Tata Cara Shalat Isyraq, Hukum, Waktu dan Keutamaan

Tata Csra Shalat Isyraq, Waktu dan Keutamaan

Fatwapedia.com – Shalat isyraq adalah shalat sunnah yang dikerjakan 15 menit setelah matahari terbit di pagi hari. Waktunya relatif cepat, namun banyak fadilah yang didapatkan. Berikut penjelasan lengkap tentang tata cara shalat isyraq.

Dalil Pensyariatannya

Al-Imam al-Ghazali rahimahullah dalam kitabnya “al-Ihyâ`” tatkala menafsirkan Firman Allah Ta’âlâ :

يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِْشْرَاقِ

“untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan Isyrâq (pagi).” (QS. Shad : 18).

Dinukil oleh “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (XXVII/132) :

وَفِي عَمِيرَةَ قَال الإِْسْنَوِيُّ: ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ. أَنَّ صَلاَةَ الضُّحَى هِيَ صَلاَةُ الإِْشْرَاقِ الْمُشَارِ إِلَيْهَا فِي قَوْله تَعَالَى: {يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِْشْرَاقِ} أَيْ يُصَلِّينَ، لَكِنْ فِي الإِْحْيَاءِ أَنَّهَا غَيْرُهَا، وَأَنَّ صَلاَةَ الإِْشْرَاقِ رَكْعَتَانِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ عِنْدَ زَوَال وَقْتِ الْكَرَاهَةِ

“Dalam ‘Umairah, al-Asnawiy berkata : “sejumlah ahli tafsir menyebutkan bahwa sholat Dhuha adalah sholat al-Isyrâq yang diisyaratkan dalam Firman Allah Ta’âlâ :

“untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan Isyrâq (pagi).” (QS. Shad : 18).

Yakni mereka sholat, namun dalam “al-Ihyâ`” bahwa itu bukan sholat Dhuha, sholat al-Isyrâq adalah dua rakaat setelah terbit Matahari setelah tidak lagi masuk waktu terlarang untuk sholat.”

Kemudian dalam as-Sunnah, terdapat dua buah hadits dari dua orang sahabat yang mulia sebagai berikut :

1. Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam “Sunannya” (no. 586) dengan sanadnya sebagai berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ الجُمَحِيُّ البَصْرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيزِ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو ظِلَالٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ»، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ»

“telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu’awiyyah al-Bashri ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muslim ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Zhilaal, dari Anas Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Barangsiapa yang sholat Subuh secara berjamaah, lalu ia duduk berdzikir kepada Allah hingga terbit Matahari, lalu dilanjutkan sholat dua rokaat, maka pahalannya seperti pahala haji dan umroh”, kata Beliau : “sempurna.. sempurna.. sempurna”.

Penilaian Sanad Hadits :

Abdullah dan Abdul Aziz, keduanya perowi yang tsiqoh.

Adapun Abu Zhilaal yang nama aslinya Hilaal bin Abi Hilaal, para ulama mendhoifkannya. Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits diatas, beliau berkata :

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ ” وَسَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ: عَنْ أَبِي ظِلَالٍ؟ فَقَالَ: هُوَ مُقَارِبُ الحَدِيثِ

“hadits ini hasan ghoriib, lalu aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail (Imam Bukhori) tentang Abu Zhilaal ini?,

kata beliau : ‘ia (Abu Zhilaal) Muqâribul Hadiits”. -selesai-.

Lafadz muqâribul hadits adalah lafadz-lafadz ta’dil sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Balqiiniy dalam kitabnya “al-Mahaasinu” dan Imam al-‘Iroqiy dalam “Syarah alfiyahnya” menjadikan lafadz ini sebagai tingkatan keempat dari lafadz-lafadz ta’dil terhadap perowi.

Imam Tirmidzi, sebagaimana diceritakan oleh Imam as-Sakhowiy dalam kitabnya “Fathul Mughiits” menganggap jika Imam Bukhori mengatakan seorang perowi sebagai “muqâribul hadits”, maka urusan perowi tersebut menjadi kuat, setelah banyak ulama jarh wa ta’dil yang mendhoifkannya. Oleh karenanya kita lihat Imam Tirmidzi menilai hadits ini sebagai hadits Hasan.

Kemudian hadits ini diperkuat lagi dengan syahid sebagai berikut :

2. Imam ath-Thabrani dalam “Mu’jam al-Kabiir” (no. 7741) meriwayatkan dengan sanadnya sebagai berikut :

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، ثنا الْمُغِيرَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحَرَّانِيُّ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُوسَى بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ الْحَارِثِ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: «مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الْغَدَاةِ فِي جَمَاعَةٍ، ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ، انْقَلَبَ بِأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ»

“telah menceritakan kepada kami al-Husain bin Ishaq at-Tustariy, telah menceritakan kepada kami al-Mughiiroh bin Abdir Rahman al-Harrâniy, telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abdur Rahman, dari Musa bin Ali, dari Yahya bin al-Hârits, dari al-Qâsim, dari Abi Umâmah Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “barangsiapa yang sholat Subuh secara berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah, hingga terbit Matahari, lalu dilanjutkan sholat dua rokaat, ia akan mendapatkan pahala haji dan umroh”.

Kedudukan sanadnya :

  • al-Husain dinilai Imam adz-Dzahabi sebagai seorang hafidz yang banyak rihlah untuk menuntut ilmu;
  • al-Mughiiroh, perowi yang tsiqoh;
  • Utsman dinilai shoduq oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, ada pembicaraan dari para ulama tentangnya, namun barangkali ia tidak jatuh sampai dibawah derajat hasanul hadits;
  • Musa bin Isa, belum jelas bagi saya siapa yang dimaksud;
  • Yahya bin al-Haarits, perowi tsiqoh;
  • al-Qâsim bin Abdur Rahman asy-Syaami, dinilai shoduq oleh Al Hafidz dan ada pembicaraan terkait riwayatnya dari Abu Umaamah Rodhiyallahu ‘anhu.

Imam al-Albani dalam “Silsilah Ahaadits Shahihah” (no. 3403) menilai sanad hadits ini “hasan”, dan beliau menukil juga penilaian dari Imam al-Haitsami yang menilainya lebih tinggi lagi, yaitu “Jayyid”. Al-‘Alamah Muhammad al-Mubafarokfuuriy dalam “Tuhaftul Ahwadzi” juga menyetujui penghasanan Imam Tirmidzi, bahkan asy-Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam dalam kitabnya yang spektakuler “Syarah Sunan Nasa’i” yang diterbitkan sampai 42 jilid, beliau menilai (16/13) haditsnya Imam Tirmidzi Shahih dengan penguat-penguatnya.

Kesimpulannya, hadits dalam bab ini minimalnya berderajat HASAN yang layak dijadikan hujjah.

Pendapat Ulama tentang Disyariatkannya Sholat al-Isyrâq

1. Al-Imam Ghazali menganjurkan sholat al-Isyrâq sebagaimana telah dinukil diatas.

2. al-‘Alamah Zakariyaa al-Anshoriy rahimahullah dalam kitabnya “Asaaniy al-Mathoolib” (1/205) juga berkata :

قَالَ وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ عِنْدَ خُرُوجِ وَقْتِ الْكَرَاهَةِ قَالَ: وَهِيَ صَلَاةُ الْإِشْرَاقِ الْمَذْكُورَةِ فِي قَوْله تَعَالَى {يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ} [ص: 18] أَيْ يُصَلِّينَ وَجَعَلَهَا غَيْرَ الضُّحَى، لَكِنْ ذَكَرَ الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ صَلَاةً الْإِشْرَاقِ هِيَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ، وَهِيَ صَلَاةُ الضُّحَى

“sholat dua rokaat setelah terbitnya Matahari ketika sudah tidak dilarang lagi waktu untuk sholat yaitu sholat al-Isyraq sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa : {bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi } (QS. Shod : 18).

Yaitu mereka sholat dan menjadikan sholat itu bukanlah sholat Dhuha, namun Imam al-Hakim menyebutkan dalam Mustadraknya dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘anhu bahwa sholat al-Isyrâq adalah sholat al-Awwâbiin, yaitu sholat Dhuha” –selesai-.

3. Imam al-Albani rahimahullah sebagai ulama yang masyhur menghasankan hadits terkait dengannya juga menganjurkan sholat al-Isyrâq.

4. Al-‘Alamah bin Baz rahimahullah pernah berfatwa sebagaimana dinukil oleh asy-Syaikh al-Munajid hafizhahullah :

هذا الحديث له طرق لا بأس بها ، فيعتبر بذلك من باب الحسن لغيره ، وتستحب هذه الصلاة بعد طلوع الشمس وارتفاعها قيد رمح ، أي بعد ثلث أو ربع ساعة تقريبا من طلوعها

“Hadits ini memiliki beberapa jalan yang tidak mengapa sanadnya, maka ini dianggap masuk kedalam hadits HASAN LIGHOIRIHI. Dianjurkan mengerjakan sholat ini setelah terbitnya Matahari dan naik seukuran tombak yaitu kira-kira sepertiga atau seperempat jam dari terbitnya Matahari.”

5. Asy-Syaikh Wahiid Abdus Salam Bali hafizhahullah dalam bukunya tentang bank syariah, juga menyinggung sholat ini untuk dianjurkan dikerjakan.

Asy-Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid hafizhahullah mengatakan :

هذه الصلاة مستحبة ، وليست واجبة

“Sholat ini hukumnya sunnah, bukan wajib.”

Hanya saja beliau sebagaimana ulama lainnya menganggap sholat ini sebagai bagian dari sholat Dhuha.

Keutamaannya

Dalam hadits yang lalu telah disebutkan keutamaannya yaitu mendapatkan pahala haji dan umrah secara sempurna, alangkah besarnya keutamaan Allah Ta’âlâ kepada para hambaNya.

Waktunya

Sebagaimana tertera dalam hadits, waktu pelaksanaan sholatnya sesaat setelah Matahari terbit lalu ditinggu sampai naik setinggi tombak, karena waktu antara Matahari terbit sampai naik setinggi tombak adalah waktu terlarang untuk mengerjakan sholat. Jika dikonversikan dalam menit, maka waktunya adalah sekitar 15-20 menit setelah Matahari terbit. Al-‘Alamah ath-Thibiy rahimahullah berkata :

قال الطيبي : أي ثم صلى بعد أن ترتفع الشمس قدر رمح حتى يخرج وقت الكراهة

“Yaitu ia sholat setelah Matahari naik seukuran tombak, sehingga diluar waktu dilarangnya sholat.” (Tuhafah al-Ahwadziy).

Tata Caranya

Diawali dengan sholat Subuh berjamaah di masjid bersama kaum Muslimin, kemudian setelah selesai sholat, tetap duduk di tempat sholatnya dengan melakukan zikir, seperti zikir ba’da sholat, zikir pagi dan semisalnya sampai Matahari terbit, lalu menunggu 15-20 menit, sampai Matahari sudah mulai naik sepenggalan, kemudian sholat dua rakaat.

Kemudian apakah yang dimaksud duduk di tempat sholatnya adalah area yang ia lakukan sholat berjamaah tadi, atau mencakup juga bagian lain asalkan masih didalam masjid?

Al-Hafizh al-‘Iraqiy rahimahullah berkata :

ما المراد بمصلاه ؟ هل البقعة التي صلى فيها من المسجد ، حتى لو انتقل إلى بقعة أخرى في المسجد لم يكن له هذا الثواب المترتب عليه ، أو المراد بمصلاه جميع المسجد الذي صلى فيه ؟ يحتمل كلا الأمرين والاحتمال الثاني أظهر وأرجح

“Apa yang dimaksud dengan tempat sholatnya? Apakah area yang ia sholat padanya di masjid sehingga jika ia bergeser ke area lainnya didalam masjid, maka ia tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan atasnya? atau yang dimaksud dengan tempat sholat adalah seluruh area masjid yang sholat padanya? Maka ada dua kemungkinan terkait hal ini dan kemungkinan yang kedua (SELURUH AREA DALAM MASJID) adalah LEBIH NAMPAK DAN LEBIH RAJIH.”

Senada dengan gurunya diatas, Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata :

( مصلاه ) أي في المكان الذي أوقع فيه الصلاة من المسجد ، وكأنه خرج مخرج الغالب ، وإلا فلو قام إلى بقعة أخرى من المسجد مستمراً على نية انتظار الصلاة كان كذلك.

“(Tempat sholat) yaitu tempat yang ia kerjakan sholat didalam masjid, seolah-olah ini adalah keluar dari keumumannya, jika tidak, seandainya ia berdiri (lalu pindah) ke area lain masih didalam masjid (duduk) dengan niat menunggu didalamnya, maka ia pun (mendapatkan pahala) tersebut.” (Dinukil oleh tim fatwa islamWeb).

Kemudian bagaimana dengan kondisi jika seseorang ditengah-tengah berzikirnya ia ingin buang hajat atau batal wudhunya, sehingga ia harus keluar masjid, lalu memperbaharui wudhunya, lantas ia masuk masjid lagi untuk melanjutkan zikir dan seterusnya, apakah ia tetap mendapatkan pahala haji dan Umrah?.

Asy-Syaikh al-Munajid hafizhahullah membawakan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia :

من جلس في مصلاه بعد أداء صلاة الفجر يذكر الله حتى طلعت الشمس ثم أحدث فخرج من المسجد ليتوضأ ثم رجع بعد وضوئه لمصلاه من قريب ولم يطل مكثه خارج المسجد فصلى ركعتين بعد ارتفاع الشمس قدر رمح ، فإن خروجه ذلك لا يؤثر ولا يمنع من حصوله على الثواب العظيم المترتب على تلك العبادة إن شاء الله تعالى وهو إدراك حجة وعمرة تامتين والفوز بجنته ” انتهى .

Barangsiapa yang duduk di tempat sholatnya setelah menunaikan sholat Subuh, ia berzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, lalu ia berhadats, maka ia keluar masjid untuk berwudhu, lalu kembali setelah wudhu ke tempat sholatnya karena sebentar, tidak terlalu lama berada di luar masjid, maka ini tidak berpengaruh dan tidak terhalangi untuk mendapatkan pahala yang sangat besar yang disebutkan untuk ibadah tersebut -insya Allah Ta’âlâ- yaitu mendapatkan pahala Haji dan Umrah sempurna serta keberuntungan dengan surgaNya.” -selesai-.

Masih melanjutkan kasus diatas, bagaimana jika keluar masjidnya lama, misalnya buang hajat besar, maka tim islam.web menjawab :

يظهر أن قيامكِ من المصلى لقضاء حاجتك يُفوّتُ عليكِ هذا الثواب ، لكنكِ إن كنتِ معذورةً في القيام حصل لكِ الثواب بالنية، … وبخاصة إذا كان هذا الجلوس عادة لكِ .

“Yang nampak bahwa keluarnya anda dari tempat sholatnya untuk buang hajat ini menghilangkan pahala tersebut, namun jika engkau ada uzur untuk mengerjakannya, maka engkau akan mendapatkan pahala atas niatmu…terkhusus lagi duduk dalam hal ini adalah sudah menjadi kebiasaanmu.” -selesai-.

Bagaimana juga dengan kasus yang berlaku di beberapa masjid yang takmirnya langsung menutup masjid 15-20 menit setelah pelaksanaan sholat Subuh berjamaah, maka apabila seseorang ingin mendapatkan keutamaan sholat Isyrâq dengan melanjutkan berzikir di rumahnya sambil menunggu Matahari Syuruq (naik setinggi tombak), apakah ia bisa mendapatkan keutamaan tersebut?

Asy-Syaikh Muhammad Shâlih al-Munajid rahimahullah berfatwa terkait kasus diatas :

إذا كان المسلم في بلد تغلق فيه المساجد بعد الصلاة مباشرة ، فعاد المصلي إلى بيته وقعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين ، فإنه يرجى له الثواب الوارد في الحديث ؛ لأنه معذور .

“Jika seorang Muslim di daerahnya, biasanya Masjid ditutup segera setelah pelaksanaan sholat (Subuh), lalu orang tersebut kembali ke rumahnya duduk berzikir kepada Allah hingga Matahari terbit, lalu sholat dua rakaat, maka diharapkan ia mendapatkan pahala yang datang dalam hadits, karena ia mendapatkan uzur.”

Demikian juga ketika seorang Muslim sakit, sehingga sholat Subuhnya terpaksa di rumah dan ia ingin mengharapkan pahala dengan mengerjakan sholat Isyrâq di rumah atau yang terbaru adalah karena pandemi Corona, sehingga ia khawatir untuk sholat berjamaah di masjid, maka ia dapat melaksanakan sholat Isyrâq di rumah. Imam bin Baz rahimahullah berfatwa :

“Seandainya seseorang sholat di rumahnya sholat Subuh, karena sakit atau TAKUT, lalu ia duduk di tempat sholatnya dengan berzikir kepada Allah atau membaca Al Qur`an, hingga Matahari naik (sepenggalan), lalu sholat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala (haji dan umroh sempurna), karena adanya uzur.

Demikian juga wanita, jika ia duduk ditempat sholatnya setelah Subuh, berzikir kepada Allah atau membaca Al Qur`an… lalu ia sholat dua rakaat, maka ia ditulis sebagai orang yang mengerjakannya, ia mendapatkan pahala haji dan umroh sempurna.”

(via tweet DR. Abdul Aziz asy-Syaya’ hafizhahullah)

Penulis: Ust Abu Sa’id Neno Triyono

Leave a Comment