Larangan-larangan Ihram Yang Tidak Merusak Haji

Larangan-larangan Ihram Yang Tidak Merusak Haji

Fatwapedia.com – Larangan ihram bagian kedua ini tidak membatalkan haji, namun sebaiknya ditinggalkan demi kesempurnaan ibadah haji dan umroh yang kita lakukan. 

Kedua: Larangan-Larangan Yang Tidak Merusak Haji

Ada 11 hal yang dilarang bagi muhrim (orang yang berihram) namun tidak merusak atau membatalkan haji.

1. Memakai Pakaian Yang Berjahit Bagi Laki-Laki

Diharamkan bagi seorang lelaki memakai pakaian yang berjahit, yang dimaksud di sini adalah atas dasar membentuk bagian badan[5], maka tidak boleh memakai kemeja, celana, sorban, peci, baju besi, sepatu, kaos kaki, sarung tangan atau sejenisnya.

Hadits Ibnu `Umar -radhiallahu ‘anhu-: bahwa seorang lelaki berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَلْبَسُ المُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَلْبَسُ القُمُصَ، وَلاَ العَمَائِمَ، وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ، وَلاَ البَرَانِسَ، وَلاَ الخِفَافَ إِلَّا أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ، فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ

“Wahai Rasulullah, pakaian apa yang dipakai oleh orang yang sedang berihram? Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab: tidak memakai gamis, sorban, celana, baju panjang yang bertutup kepala dan tidak juga kaos kaki kecuali jika seseorang tidak mendapatkan sepasang sandal maka pakailah sepatu dan potonglah hingga di bawah tumit, dan janganlah kalian memakai pakaian yang disentuh oleh sesuatu dari za’faran atau wars.”[1]

Faedah: Pakaian yang diharamkan kepada lelaki tersebut mencakup kepada sesuatu yang terbiasa di pakai jadi kalau mengenakan kemeja atau memakai kain penutup bagian bawah dengan celana yang tidak terbiasa dipakai maka tidak apa-apa karena pada keadaan itu termasuk kepada jenis kain penutup bagian atas dan kain penutup bagian bawah[2].

Bagi Yang Tidak Menemukan Sesuatu Kecuali Celana Dan Sepatu

Bagi seseorang yang tidak menemukan kain penutup badan, lalu menemukan celana dan sepatu -dan dia butuh berjalan- maka dibolehkan baginya untuk mengenakan apa yang dia temukan, hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu- berkata:

خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ، فَقَالَ: «مَنْ لَمْ يَجِدِ الإِزَارَ فَلْيَلْبَسِ السَّرَاوِيلَ، وَمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الخُفَّيْنِ

“Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkhutbah pada kami di hari arafah dan bersabda: siapa yang tidak menemukan kain penutup maka pakailah celana, dan siapa yang tidak menemukan sandal maka pakailah sepatu.”[3]

Jadi hadits tersebut menunjukkan bolehnya memakai celana -jika tidak menemukan kain- begitu saja dan tidak diharuskan untuk memotongnya lalu memakainya -seperti dalam mazhab Hanafi- dan tidak masalah baginya, tidak ada denda dan tidak juga yang lainnya karena jika memang diwajibkan denda maka nabi pasti menjelaskannya karena hal tersebut dalam keadaan membutuhkan, ini adalah mazhab mayoritas kebalikan dari pendapat Hanafi.

Jika tidak menemukan sandal maka memakai sepatu, akan tetapi apakah dipotong -seperti disebutkan dalam hadits Ibnu `Umar- atau tidak, seperti hadits Ibnu Abbas[4]? Maka imam Ahmad berpendapat bahwa tidak diharuskan memotong keduanya, dan pendapat tersebut dipilih oleh Ibnu Taimiyah beliau berkata: “Yang utama adalah tidak boleh menggunakan alas kaki jika mudah, jika tidak menemukan sepasang sandal maka pakailah sepatu, tidak perlu memotong hingga di bawah kedua tumit. Pertama nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk memotongnya, kemudian memberi keringanan setelah itu pada hari arafah dan adapun keringanan di dalam pemotongan karena dengan memotong akan menjadi seperti sandal.

