauan sanadnya, karena menyelisihi para perawi tsiqah lainnya yang jumlah lebih banyak yang meriwayatkan tanpa tambahan.
Kemudian kontennya juga menyelisihi hadits-hadits lainnya yang sangat banyak dan jelas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meruqyah dan Beliau tidak mungkin bukan salah satu yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab, bahkan Beliau adalah pemimpin mereka.
Al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia pada waktu itu dengan susunan : asy-Syaikh bin Baz (ketua), Abdul Aziz Alu Syaikh (wakil ketua), Shalih al-Fauzan, Bakr Abu Zaid dan Abdullah al-Ghudayân (ketigannya anggota), menjawab hukum tambahan tersebut dengan salah satu jawabannya menukil penilaian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
أما ما ورد في رواية مسلم وغيره (ولا يرقون) فقد قال شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله – : هذه الزيادة وهم من الراوي، لم يقل النبي-صلى الله عليه وسلم-: (ولا يرقون)
“Adapun yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya “tidak meruqyah”, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan : “tambahan ini berasal dari kelemahan perawinya, Nabi tidak pernah mengatakan “tidak meruqyah”. -selesai-.
Ahli hadits besar abad ini yang merupakan kebanggaan umat Islam, juga dengan tegas menyatakan :
فزيادة : ( لا يرقون ) في الاصطلاح الحديثي زيادة شاذ
“Tambahan “tidak meruqyah” dalam istilah ilmu hadits adalah TAMBAHAN YANG SYADZ (GANJIL).” -selesai-.
ana (Abu Sa’id) bertanya kepada Syaikhunâ, Ahmad bin Syihâb hafizhahullah -peneliti hadits di universitas Ibnu Sa’ud-, tentang tambahan diatas dan beliau menjawab dengan mengisyaratkan akan pencacatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah terhadapnya. Wallahu A’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono