Fatwapedia.com – Di antara shalat sunnah yang telah rutin dikerjakan sebagian besar kaum muslimin adalah shalat dhuha. Baik di rumah, lingkungan sekolah bahkan di perkantoran shalat dhuha telah ‘membudaya’. Sebelum menjelaskan tata cara shalat dhuha secara lengkap, terlebih dahulu kita mulai dengan dalil dianjurkannya shalat duha.
Dalil Pensyariatannya
Adapun dari hadits Nabawi, maka ada beberapa hadits yang membicarakan sholat Dhuha, diantaranya kami ambil dari kitab hadits yang paling shahih di dunia, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut :
1. Hadits Ummu Hânî` bintu Abi Thâlib radhiyallahu ‘anhâ :
…فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ، قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ…قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ : وَذَاكَ ضُحًى.
“…setelah selesai memandikannya, Nabi lalu sholat 8 rakaat….Ummu Hânî` berkata, “itu adalah Dhuha.” (Muttafaqun ‘alaih).
2. Hadits Anas radhiyallahu anhu :
….فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ آلِ الْجَارُودِ لِأَنَسٍ : أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى ؟ قَالَ : مَا رَأَيْتُهُ صَلَّاهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ.
“Seorang laki-laki dari Alu al-Jarûd kepada Anas, “apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sholat Dhuha?”,
Anas radhiyallahu anhu menjawab : “aku tidak pernah melihat Beliau sholat Dhuha, kecuali pada hari itu.” (HR. Bukhari).
3. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata :
أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ ؛ …. وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى….
“Kekasihku, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berwasiat tiga hal : …..dua rakaat sholat Dhuha…” (Muttafaqun alaih).
4. Hadits Mu’âdzah yang bertanya kepada Aisyah radhiyallahu anhâ :
كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ : أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.
“Berapa rakaat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat Dhuha?”,
beliau radhiyallahu anhâ menjawab : “4 rakaat dan menambahinya sebanyak yang Beliau mau.” (HR. Muslim).
5. Hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ…وَيُجْزِئُ مِنْ ذلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Tiap pagi setiap persendian kalian perlu disedekahi….. mencukupi hal ini dengan dua rakaat yang ia sholat pada waktu Dhuha.” (HR. Muslim).
Pendapat para Ulama terkait Pensyariatannya
Diantara para sahabat yang rutin melakukan sholat Dhuha adalah :
A. Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata tatkala diberi tiga wasiat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, salah satunya adalah sholat Dhuha, beliau berkata :
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ
“Kekasihku – yakni Nabi shallallahu alaihi wa sallam – berwasiat kepadaku tiga hal yang aku tidak meninggalkannya sampai aku mati…”. (Muttafaqun alaih).
B. Abu Darda` radhiyallahu anhu juga berkata :
أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ، لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ …. وَصَلَاةِ الضُّحَى…
“Kekasihku shallallahu alaihi wa sallam berwasiat kepadaku tiga hal, sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup, yaitu : ….dan sholat Dhuha…” (HR. Muslim).
C. Aisyah radhiyallahu anhâ juga dilaporkan rutin mengerjakannya, sebagaimana dikatakan oleh al-Qâsim bin Muhammad :
أَنَّهَا كَانَتْ تُغْلِقُ عَلَيْهَا بَابَهَا، ثُمَّ تُصَلِّي الضُّحَى
“Bahwa Aisyah radhiyallahu anhâ menutup pintunya, lalu beliau sholat Dhuha.”
Adapun ulama dari empat mazhab ditambah mazhab Zhahiri sepakat akan disyariatkannya sholat Dhuha, diantara yang tegas menyatakannya adalah :
1. Al-‘Allâmah Ibnu ‘Âbidîn al-Hanafiy rahimahullah dalam “Hasyyiyyahnya” (II/22) berkata :
نَدْبُهَا هُوَ الرَّاجِحُ كَمَا جَزَمَ بِهِ فِي الْغَزْنَوِيَّةِ وَالْحَاوِي وَالشِّرْعَةِ وَالْمِفْتَاحِ وَالتَّبْيِينِ وَغَيْرِهَا
“Sunnahnya sholat Dhuha adalah pendapat yang rajih, sebagaimana ditegaskan dalam al-Ghaznawiyyah, al-Hâwiy, asy-Syir’ah, al-Miftâh dan at-Tabyîn serta selainnya.”
2. Al-Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawâniy al-Maliki rahimahullah dalam kitabnya “ar-Risâlah” (hal. 147) berkata :
وصلاة الضحى نافلة
“Sholat Dhuha itu nâfilah (sunnah).”
3. Al-Imam Abu Ishâq asy-Syairaziy asy-Syâfi’iy rahimahullah dalam kitabnya “al-Muhadzdzab” (I/159) berkata :
ومن السنن الراتبة صلاة الضحى
“Diantara sunah-sunah rawatib adalah sholat Dhuha.”
4. Al-Imam Ahmad rahimahullah memandang sunnahnya sholat ini, sebagaimana dinukil oleh al-Maimûniy rahimahullah :
قال أحمد: ما سمعناه إلا من وكيع، وإسناده جيد.
(يقصد حديث أبي هريرة: ما صلى النبي -صلى اللَّه عليه وسلم- الضحى قط إلا مرة).
“بدائع الفوائد” ٤/ ٩٧
“Ahmad berkata, “tidaklah kami mendengar tentang sholat Dhuha kecuali dari Wakî’ dan sanadnya jayyid.”
(Yang beliau maksud adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu : “tidaklah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat Dhuha, kecuali satu kali.” (Muttafaqun alaih)).(Via Jâmi’u li’Ulum al-Imâm Ahmad, VI/444).
5. Al-Imam Ibnu Hazm azh-Zhâhiriy rahimahullah dalam kitabnya “al-Muhallâ” (II/7) berkata :
ثُمَّ أَوْكَدُهَا بَعْدَ الْوِتْرِ صَلَاةُ الضُّحَى
“Kemudian sholat yang kuat anjurannya setelah sholat witir adalah sholat Dhuha.”
Jumlah Rakaat Shalat Dhuha
Adapun terkait jumlah rakaatnya, maka minimalnya adalah dua rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadits wasiat Abu Hurairah dan selainnya. Adapun jika dikerjakan sebanyak satu rakaat saja, maka Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Paling sedikit shalat Dhuha dikerjakan dua rakaat, karena dua rakaat ini adalah yang paling minimal disyariatkan dalam sholat-sholat, selain sholat Witir, maka tidak disunnahkan bagi seseorang untuk sholat Tathowu’ dengan satu rakaat, tidak disyariatkan hal itu, kecuali dalam sholat Witir. Oleh karena itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang masuk masjid pada saat Beliau sedang berkhutbah Jum’at :
قُمْ فصَلِّ رَكعتين، وتَجَوَّزْ فيهما
“Berdirilah, sholat dua rakaat dan percepatlah dalam mengerjakannya.” (HR. Muslim).
Seandainya disyariatkan kurang dari dua rakaat, niscaya Beliau akan memerintahkannya, agar sahabat tersebut bisa segera mendengarkan khutbah, oleh sebab itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya agar mempercepatnya.
Pendapat yang benar adalah sholat sunnah dengan satu rakaat tidak sah, sekalipun sebagian ulama mengatakan sahnya sholat Tathowu’ dengan satu rakaat, namun ini adalah pendapat yang lemah.” (asy-Syarah al-Mumti’, IV/84).
Adapun jumlah rakaat terbanyaknya, maka banyak ulama yang mengatakan 8 rakaat. Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berfatwa :
إن صلّى ثمانيًا فهو أفضلُ وأعلى، ثم الست، ثم أربع، ثم ركعتين، كلّ ذَلِكَ قدْ ذُكِرَ عن -صلى اللَّه عليه وسلم-.
“Jika ia sholat 8 rakaat, maka ini lebih utama dan yang paling banyak, lalu 6 rakaat, lalu 4 rakaat, lalu 2 rakaat. Semua ini disebutkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Via Jâmi’u lil Ulûm Al-Imam Ahmad, VI/444).
Al-Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa rakaat yang paling banyak adalah 12 rakaat, kata beliau :
وقال الروياتى وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا أَكْثَرُهَا اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Ar-Rûyâniy dan ar-Râfi’iy serta selain keduanya mengatakan bahwa yang paling banyak adalah 12 rakaat.”
Lalu beliau rahimahullah membawakan dalilnya dari hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
إنْ صَلَّيْتَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ تُكْتَبْ مِنْ الْغَافِلِينَ وَإِنْ صَلَّيْتَهَا أَرْبَعًا كُتِبْتَ مِنْ الْمُحْسِنِينَ وَإِنْ صَلَّيْتَهَا سِتًّا كُتِبْتَ مِنْ القانتين وان صليتها ثمانى كُتِبْتَ مِنْ الْفَائِزِينَ وَإِنْ صَلَّيْتَهَا عَشْرًا لَمْ يُكْتَبْ لَكَ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَنْبٌ وَإِنْ صَلَّيْتَهَا ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Jika engkau sholat Dhuha dua rakaat, maka engkau tidak ditulis sebagai orang yang lalai; jika engkau mengerjakannya empat rakaat, engkau akan ditulis termasuk orang-orang yang berbuat ihsan; jika engkau mengerjakannya enam rakaat, engkau akan ditulis termasuk orang-orang yang senantiasa taat; jika engkau mengerjakannya delapan rakaat, engkau akan ditulis termasuk orang-orang yang sukses; jika engkau mengerjakannya sepuluh rakaat, engkau tidak akan ditulis berdosa pada hari tersebut; jika engkau mengerjakannya dua belas rakaat, Allah akan membangunkan untukmu rumah di surga.” (HR. Baihaqi didhaifkan oleh Imam Baihaqi sendiri dan Imam Nawawi). (Al-Majmu’, IV/36 & 39).
Barangkali pendapat Imam Ibnu Utsaimin berikut adalah yang benar terkait jumlah rakaat terbanyak sholat Dhuha, beliau berkata :
“Yang shahih bahwasanya tidak ada batasan untuk banyaknya, karena Aisyah radhiyallahu anhâ berkata :
كان النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم يُصَلِّي الضُّحى أربعاً، ويزيد ما شاء الله
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat Dhuha 4 rakaat dan Beliau menambahkan sesuai yang dikehendaki Allah.” (HR. Muslim).
Dalam hal ini tanpa ada batasan, seandainya seseorang sholat mulai dari Matahari naik setinggi setombak sampai sesaat sebelum Zawâl sebanyak 40 rakaat misalnya, maka ini semua masuk didalam shat Dhuha.” (Asy-Syarh al-Mumti’, IV/85).
Kemudian yang terbaik sholat ini dikerjakan dua rakaat dua rakaat tiap dua rakaat satu kali salam, sebagaimana dalam hadits :
صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Shalat malam dan siang dua rakaat dua rakaat dan salam setiap dua rakaat.” (HR. Malik).
Imam bin Baz rahimahullah berfatwa :
فالسنة أن يصلي الإنسان اثنتين اثنتين، تسلم من كل اثنتين
“Yang sunnah seseorang sholat (Dhuha) dua rakaat dua rakaat, dan salam setiap dua rakaat.”
Adapun jika mengerjakannya empat rakaat dengan satu kali salam, maka terkait kebolehannya, banyak ulama membolehkannya, seperti yang difatwakan oleh asy-Syaikh bin Baz dan selainnya rahimahumullah.
Dalam hadits Ummu Hânî` radhiyallahu anhâ dalam Shahihain, terdapat isyarat bahwa yang utama mengerjakan sholat Dhuha itu dengan ringan. Al-Imam Ibnu Abi Lailâ rahimahullah berkata :
مَا أَنْبَأَ أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ ، ذَكَرَتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ اغْتَسَلَ فِي بَيْتِهَا، فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَمَا رَأَيْتُهُ صَلَّى صَلَاةً أَخَفَّ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ.
“Tidak ada seorang pun yang memberitakan bahwa ia melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan sholat Dhuha selain Ummu Hânî`. Beliau menyebutkan bahwa Nabi pada waktu penaklukkan Mekkah mandi di rumahnya, lalu sholat delapan rakaat, (kata beliau) : “aku tidak pernah melihat Nabi sholat yang lebih ringan, selain sholat tersebut, namun tetap sempurna ruku’ dan sujudnya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” (III/53) berkata :
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى اسْتِحْبَابِ تَخْفِيفِ صَلَاةِ الضُّحَى
“Diambil dalil dengannya atas dianjurkannya meringankan sholat Dhuha.”
Namun setelahnya, Al Hafizh mengkritik bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi, karena bisa jadi Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakannya dengan ringan, terkait dengan kesibukan Beliau yang baru saja menaklukkan Kota Mekkah.
