Fatwapedia.com – Mengenai Hal-hal yang Dianjurkan atau disunnahkan dalam Mandi, Ada beberapa hadits Shohih yang menjadi landasan para ulama dalam permasalahan ini, antara lain hadits berikut ini:
Pertama, Hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ. ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ. ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ. حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ. ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ.
“Bahwa Rasulullah jika mandi junub, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat. Kemudian mengambil air dan memasukan jari-jarinya ke sela-sela rambutnya, lalu (dalam riwayat lain: hingga beliau merasa telah membasahi kulit kepalanya maka menuangkannya) keatas kepalanya sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya, kemudian menuangkan air ke seluruh badannya.”[1]
Kedua, Hadits Maimunah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلًا وَسَتَرْتُهُ، فَصَبَّ عَلَى يَدِهِ، فَغَسَلَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، » ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ، فَغَسَلَ فَرْجَهُ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ أَوْ بِالحَائِطِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ، وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَغَسَلَ رَأْسَهُ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى جَسَدِهِ، ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ، فَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَلَمْ يُرِدْهَا
“Aku menyiapkan air untuk mandi Rasulullah (dan aku menutupinya), lalu beliau mencuci kedua tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian menuangkan air (dengan tangan kanannya) pada tangan kirinya, lalu mencuci kemaluannya (dalam riwayat lain: kemaluan dan bagian yang terkena mani), kemudian menggosokkan tangannya ke lantai atau dinding (lalu mencuci tangannya), kemudian berkumur-kumur dan memasukan air kedalam hidung, mencuci wajah, kedua tangan, dan kepalanya, lalu menyiram air keseluruh badan, lalu beranjak dan mencuci kedua kakinya, kemudian aku mengambil sepotong kain untuknya, lalu beliau mengisyaratkan dengan tangan dan tidak menginginkannya”.[2]
Penulis berkata: Dari kedua hadits tersebut, dan juga dari hadits lainnya dapat disimpulkan perkara yang disunnahkan dalam mandi wajib, yang dilakukan setelah berniat untuk menghilangkan hadas besar sebagai berikut:
1. Mencuci Tangan Sebanyak Tiga Kali
Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bak mandi atau sebelum mulai mandi, sebagaimana dalam hadits Aisyah diatas, bahwa Rasulullah memulai dengan mencuci kedua tangannya, dan hadits Maimunah dengan lafadz dari Muslim, bahwa Rasulullah mencuci kedua tangannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu memasukkannya ke dalam bak mandi.
Ibn Hajar berkata dalam Fath Al-Bari (1/429), “bahwa kemungkinan maksud dari mencuci kedua tangan adalah untuk membersihkannya dari kotoran , atau mencuci tangan yang telah disyariatkan setiap bangun dari tidur.[1]
2. Mencuci Kemaluan
Mencuci kemaluan dan bagian-bagian yang terkena kotoran dengan tangan kiri, sebagaimana dalam hadits dari Maimunah. Adapun memegang kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh, sebagaimana sabda Rasulullah :
إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ، وَلاَ يَسْتَنْجِي بِيَمِينهِ، وَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ
“Jika salah seorang diantara kamu kencing, maka janganlah memegang kemaluannya dengan tangan kanan, dan jangan beristinja dengan tangan kanan, dan jangan bernafas di dalam bak”.[2]
3. Mencuci Tangan dengan Sabun
Mencuci kedua tangan dengan sabun atau sejenisnya, seperti tanah dan lainnya setelah membersihkan kemaluan. Dalam hadits Maimunah diatas disebutkan, bahwa Rasulullah menggosokan tangannya ke lantai, lalu mengusapkannya dengan tanah, lalu mencucinya. Dalam riwayat lain disebutkan, ‘kemudian Rasulullah memukulkan tangan kirinya ke tanah, lalu menggosoknya dengan kuat.’[3]