Sebagian berkata: pemotongan sepatu adalah perusakan terhadap harta dan telah dilarang dari hal tersebut.

Ketika mayoritas berpendapat bahwa wajib memotong hingga di bawah kedua tumit[1], hasil dari mutlak hadits Ibnu Abbas atas keharusan di dalam hadits Ibnu `Umar. Penulis berkata: ini lebih utama dari yang pertama. Allah Maha Tahu.

2. Laki-laki Memakai Sesuatu Di Kepalanya

Maka tidak boleh memakai peci di atas kepalanya dan tidak juga sorban dan sejenisnya. Berdasarkan Sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di dalam hadits Ibnu `Umar di atas:

لاَ يَلْبَسُ القُمُصَ، وَلاَ العَمَائِمَ

“Tidak memakai kemeja dan tidak juga sorban.”

Menutup kepalanya dengan kerudung (kain dan sejenisnya) karena umumnya sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di arafah:

لَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ

“Janganlah kalian menutupi kepalanya.”[2]

Ini umum terhadap semua penutup dan tidak dikatakan: Bahwa dikhususkan dengan sorban saja tanpa penutup lainnya, maka sesungguhnya sesuatu yang umum tidak dikhususkan dengan salah satu jenisnya kecuali ketika bertentangan -seperti yang telah ditetapkan di dalam ushul- dan tidak ada pertentangan di sini. Allah Maha Tahu.

Lalu jika berteduh dengan sesuatu yang terpisah seperti tempat berteduh, paying, mobil atau pohon yang sejenisnya maka tidak perlu khawatir dengan hal itu seperti yang akan disebutkan.

3. Perempuan Memakai Cadar Atau Burqa Dan Sarung Tangan

Dari tambahan yang disebutkan di dalam hadits Ibnu `Umar di atas yaitu:

وَلا تَنْتَقِبُ الْمُحْرِمَةُ، وَلا تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ

“Dan perempuan yang berihram tidak boleh memakai cadar, dan tidak memakai kedua sarung tangan.”[3]

Ada perbedaan pendapat di dalamnya: Apakah kalimat tersebut bagian dari ucapan nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ? atau itu termasuk dari ucapan Ibnu `Umar? Al-Hafizh Ibnu Hajar lebih membenarkan yang terakhir di dalam al-fath[4].

Ulama berbeda pendapat di dalam pemakaian cadar, mayoritas melarang, dan hanafiyah membolehkannya, ini adalah riwayat Syafi’iyyah dan Malikiyyah[1].

Penulis berkata: Atas pendapat dengan pelarangan dari cadar bagi perempuan yang berihram, maka dibolehkan baginya menarik kerudungnya dari atas kepalanya ke wajahnya ketika para lelaki lain lewat. Penarikan kerudung tidak dinamakan cadar[2]. Akan disebutkan beberapa dalil atas hal tersebut.

4. Larangan Bagi Pria Atau Wanita Memakai Wangi-Wangian Pada Baju Atau Badan

Hadits nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari hadits Ibnu `Umar -radhiyallahu ‘anhu-:

وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ

“Dan janganlah kalian memakai sesuatu dari pakaian yang disentuh za’faran dan wars.”[3]

Sabda nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap orang yang berihram yang terinjak oleh untanya:

(لا تحنطوه و لا تخمروا رأسه فانه يبعث يوم القيامة ملبيا)

“Janganlah kalian memberinya wewangian, dan janganlah kalian menutupi kepalanya, maka sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.”[4]

5. Memotong Rambut Kepala

Firman Allah -subhanahu wa ta`ala-

(وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ)

“Dan jangan engkau mencukur kepalamu hingga sampailah kurban di tempat penyembelihannya.”[5]

Kaum muslimin telah sepakat atas haramnya mencukur rambut kepala, sama di dalam hal ini baik itu laki-laki ataupun perempuan, dan diwajibkan denda[6].

Jika orang tersebut terkena penyakit jika membiarkan rambutnya maka boleh baginya menghilangkannya, dan dikenakan denda. Berdasarkan firman Allah -subhanahu wa ta`ala-

(فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ)

“Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur) maka wajib atasnya denda yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban.”[1]

Ayat tersebut diturunkan di dalam masalah Ka’ab bin ujrah ketika nabi berjalan melewatinya -dia sedang berihram- dan kutu-kutu berjatuhan ke wajahnya, lalu nabi bertanya:

أَتُؤْذِيكَ هَوَامُّكَ هَذِهِ؟» قَالَ: قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَاحْلِقْ رَأْسَكَ ْ وَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوأَطْعِمْ سِتَّةِ مَسَاكِينَ ، أَوِ انْسُكْ بشاة

“Apakah serangga-seranggamu itu mengganggumu? Dia menjawab: ya, lalu nabi berkata: cukurlah kepalamu, dan berpuasalah selama tiga hari atau beri makan enam orang fakir miskin atau sembelihlah seekor domba.”[2]

Apakah Dilarang Seseorang Memotong Atau Mencukur Rambut Selain Dibagian Kepala?

Imam Nawawi[3] berkata, sahabat-sahabat kami berkata: Pengharaman tersebut tidak dikhususkan dengan mencukur dan juga tidak dengan kepala, akan tetapi diharamkan menghilangkan rambut sebelum waktu tahallul, dan diwajibkan baginyadenda baik itu rambut kepala atau jenggot atau kumis atau ketiak atau kemaluan atau seluruh badan, dan baik itu menghilangkan dengan mencukur atau memendekkan atau memperjelas dengan dicabut atau membakar atau selainnya. Tidak ada perbedaan pendapat di dalam hal ini menurut kami.

Penulis berkata: Tidak diragukan bahwa dalil tersebut lebih khusus dari hukum maka tidak dibenarkan menarik kesimpulan, kecuali berkata: (bahwa dalil di sini adalah analogi), maka kami berkata: jadi harus disamakan antara asli dan cabang di dalam alasan, maka bagi yang menjadikan sebab di dalam pelarangan dari mencukur kepala “pelarangan yang menyeluruh” (dan ini adalah pendapat kebanyakan) adalah pelarangan mencukur seluruh rambut. Bagi yang menjadikan sebab: bahwa orang yang sedang berihram jika mencukur rambutnya maka jatuh dengan hal itu ibadah yang disyariatkan yaitu mencukur atau memendekkan, berkata: tidak diharamkan kecuali mencukur kepala, pendapat ini dikuatkan bahwa pada asalnya boleh atas apa yang diambil dari rambut maka tidak dilarang kecuali dengan dalil[4].

Penulis berkata: Pendapat itu memiliki keadaan, akan tetapi apakah mensamarkan hadits.

Dari semua ini maka yang paling berhati-hati adalah mengamalkan dengan pendapat mayoritas di dalam masalah ini, maka dilarang mengambil rambut kepalanya, kumis, ketiak, kemaluannya dan yang lainnya. Allah Maha Tahu.

Faedah: Jika seorang yang berihram menggaruk kepalanya maka tidak ada larangan baginya walaupun jatuh beberapa rambutnya jika dia tidak bermaksud.

6. Memotong Kuku

Ibnu al-Mundzir meriwayatkan secara ijma’ atas larangan bagi seorang yang berihram memotong kuku, Ibnu Qudamah berkata: Para ahli ilmu sepakat bahwa seseorang yang sedang berihram dilarang memotong kuku, dan dikenakan denda bila memotongnya menurut pendapat kebanyakan: Hamad, Malik, Syafi`I, Abi Tsaur dan kelompok rasional dan diriwayatkan dari atha’, dan darinya: berpendapat tidak dikenakan denda, karena syariah tidak menyebutkan di dalamnya denda[1].

Penulis berkata: Jika ijma’nya benar maka itu adalah dalil yang wajib diikuti, dan jika tidak maka penelitian di dalamnya seperti yang telah dijelaskan dalam mencukur seluruh rambut.

Di dalam hal ini Daud azh-Zhahiri menyelisihi dan dia membolehkan memotong kuku seluruhnya dan berkata: Tidak ada denda di dalamnya[2] Nawawi berkata:[3]: Telah diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dan yang selainnya ijma’ kaum muslimin atas haramnya memotong kuku ketika ihram, mungkin mereka tidak mempertimbangkan Daud dan di dalam pertimbangan dengannya di dalam ijma’ ada perbedaan.

Penulis berkata: Berbeda dalam hal ini Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (7/246) membolehkan memotong kuku.

Faedah: asy-Syanqithi -rahimahullah- berdalih di dalam Adhwaa’ul Bayaan (5/404) atas pelarangan dari memotong kuku dengan firman Allah -subhanahu wa ta`ala-

(ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ)

Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada mereka[4]

Atas dasar tafsir beberapa sahabat dan pengikut shahabat pada kalimat mengganti at-tafts bahwa mencukur kepala dan memotong kuku dan mencabut bulu ketiak…lalu beliau-rahimahullah-berkata: Atas tafsir yang disebutkan maka ayat ini menunjukkan bahwa kuku seperti rambut bagi orang yang berihram, apalagi itu ma’thufah dengan kalimat tsumma atas penyempurnaan hidayah, maka hal ini menunjukkan bahwa mencukur dan memendekkan kuku dan yang semacamnya seharusnya setelah hari nahr.

Faedah: Jika kukunya patah maka dibolehkan untuk menghilangkannya dan tidak dikenakan apa-apa atasnya.

7. Pendorong Senggama

Nawawi berkata: “Maka diharamkan menyentuh dengan syahwat seperti bersentuhan paha, mencium dan menyentuh dengan tangan disertai syahwat sebelum tahallul kedua. Yang di antara kedua tahallul ada perbedaan, ketika telah ditetapkan haram hukumnya apabila sengaja menyentuh dengan syahwat maka diwajibkan denda yaitu seekor kambing atau diganti dengan memberi makan atau puasa, dan tidak diwajibkan unta atau sapi yang digemukan tanpa perbedaan baik itu keluar mani atau tidak.

Adapun diwajibkannya unta atau sapi yang digemukkan karena senggama, dan ibadahnya tidaklah rusak menyentuh dengan syahwat tanpa adanya perbedaan baik itu keluar mani atau tidak, itu semua jika menyentuh pada masa ihramnya, dan jika seandainya lupa maka tidak ada fidyah tanpa adanya perbedaan pendapat.[1].

Penulis berkata: Dalil pengharaman tersebut masuk di dalam umumnya firman Allah : فَلَا رَفَثَ yakni: maka tidak boleh berkata kotor seperti yang telah disebutkan.Tetapi penulis tidak mengetahui dalil dari Al-Qur`an dan as-Sunnah yang mewajibkan denda bagi orang yang menyentuh dengan syahwat -selain senggama-, kecuali kaidah para ahli fiqih bahwa melakukan perkara yang haram pada waktu ihram diwajibkankafarat walaupun tidak diterima.

Malik berpendapat bahwa menyentuh atau mencium dan keluarnya mani maka rusak hajinya dan atasnya haji orang yang dicium. Jika mencium atau menyentuh atau menikmati, tidak keluar mani dan tidak melakukan penetrasi maka dikenakan denda[2]?!

Sedangkan Ibnu Hazm membolehkan semua yang ada kecuali senggama, atas dasar bahwa “rafatsa” adalah senggama bukan yang lain[3].

8-9. Lamaran Dan Pernikahan

Hadits `Utsman bin `Affan radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكَحُ، وَلَا يَخْطُبُ

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak dinikahkan dan tidak boleh melamar.”[4]

Tirmidzi berkata: Perbuatan atas hal tersebut bagi sebagian sahabat nabi. Dengannya Malik, Syafi’iy, Ahmad, Ishaq berpendapat tidak melihat bolehnya seorang yang berihram menikah dan jika menikah maka nikahnya batal.

Hadits tersebut ditentang oleh hadits Ibnu `Abbas -radhiyallahu `anhu-:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ

“Bahwa sesungguhnya nabi menikahi Maimunah dalam kedaan berihram.”[5]

dan dengannya Abu Hanifah dan Tsauri berpendapat maka mereka membolehkan nikahnya seorang yang berihram.