Oleh sebab itu, maka kembali kepada kondisi normalnya bahwa yang lebih utama mengerjakan sholat yang dikerjakan secara pribadi adalah dengan memanjangkannya sesuai dengan kehendaknya. Al Hafizh memperkuat hal ini dengan hadits Khudzaifah radhiyallahu anhu dalam Mushonaf Ibnu Abi Syaibah :
أنَّهُ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ صلَّى الضُّحى فطوَّلَ فيها
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam sholat Dhuha, lalu Beliau memanjangkannya.”
Akan tetapi status hadits diatas yang benar adalah dhoif, asy-Syaikh Nabîl bin Manshûr dalam kitabnya “Anîs as-Sâriy” yang khusus mentakhrij hadits-hadits dalam Fathul Bari menemukan ada dua cacat dalam sanadnya yaitu : ‘an’anah Mudallis dan kemajhulan perawinya.
Namun diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anhâ bahwa beliau radhiyallahu anhâ sholat Dhuha, lalu memanjangkannya, diriwayatkan oleh Musaddad (I/269) dan dishahihkan oleh asy-Syaikh Zakariya al-Bâkistaniy hafizhahullah.
Tempat Shalat Dhuha
Kemudian menurut sebagian ulama yang utama sholat ini dikerjakan di rumah sebagaimana keumuman dalil bahwa sebaik-baik sholat adalah dikerjakan di rumah kecuali sholat wajib. Namun para pembesar mazhab Syafi’i berpendapat bahwa khusus untuk sholat Dhuha yang lebih utama adalah dikerjakan di masjid, berdasarkan hadits Abu Umâmah radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَن خرجَ من بيتِه متطَهرًا إلى صلاةٍ مَكتوبةٍ فأجرُه كأجرِ الحاجِّ المحرمِ ومَن خرجَ إلى تسبيحِ الضُّحى لا ينصبُه إلَّا إيَّاهُ فأجرُه كأجرِ المعتمرِ….
“Barangsiapa yang keluar dari rumah dalam kondisi suci menuju (masjid) untuk mengerjakan sholat wajib, maka pahalanya seperti pahala haji orang yang berihram dan barangsiapa yang keluar untuk mengerjakan sholat Dhuha, tidak ada tujuan lain kecuali untuk mengerjakannya, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah…” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh al-Albani dan selainnya).
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
السنة أن تُفعل في المسجد، لحديث ورد بذلك، فتكون مستثناة
“Yang sunnah sholat Dhuha itu dikerjakan di masjid, berdasarkan hadits yang datang mengenainya, maka dalam hal ini ada pengecualian.”
Waktu Shalat Dhuha
Waktu pelaksanaan sholat ini adalah sebagaimana dikatakan oleh al-Imam Abu Ishaq asy-Syairâziy asy-Syafi’i rahimahullah dalam “al-Muhadzdzab” (I/160) :
ووقتها إذا أشرقت الشمس إلى الزوال
“Waktunya adalah ketika Matahari Syuruq sampai zawâl (Matahari di tengah-tengah siang).” -selesai-.
Pada pembahasan yang lalu, kami telah menyebutkan tentang shalat al-Isyrâq yang dikerjakan setelah Matahari syuruq yaitu naik setinggi tombak sesaat setelah terbit. Dan banyak ulama mengatakan bahwa shalat al-Isyrâq adalah sholat Dhuha yang dikerjakan pada awal waktu.
Dalam hadits Nu’aim bin Hammâr radhiyallahu anhu terdapat isyarat awal waktu Sholat Dhuha, yaitu hadits Qudsiy yang mana Allah Ta’âlâ Berfirman :
يَا ابْنَ آدَمَ، لَا تُعْجِزْنِي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فِي أَوَّلِ نَهَارِكَ، أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Wahai Ibnu Adam, janganlah engkau merasa lemah dari mengerjakan 4 rokaat pada awal siang, aku akan mencukupimu pada akhir siangnya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Adapun waktu yang terbaik untuk mengerjakan sholat Dhuha adalah sebagaimana dinukil oleh al-Imam Nawawi dalam “al-Majmu’” (IV/36) :
قَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي وَقْتُهَا الْمُخْتَارُ قال إذَا مَضَى رُبْعُ النَّهَارِ لِحَدِيثِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Penulis kitab al-Hâwiy berkata, waktu yang terpilih untuk mengerjakannya adalah ketika masuk seperempat siang, berdasarkan hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : “shalatnya al-Awwâbîn (yakni maksudnya sholat Dhuha) adalah ketika anak Unta kepanasan.” (HR. Muslim). -selesai-.
Shahabi jalîl Zaid bin Arqam radhiyallahu anhu mengatakan hal ini tatkala :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ : أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ
“beliau melihat orang-orang sholat Dhuha, lalu beliau berkata : “apakah mereka tidak mengetahui bahwa sholat (Dhuha) pada waktu ini LEBIH UTAMA…”
Kalau di negara kita, jika dikonversi dengan menggunakan perhitungan jam sekarang sekitar pukul 09.00 pagi Wib.
Kemudian terkait dengan akhir waktunya yaitu sampai zawâl. Waktu Zawâl adalah waktu dimana Matahari setelah berada di tengah-tengah lalu tergelincir (bergeser) ke arah barat, yang Ini adalah waktu awal untuk sholat Zhuhur, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Ta’âlâ :
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمۡسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيۡلِ وَقُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِۖ إِنَّ قُرۡءَانَ ٱلۡفَجۡرِ كَانَ مَشۡهُودٗا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra’ : 78).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan :
“Hasyim telah meriwayatkan dari Mugirah, dari Asy-Sya’bi, dari ibnu Abbas radhiyallahu anhumâ, bahwa yang dimaksud dengan “dulukusy syams” ialah sesudah matahari tergelincir dari pertengahan langit.”
Namun jika kita mau detailkan lagi, maka yang lebih presisi terkait akhir waktu sholat Dhuha adalah sesaat sebelum Zawâl, sebagaimana diterangkan dalam mazhab Hanbali. Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan alasan terkait hal ini :
وقوله: «إلى قبيل وقت الزوال». «قبيل» تصغير قبل، أي: قبل زوال الشَّمس بزمنٍ قليل حوالي عشر دقائق، لأن ما قبيل الزَّوال وقت نهي ينهى عن الصَّلاة فيه، لأنه الوقت الذي تُسْجَرُ فيه جهنَّم، : «ثلاثُ ساعاتٍ كان رسُولُ الله صلّى الله عليه وسلّم يَنْهانَا أنْ نُصَلِّيَ فيهنَّ،… : …َ، وحين يقومُ قائمُ الظَّهيرة حتى تميلَ الشَّمسُ، …
وقائمُ الظَّهيرة يكون قُبيل الزَّوال بنحو عشر دقائق، فإذا كان قُبيل الزوَّال بعشر دقائق دخل وقتُ النَّهي.
إذاً؛ وقتُ صلاة الضُّحى مِن زوال النَّهي في أول النهار إلى وجود النَّهي في وسط النهار.
“Perkataan penulis : “sampai sedikit sebelum waktu Zawâl”.
“Qubail” adalah isim tashgîr dari “qabl”, yaitu sebelum zawâlnya Matahari dengan waktu yang sebentar, sekitar 10 menit-an, karena sesaat sebelum Zawâl adalah WAKTU TERLARANG untuk sholat padanya…..
“Ada tiga waktu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kami untuk mengerjakan sholat padanya….: “ketika Matahari tepat diatas hingga Matahari tergelincir….” (HR. Muslim).
“Matahari tepat diatas” itu sesaat sebelum Zawâl sekitar 10 menit, jika sudah berlalu 10 menit, maka masuk waktu sholat Zhuhur.
Jika demikian, waktu sholat Dhuha dari tergelincirnya waktu larangan pada awal siang sampai adanya larangan pada tengah siang.” (Syarh al-Mumti’, IV/88).
Waktu akhir sholat Dhuha, bahkan mencakup juga awal waktu Dhuha, diisyaratkan oleh hadits Amr bin ‘Anbasah radhiyallahu ‘anhu yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :
“Wahai Nabi Allah, ajarkanlah kepadaku pengetahuan yang Allah ajarkan kepadamu yang tidak aku ketahui, Beritahukanlah kepadaku tentang shalat?”
Maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ،….
“Lakukanlah shalat Subuh kemudian berhentilah (tidak melakukan shalat) sampai matahari terbit dan naik, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan, pada saat itu orang-orang kafir sujud kepadanya. Selanjutnya, lakukanlah shalat, Karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (para malaikat) sampai tiba bayangan hanya pada tombak (tidak ada bayangan sama sekali di bumi karena posisi matahari berada di tengah langit). Ketika itu, tahanlah dari melakukan shalat, karena pada saat itu neraka Jahannam sedang dinyalakan….” (HR. Muslim). Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono