Fatwapedia.com – Di ruang tunggu Bandara Internasional Jeddah, Haji Sa’id duduk menunggu. Di sampingnya ada seorang jama’ah haji lainnya. Dari sinilah obrolan mereka bermula.
“Aku bekerja sebagai kontraktor dan Allah telah memberikan aku kenikmatan yaitu dengan memberiku kesempatan berhaji ini. Ini adalah hajiku yang ke sepuluh.”
Mendengar basa-basi teman duduknya itu, Haji Sa’id kemudian menimpali: “Semoga haji diterima dan dosa-dosa pun terampuni.”
Lelaki itu kemudian bertanya kepada Haji Sa’id:
“Dan engkau sendiri, apakah pernah haji sebelumnya.”?
Sa’id menjawab:
“Demi Allah, akhi, hajiku ini memiliki kisah tersendiri dan aku tidak ingin membuatmu berlelah-lelah mendengar kisah tsb.”
Lelaki itu tertawa, lalu berkata: “Demi Allah, ceritakanlah akhi. Seperti yang engkau lihat, kita sedang menunggu.”
Sa’id tersenyum dan memulai kisah singkatnya.
“Iya benar, menunggu. Dan dari menunggulah kisahku bermula. Aku telah lama menunggu bertahun-tahun. Setelah bekerja selama 30 tahun di sebuah rumah sakit, barulah aku bisa mengumpulkan dana haji.
Di hari yang sama saat aku akan mengambil uang di rekeningku di rumah sakit, seorang ummahat -yang anaknya kutangani karena lumpuh- tiba-tiba terjatuh di hadapanku. Mukanya terlihat begitu sedih dan berkata kepadaku:
“Kutitipkan engkau kepada Allah wahai akhi Sa’id. Ini adalah ziarah terakhir kami di rumah sakit ini.”
Aku merasa aneh dengan ucapannya dan sepertinya ia tidak ridha dengan cara dan metodeku dalam menangani anaknya dan ia sepertinya berpikir untuk memindahkan anaknya ke rumah sakit lain.
Dia kembali berkata kepadaku:
“Tidak akhi Sa’id. Allah sebagai saksi bahwa engkau lebih perhatian terhadap anakku dibanding seorang ayah. Pengobatanmu telah banyak membantunya padahal kami sebelumnya telah pupus harapan.”
Lelaki yang mendengar kisah Sa’id ini berkata:
“Aneh ya. Jika ibu itu memang ridha dengan pelayananmu dan anaknya pun semakin membaik, lantas kenapa begitu saja ia ingin keluar dari rumah sakit padahal masa pengobatan belum usai?.”
Sa’id menjawab:
“Inilah yang aku pikirkan. Aku lantas menuju salah satu unit tertentu di rumah sakit dan bertanya. Nampaklah bahwa ayah si anak kehilangan pekerjaan dan tidak mampu membayar biaya pengobatan yang telah menunggak.
Aku lantas menemui direktur rumah sakit dan memintanya agar pihak rumah sakit tetap melanjutkan proses terapi untuk anaknya namun direktur menolak dengan keras sambil berkata:
“Ini adalah rumah sakit dan bukan yayasan sosial.”
Aku keluar dari ruangan direktur dalam keadaan sedih sekali. Kumasukkan tanganku ke kantong yang di dalamnya terdapat dana haji.
Kuangkat tanganku dan kepalaku menengadah ke langit sambil berujar kepada Rabbku:
“Rabbanaa, Engkau maha mengetahui keadaanku dan Engkau pun megetahui bahwa tidak ada yang lebih dicintai jiwaku selain berkunjung menjadi tamu agung-Mu di rumah-Mu dan menziarahi masjid nabi-Mu. Itu semua telah kupendam bertahun-tahun namun seorang ibu miskin itu dan anaknya membuat hatiku bersedih maka janganlah engkau haramkan aku untuk meraih segala keutamaan-Mu..”
Aku lalu pergi ke bagian kasir dan mengeluarkan semua yang ada di kantongku guna membayar semua biaya pengobatan selama 6 bulan. Aku segera menghubungi sang ibu dan mengabarkannya bahwa pihak rumah sakit memberikan pertimbangan dan keringanan sehingga pengobatan bisa dilanjutkan tanpa berbayar.
Lelaki yang mendengar Sa’id berkisah merasa terharu dan air matanya berlinang tak ia sadari lalu berkata kepada Sa’id:
“Semoga Allah memberkahimu dan orang-orang sepertimu. Oya, jika uangmu terpakai untuk itu, lantas bagaimana engkau bisa berhaji?”
Sa’id menjawab:
“Hari itu aku kembali ke rumah dalam keadaan amat sedih sebab hilangnya kesempatan emas untuk berhaji namun hatiku dipenuhi dengan kebahagiaan sebab telah membantu ibu dan anaknya itu keluar dari kehimpitan.
Malam itu aku tertidur dalam keadaan air mata terkuras. Dalam mimpi, aku melihat diriku sendiri thawaf mengelilingi Ka’bah dan dan orang-orang memandangku dan mengajakku bersalaman sambil berkata:
“Hajj mabrur wahai Haji Sa’id. Engkau telah menunaikan haji di langit sebelum berhaji di bumi. Doakan lah kami wahai Haji Sa’id.”
Aku terbangun dari tidur dan aku merasakan kebahagiaan tiada tara yang luar biasa. Aku lalu memuji Allah dan ridha dengan segala ketentuan-Nya. Tiba-tiba handphoneku berbunyi tertnyata ada pangiilan dari direktur rumah sakit. Beliau berkata:
“Bantulah saya. Pemilik rumah sakit akan berangkat haji tahun ini dan ia tidak bisa berangkat tanpa ditemani perawat/dokter pribadinya. Sayangnya istri dokter pribadinya sedang hamil dan ia sendiri tidak bisa meninggalkan istrinya.”
Aku bersujud syukur kepada Allah. Dengan kesempatan inilah aku bisa bisa berangkat haji sebagaimana engkau lihat.
Allah telah memberiku kesempatan berhaji tanpa harus membayar apapun. Saat berhaji, aku kisahkan kisahku kepada pemilik rumah sakit tentang keprihatinan ibu dan anaknya yang kutangani di rumah sakit lalu beliau memerintahkan agar anak tsb tetap mendapat pengobatan dengan biaya dari beliau. Beliau juga berpesan agar di rumah sakit ada pengumpulan dana untuk biaya pengobatan orang miskin.
Beliau juga memberikan lapangan kerja kepada suami ibu tsb di tempat lain dan juga mengembalikan semua uang yang kugunakan untuk membiayai pengobatan anak dari ibu tadi.
Adakah engkau melihat keutamaan yang lebih agung dan luas dari keutaaman Rabb kita?
Orang yang mendengar kisah haji Sa’id berkata:
“Masyallah. Pahala hajimu berkali lipat dari hajiku. Aku sekarang memahami bahwa aku berhaji menuju baitullah sementara engkau, Allah lah yang memanggilmu menuju rumah-Nya.”
Rabbanaa, mudahkan kaum muslimin melaksanakan ibadah di masjidil Haram, masjid Nabawi dan masjid al-Aqsha.
Sumber: Akun Marina Ma’dan
Alih bahasa: Yani Fahriansyah (2018)