Akan tetapi mayoritas ulama menjawab pendapat tersebut dengan beberapa jawaban. Sebagian menggunakan jalan pertimbangan pendapat[6] yaitu:

a. Bahwa perkataan Ibnu Abbas tersebut berasal dari sesuatu yang dia pikir, dan mengira dari pikirannya, Sa`id bin al-Musayyab berkata: Ibnu Abbas membayangkan -walaupun bibinya- tidak akan dinikahi oleh Rasul kecuali setelah halal. Ahmad berkata: hadits ini salah.

b. Bahwa Ibnu Abbas ketika itu masih berumur sepuluh tahun, terkadang tersembunyi atas sesamanya hal-hal detail yang terjadi pada zamannya.

c. Bahwa Maimunah sendiri dan Abu Rafi’-penengah nabi untuk menikahinya- menetapkan bahwa nabi menikahi Maimunah dalam keadaan halal: dari Yazid ibnul Asham berkata:

حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ»، قَالَ: «وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ

“Maimunah binti Harits berkata kepadaku bahwa Rasulullah menikahinya dalam keadaan halal dan berkata: dia adalah bibiku dan bibinya Ibnu `Abbas.”[1]

Dari Abi Rafi’ berkata:

(تزوج رسول الله ميمونة و هو حلال, و بني بها و هو حلال, و كنت أنا الرسول فيما بينهما)

“Rasulullah menikah dengan Maimunah dalam keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan waktu itu aku adalah seorang utusan di antara mereka.”[2]

d. Bahwa nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menikahinya pada masa umrah qadha’ -tanpa ada perbedaan- dan Makkah pada masa itu merupakan medan perang dan adapun keringanan mereka atas memasukinya untuk umrah dan tinggal selama tiga hari saja kemudian keluar maka datanglah dari Madinah dalam keadaan berihram untuk umrah dan tidak diragukan lagi bahwa beliau menikahi Maimunah setelah menyelesaikan umrah kemudian kembali dari Makkah bersama. Adapun nabi berihram dari Dzil Huzaifah maka secara zahir keadaan beliau menikahinya adalah dalam keadaan ihramnya, sedangkan yang meriwayatkan bahwa beliau menikahi Maimunah dalam keadaan halal maka mengatakan atas kebenaran kejadian tersebut dan mengabarkannya.

e. Atas ketentuan shahihnya hadits Ibnu Abbas[3] bertentangan antara perbuatan dan perkataan -di dalam hadits Utsman- maka wajib mendahulukan perkataan, karena perbuatan sesuai dengan kebebasan asli yaitu keadaan pernikahan itu halal disetiap keadaan, dan perkataan diucapkan dari yang asal maka hadits Ibnu Abbas dibatalkan dan tidak dibolehkan mendahulukan perbuatan di sini karena mewajibkan darinya perubahan hukum dua kali dan hal itu berbeda dengan kaidah hukum.

Penulis berkata: Ini adalah jawaban yang paling kuat karena sesuai dengan ushul. Dan dikuatkan juga bahwa haramnya menikah bagi orang yang berihram telah ditetapkan perbuatannya oleh khulafa’ Ar-raasyidiin. Dari Abi Ghathfan dari ayahnya:

(أن عمر فرق بينهما, يعني: رجلا تزوج و هو محرم)

“Bahwa `Umar memisahkan di antara keduanya, yakni kepada laki-laki yang menikah dalam keadaan ihram”[1]

Dari Ali berkata:

لَا يُنْكِحِ الْمُحْرِمُ, فان نكح رد نكاحه)

“Tidak boleh menikah orang yang sedang berihram, maka jika menikah pernikahannya ditolak.”[2].

10-11. Melakukan Maksiat, Berselisih Dan Berdebat

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

(فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ)

“Siapa yang menetapkan niatnya untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada saat mengerjakan haji.”[3]

Sebagian dari ulama’ mengikuti jalan pengkhususan dan berpendapat bahwa perbuatan nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak menentang keadaan khusus umat, terutama bagi nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di dalam pernikahan adalah pengkhususannya yang telah dikenal. Akan tetapi tarjih di atas lebih utama karena kurangnya kekhususan kepada dalil. Allah Maha Tahu.

Ikut Serta Perburuan Hewan Darat Liar

Baik dengan membunuh, menyembelih, mengisyaratkan atau menunjukkan arah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

(وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا)

“Dan diharamkan atasmu menangkap buruan darat selama masih dalam keadaan ihram.”[1].

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ)

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membunuh hewan buruan ketika sedang ihram.” [2]

Hadits Abi Qatadah yang terdapat di dalamnya:

(فَلَمَّا انْصَرَفُوا أَحْرَمُوا كُلُّهُمْ إِلَّا أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ فَبَيْنَمَا هُمْ يَسِيرُونَ إِذْ رَأَوْا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الْحُمُرِ فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنْ لَحْمِهَا وَقَالُوا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِ الْأَتَانِ فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا أَحْرَمْنَا وَقَدْ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمْ يُحْرِمْ فَرَأَيْنَا حُمُرَ وَحْشٍ فَحَمَلَ عَلَيْهَا أَبُو قَتَادَةَ فَعَقَرَ مِنْهَا أَتَانًا فَنَزَلْنَا فَأَكَلْنَا مِنْ لَحْمِهَا ثُمَّ قُلْنَا أَنَأْكُلُ لَحْمَ صَيْدٍ وَنَحْنُ مُحْرِمُونَ فَحَمَلْنَا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا قَالَ أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا قَالُوا لَا قَالَ فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا)

“Lalu ketika mereka berangkat mereka semua berihram kecuali Abu Qatadah belum berihram, maka mereka berjalan ketika melihat keledai-keledai liar lalu Abu Qatadah mengambil keledai tersebut dan menyembelih seekor keledai betina, maka turunlah mereka dan memakan dagingnya dan mereka berkata: apakah kita memakan daging buruan sedangkan kita dalam keadaan berihram? Lalu kami bawa sisa daging keledai betina itu dan ketika mereka mendatangi Rasulullah berkata: wahai Rasulullah, kami telah berihram, sedangkan Abu Qatadah belum berihram lalu kami melihat keledai-keledai liar lalu Abu Qatadah mengambilnya dan menyembelih keledai betina lalu kami turun dan memakan dagingnya, kemudian kami berkata: apakah kita memakan daging buruan dalam keadaan berihram? Lalu kami bawa sisa dagingnya, Rasul menjawab: adakah di antara kalian yang menyuruh atau mengisyaratkannya? mereka menjawab: tidak, beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata: maka makanlah apa yang tersisa dari dagingnya.”[3]

Footnote:

[1] Lihat hadits tersebut di ‘Tafsir At-Thabari’ (4,125-126) dengan sanad yang shahih.

[2]‘Al-Mughni’ (3/334), Ibnu Mundzir (hal.144).

[3] Lihat Al-Muhalla (7/189).

[1]Al-Qur`an Surat Al Baqarah: 196

[2] Sanadnya hasan: Hadits riwayat: Ibnu Abi Syaibah (1/4/142), dan Baihaqi (5/167).

[3] Suatu aliran dalam islam

[4]Dan begitu juga telah disebutkan rusaknya haji dengan jimak dari `Umar dan Ali dan Abu hurairah dengan sanad yang lemah.

[1] Lihat al-Majmu’ (7/404).

[2]As-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (7/184).

[3] Al-Muhallaa (7/186), al-Majmu’ (7/364).

[4]Al-Qur`an Surat: al-Ahzab: 5

[5]Al-Majmu’ (7/269), Al-Muhallaa (7/80), dan maksud dari berjahit bukan berarti yang ada jahitannya bahkan merupakan bagian dari sunnah untuk memakai kain pinggang dan kain penutup badan walaupun berjahit menurut kesepakatan para ulama’.

[1]Shahih. Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1543), dan Muslim (1177).

[2]Al-Majmu’ (7/270), dan Majmu’ Fataawa Syaikhul Islam (26/109).

[3]Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1843), dan Muslim (1178).

[4] Dari riwayat Ahmad (1/228) dari Ibnu Juraij dari Abi Sya’tsa (Jabir bin Zaid) dari Ibnu `Abbas seperti yang telah disebutkan, dan di akhirnya: “Penulis berkata: tidak berkata “agar memotongnya”? Beliau menjawab: tidak”, perkataan tersebut kemungkinan diucapkan oleh Ibnu Juraij atau selainnya, telah tetap Hadits riwayat: Amru bin Dinar dari Jabir dari Ibnu abbas tanpa perkataan tersebut dalam shahih Al-Bukhariy dan Muslim, bahkan Hadits riwayat: Ayyub dari Amru dari Jabir dari Ibnu Abbas dan menambahkan di akhirnya “…dan potonglah sampai di bawah tumit” seperti ini sepakat dengan hadits Ibnu `Umar, Hadits riwayat: an Nasai (5/135) dan Hadits riwayat: orang-orang tsiqah kecuali bahwa kalimat tambahan tersebut syadz. Allah Maha Tahu.

[1] Fathul baari (3/471), dan yang dimaksud dengan al-Ka’baan adalah kedua tulang yang menonjol di pemisah antara betis dan kaki.

[2]Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1851), dan Muslim (1206).

[3]Sanadnya shahih: Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1838), dan Abu Daud (1825), dan At-Tirmidziy (833), dan Nasai (5/133).

[4] Lihat Fathul Baari (4/64), dan dikuatkan oleh guru kita -hafizhahullahu- dalam jaami’ ahkaam annisaa’.

[1] Fathul baari (4/65).

[2]Al-Muhalla  Ibnu Hazm (7/91), dan Ensiklopedia Fatwa Ibnu Taimiyah (26/112).

[3]Shahih: telah disebutkan.

[4]Shahih: telah disebutkan.

[5]Al-Qur`an Surat: al-Baqarah,196

[6]Al-Majmu’, Imam An-Nawawi (7/262).

[1]Al-Qur`an Surat : al-Baqarah:196

[2]Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1814), dan Muslim (1201), dan selainnya.

[3]Al-Majmu’ (7/262).

[4]Disampaikan oleh Al-‘Allaamah Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- seperti yang ada dalam Al-Mumti’.

[1]Al-Ijmaa` Ibnu al-Mundzir (57), dan Al-Mughni (5/388).

[2] Al-Majmu’ (7/263).

[3] Al-Majmu’ (7/263).

[4]Al-Qur`an Surat : Al-Hajj : 29

[1] Al-Majmu’ (7/306).

[2] Al-Mudawwanah (1/327).

[3]Al-Muhalla (7/254).

[4]Shahih, Hadits riwayat: Muslim (1409), At-Tirmidziy (840), Abu Daud (1841), an Nasai (5/292), dan Ibnu Majah (1966).

[5]Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1837), dan Muslim (1410).

[6] Lihat Al-Muhalla (7/200), al-Mughni (3/158), Fathul Baari (4/62), Zaadul Ma’aad (3/372), Syarhul ‘Umdah –  Syaikhul Islam (2/194).

[1]Sanadnya shahih, Hadits riwayat: Muslim (1411), Abu Daud (1843), At-Tirmidziy (845), Ibnu Majah (1964) dan selainnya.

[2]Dha’if, Hadits riwayat: At-Tirmidziy (841) dengan sanad yang lemah dan dia menguatkan hadits yang sebelumnya, dan At-Tirmidziy mencacatinya dengan mursal, dan tidak melihat cacat disini untuk menambahkan dari yang telah diambil dari Maimunah atas ayat keadaan, dan telah dijelaskan dengan ucapan dalam riwayat Muslim.

[3] Diisyaratkan oleh al-Hafizh di dalam al-Fath (9/166) bahwa sesungguhnya kebenaran hadits Ibnu Abbas dari Abu Hurairah dan `A’isyah, penulis berkata: bahkan disetiap mereka ada perkataan, dan barangkali demi hal tersebut Ibnu Abdil Barr berkata di dalam at-Tamhid (3/153): “aku tidak mengetahui satupun sahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Maimunah dalam keadaan berihram kecuali Ibnu Abbas”.

[1]Sanadnya shahih, Hadits riwayat: Malik di dalam al-Muwattha’ (869), dan al-Baihaqi darinya (5/66), dan lihat al-Irwaa’ (1038).

[2]Sanadnya shahih, Hadits riwayat: Baihaqi (5/66).

[3]Al-Qur`an Surat: al-Baqarah : 197

[1]Al-Qur`an Surat: al-Maidah : 96

[2]Al-Qur`an Surat: al-Maidah: 95

[3] Shahih, Hadits riwayat: Al-Bukhariy (1824), dan Muslim (1196).

Leave a Comment