Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.
Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.
Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.
Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.
Soal cara memahami, alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al-tariqah).
Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.
Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.
Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).
Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.
Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.
Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).
Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.
Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.
Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].
Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.
Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya.
Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.
Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.
Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.
Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.
Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.
Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.
Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).
Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.
Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.
Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.
Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.
Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.
‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi