Fatwapedia.com – Mungkin kita sangat terheran-heran pada akhir-akhir ini menyaksikan, membaca atau mendengar dari media masa yang mengabarkan bahwa seorang pejabat Negara yang menempati kedudukan mulia telah menyekutukan Tuhan dengan jabatannya. Dengan jabatannya dia berbuat sewenang-wenang menyakiti hati rakyat. Menjual keimanan dengan harga yang murah. Meskipun manusia bukan Tuhan dan tidak mungkin menyamaiNya, seharusnya meneladani segala sikap yang diteladankan-Nya, sebagaimana gelar-gelar yang terkumpul dalam “asmaul husna” (nama-nama yang baik bagi diriNya).
Kita termasuk orang yang beruntung karena pada siang hari ini kita masih diberi kesempatan untuk menrenungkan dan mengkaji peristiwa-peristiwa tersebut di masjid ini. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa Allah mewajibkan menunaikan sholat jum’at yang di dahului dengan khutbah singkat sebagai bahan bingkisan untuk kita renung dan camkan setiap saat dalam menapaki hidup ini.
Kembali pada masalah bobroknya para pemimpin di negeri ini, kita tidak boleh serta merta menuding secara individu kepada mereka. Tetapi kita harus menyadari bahwa mereka adalah ibarat buah yang tidak lepas dari pohonnya. Siapakah yang menjadi pohon itu? Tentu masyarakat itu sendiri. Jadi, pemimpin yang tampil dengan berbagai bentuk karakternya itu, sebenarnya sebagai produk dari masyarakat darimana mereka berasal.
Dalam kacamata Islam, runtuhnya karakter mulia yang telah dicontohklan Nabi SAW dan para sahabat pada generasi sekarang menunjukkan semakin longgarnya generasi sekarang dalam memegang ajaran Allah dan Rasul-Nya. Kondisi seperti ini telah terantisipasi Allah SWT dalam Firman-Nya sbb;
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’Raaf [7]: 96).
Dalam ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa tampilnya individu pemicu kerusakan itu sebenarnya hanyalah ibarat fenomena gunung es. Artinya bobroknya pemimpin itu sebenarnya menggambarkan kebobrokan masyarakatnya. Kebobrokan masyarakat ini tidak terlepas dari peran para pemimpin dari tingkat atas hingga paling bawah. Bila kita tarik sampai ke bawah tidak terlepas dari peran orang tua sebagai pemimpin rumah tangga sebagai komponen pembentuk masyarakat yang lebih luas.
As-Shidiq, adalah sikap yang dicontohkan Nabi dan sikap ini erat kaitannya dengan keteladanan. Shidiq berarti benar, para ulama sering mengatakan sebagai sifat jujur. Shiddiqun berarti orang yang memiliki keselarasan isi hati, ucapan dan tindakan atau sikap. Sebagai kepala rumah tangga seorang ayah atau kepala rumah tangga harus memiliki sikap demikian. Inilah sikap yang harus dimiliki oleh orang yang beriman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash- shaff : 61 :2-3).
Allah SWT, memberikan bekal kepada setiap kepala rumah tangga, dengan mengisahkan hambanya yang sholeh (Luqman) dalam mendidik putranya. Bila kita perhatikan ada tiga pokok pikiran yang harus diterapkan oleh setiap kepala rumah tangga dalam mendidik keluarganya.
1. Seorang kepala rumah tangga harus mampu melarang keras anggota keluarganya menyekutukan Allah SWT.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّه إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran :”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman [31]: 13)
Mempersekutukan Allah, yaitu membuat Tuhan lain sebagai tandingan dari Allah, dapat juga mengandung makna sebagai mencintai sesuatu melebihi cintanya kepada Allah SWT.
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan (sekutu-sekutu) bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Al Baqororh [2]: 22)
Mungkin dalam praktek tidak menyebut secara langsung nama Tuhan tandingan tersebut, tetapi secara psikologis manusia terjerat dalam kondisi memuja benda tersebut (syirik). Demikian, sehingga para mufasir membagi syirik dalam dua kategori yaitu “syirik yang nyata” dan “syirik yang tersembunyi”. Syirik nyata adalah dengan jelas-jelas menganggap makhluk sebagai Tuhan, sedangkan syirik tersembunyi seperti yang telah diilustrasikan di atas tadi.
Menanamkan pengertian semacam ini penting karena kurang pemahaman dalam ketauhidan akan memiliki pengaruh besar dalam tatanan kehidupan. Penyekutuan sekecil apapun Allah mengetahuinya, itulah sebab Luqman melarang keras terhadap putranya berbuat demikian.
Selanjutnya Luqman menasehati terhadap anaknya:”
يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ
فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي
الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“Wahai anakku! Sungguh jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah maha halus, maha teliti.” (QS Luqman [31]:16).
2. Seorang kepala keluarga harus mampu membangkitkan anggota keluarganya untuk mendirikan sholat.
Selanjutnya Luqman meberi nasehat;
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ
عَزْمِ الْأُمُورِ
Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting. (QS Luqman [31]: 17).
Pada ayat lain disebutkan dalam Al Qur’an;
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ
رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan sholat mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang meberi rezeki kepadamu, Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (QS Thaha [20]: 132).
Keasyikan menikmati dunia kadang melalaikan manusia dalam menaati perintah Allah, keadaan seperti inilah oleh mufasir yang disebut dengan syirik tersembuyni. Seorang kepala rumah tangga harus peka terhadap jebakan dunia yang melenakan ini. Allah menyindir hambanya yang memberati dunia dengan kalimat berikut;
لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang meberi rezeki kepadamu, Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.
Sholat yang benar menggambarkan penghambaan yang benar, selain itu juga menunjukkan kesetiaan yang benar. Oleh karena itu tidak mungkin hamba yang telah setia kepada Tuhannya membiarkan kemungkaran atau penghinaan terhadap Tuhannya. Maka sudah menjadi konskwensi logis bila selanjutnya Allah menguatkan perintah sholat dengan perintah pemberantasan kemungkaran dan penganjuran kebaikan (ma’ruf), dengan cara yang teliti atau dengan jalan kesabaran. Ini dapat kita perhatikan dalam susunan kalimat pada ayat-ayat di atas, bahwa perintah sholat mendahului perintah yang lainnya, menunjukkan bahwa pencegahan kemungkaran tidak ada nilainya tanpa didahului dengan sholat, demikian juga perbuatan ma’ruf (kebaikan) tidak memiliki nilai tanpa didahului kepatuhan melaksanakan perintah sholat.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah itu (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Ankabut [29]: 45)
Kini dapat kita bayangkan seandainya ada anggota keluarga yang tidak patuh melaksanakan sholat. Ia jelas akan menjadi sumber petaka dalam suatu keluarga.
3. Seorang kepala keluarga harus mampu memerintahkan anggota keluarganya untuk berlaku sopan.
Selanjutnya Luqman, menasihati keluarganya, sbb;
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ
مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS Luqman [31]:18-19).
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ(214)وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ
لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan sederhanakanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.“ (QS Asy Syu’araa [26]: 214-215).
Kesombongan sebenarnya merupakan sikap atau pakaian Allah SWT, artinya hanya Allahlah yang berhak menyandangnya. Maka jika ada manusia yang memiliki sikap sombong sepadan dengan “kelancangan” manusia tersebut mengenakan pakain Allah SWT. Kepada orang seperti ini Allah tidak menyukainya, dalam suatu hadist disebutkan bahwa Allah tidak akan memandangnya, bahkan dalam suatu hadist disebutkan bahwa Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzarah pun dari kesombongan.”
لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَلَ ذَرَةٍ
مِنْ كِبْرٍ
Jabatan dan hartalah biasanya yang mudah menggelincirkan manusia ke dalam lembah kesombongan. Na’udzubillahi min dzalik.
Seperti telah di jelaskan pada keterangan yang dahulu, bahwa seorang ayah harus mampu memerintah dan memberi contoh yang baik pada seluruh anggota keluarganya, mampu menundukkan istri dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, karena isteri memiliki peran yang sangat besar dalam rumah tangga dalam pembentukan watak seorang anak.
Demikian khutbah singkat ini semoga bermanfaat bagi diri saya dan jamaa’h sekalian sebagai sumbangsih untuk menyikapi agar tidak terjadi distorsi akhlak pada bangsa ini di masa mendatang. Amiin.
Wallahu ‘alamu bishawab.