Imam An-Nawawi berkata, dalam hadits tersebut disunnahkan bagi orang yang beristinja dengan air, setelah selesai agar mencuci tangannya dengan tanah atau pembersih lainnya (sejenis sabun), atau menggosoknya dengan tanah atau dinding hingga sisa kotoran yang ada ditangannya hilang.[4]
4. Berwudhu Sebelum Mandi
Berwudhu’ dengan sempurna sebagaimana wudhu’ untuk melaksananak shalat, yang telah disebutkan dalam hadits Aisyah dan Maimunah diatas. Ibn Hajar berkata, mungkin memulai mandi dengan berwudhu’ adalah satu sunnah tersendiri, yaitu wajib mencuci anggota wudhu’ bersama seluruh anggota badan ketika mandi. Atau, mungkin cukup dengan mencuci keduanya saat wudhu’ tanpa perlu mengulanginya. Dengan demikian, perlu berniat mandi junub saat memulai wudhu’. Adapun diawalkannya mencuci anggota wudhu’ adalah untuk memuliakannya, dan agar memperoleh dua kesucian sekaligus, yaitu kesucian dari hadas kecil dan besar (tharah sughra dan kubra).[5]
Penulis berkata: Berwudhu’ sebelum mandi junub hukumnya adalah sunnah, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Hal ini berbeda dengan pendapat Abu Tsaur dan Daud Adz-Dzahiry.[6]
Catatan tambahan:
Hukum berkumur dan memasukan air ke dalam hidung ketika mandi.
Telah dijelaskan dalam bab wudhu’, bahwa ada empat pendapat ulama tentang hukum berkumur-kumur dan istinsyaq ketika wudhu’ dan mandi. Ketika berwudhu’, telah dirajihkan bahwa hukum keduanya adalah wajib. Adapun ketika mandi, ats-Tauri, Abu Hanifah dan para pengikutnya, pendapat masyhur dari mazhab Hambali, Atha’ dan Ibnu Mubarak berpendapat bahwa berkumur-kumur dan istinsyaq juga wajib ketika mandi,[1] dengan dalil:
Hadits marfu’:
الْمَضْمَضَةُ وَالِاسْتِنْشَاقُ ثَلَاثًا لِلْجُنُبِ فَرِيضَةٌ
“Berkumur dan beristinsyaq sebanyak tiga kali wajib bagi orang yang junub”[2]
Hadits marfu’:
مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعَرَةٍ مِنْ جَسَدِهِ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يَغْسِلْهَا، فُعِلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا مِنَ النَّارِ
“Siapa meninggalkan tempat tumbuhnya rambut dari tubuhnya dan tidak membasuhnya dalam mandi junub, ia akan mendapat siksa di neraka”[3]
Hadits marfu’:
أداء الأمانة غسل الجنابة, وتحت كل شعرة جنابة
“Menunaikan amanah adalah mandi junub, dan di bawah setiap rambut terkena junub”[4]
Semua hadits diatas adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Perbuatan Rasulullah sebagaimana terdapat dalam hadits Maimunah secaradzahir, dan dalam hadits dari Aisyah merupakan penjelasan atas firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian junub, maka mandilah” (QS. Al-Maidah: 6)
Mencuci semua anggota badan saat mandi adalah wajib hukumnya, dan wajah adalah bagian dari tubuh. Maka, wajib juga berkumur-kumur dan istinsyaq, karena keduanya merupakan bagian dari wajah sebagaimana telah kita jelaskan dalam bab wudhu’.
Sedangkan jumhur ulama, Imam Malik, Syafii, Laits, Auza’i, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum berkumur dan beristinsyaq dalam mandi adalah sunah. Mereka berpegang pada dalil-dalil berikut:
Wudhu’ tidak diwajibkan dalam mandi, dan berkumur dan istinsyaq adalah bagian dari wudhu’. Sehingga, jika wudhu’ tidak diwajibkan, maka segala bagian dari amalan tersebut ikut menjadi tidak wajib.[1]
Perbuatan Rasulullah berkumur dan beristinsyaq dalam mandi bukan menjadi dalil diwajibkannya keduanya, namun menjadi dalil bagi anjuran dan sunah. Perbuatan tersebut juga tidak bisa menjadi dalil wajibnya berkumur dan istinsyaq, kecuali jika praktek tersebut merupakan penjelasan suatu nash umum yang hukum wajib bergantung padanya. Dalam permasalahan ini, hal tersebut tidak ada.[2]
Sabda Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari ketika ia bertanya tentang junub yang menimpanya, sedang ia tidak mendapati air.
Dari Abu Dzar al-Ghifari, ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang junub yang menimpanya, sedangkan ia tidak mendapatkan air:
إِنَّ الصَّعِيدَ الطَّيِّبَ طَهُورُ المُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ المَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ المَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ
“Bahwa tanah yang bersih adalah sebagai pembersih bagi orang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air (selama) sepuluh tahun.”[3]
Hadits Jubair bin Muth’im berkata: Kami saling membicarakan tentang mandi junub di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّي ثَلَاثًا، فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِي، ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِي – في لفظ: أَمَّا أَنَا فَأَحْثِي عَلَى رَأْسِي ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ أُفِيضُ فَإِذَا أَنَا قَدْ طَهُرْتُ
“Adapun Aku, mengambil air sepenuh telapak tangan sebanyak tiga kali lalu menyiramkannya ke atas kepalaku, aku siram air ke seluruh tubuhku. Dalam riyawat lain: Aku mengguyurkan air ke atas kepalaku sebanyak tiga kali, maka aku telah suci.”[4]
Sabda Rasulullah kepada Ummu Salamah:
إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ ثُمَّ تُفِيضِي عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ أَوْ قَالَ فَإِذَا أَنْتِ قَدْ طَهُرْتِ
“Cukup bagimu mengguyurkan air ke kepalamu sebanyak tiga kali, lalu kamu siram air ke seluruh tubuhmu, maka kamu telah suci.”[1]
Penulis berkata: Jika saja tidak ada hadits dari Ummu Salamah yang terakhir ini, pastilah ada sisi kuat mewajibkan berkumur dan beristinsyaq saat mandi. Namun, hadits dari Ummu Salamah tersebut menunjukkan secara pasti bahwa batas yang diwajibkan dalam mandi adalah apa yang disebutkan dalam hadits, yang tidak ada berkumur dan beristinsyaq. Juga tidak dikatakan, bahwa keduanya termasuk dalam sabda Rasulullah “lalu alirkan air (ke badan) mu”, karena arti kata al-Ifadhah tidak termasuk berkumur dan beristinsyaq. Sehingga, menjadi rajih pendapat jumhur ulama bahwa hukum berkumur dan beristinsyaq dalam mandi adalah sunnah. Wallahu A’lam.
Kapan Mencuci Kaki Ketika Mandi?
Makna zahir dari Hadits Maimunah adalah bahwa Rasulullah mengakhirkan membasuh kedua kakinya hingga selesai mandi. Dalam lafadz Al-Bukhari (260) disebutkan ‘setelah selesai mandi Rasulullah membasuh kedua kakinya”
Adapun hadits dari Aisyah, tidak ada lafadz mencuci kaki kecuali berwudhu’ sebelum mandi.[2] Sehingga, ada empat pandangan ulama dalam masalah ini[3]:
Pertama: Dianjurkan untuk mengakhirkan mencuci kaki saat mandi, sesuai dengan hadits dari Maimunah. Ini pendapat jumhur ulama.
Kedua: Berwudhu’ secara lengkap sebelum mandi, sesuai dengan hadits dari Aisyah yang merupakan riwayat dari kebanyakan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan hadits dari Maimunah yang merupakan riwayat mengenai mandi Rasulullah. Ini pendapat Imam asy-Syafi, riwayat dari Imam Malik dan Ahmad.
Ketiga: Memilih antara mendahulukan mencuci kedua kaki dengan wudhu’, atau mengakirkannya. Ini riwayat dari pendapat Imam Ahmad.
Keempat: Jika ia mandi pada suatu tempat yang kurang bersih, hendaknya ia mengakhirkan mencuci kakinya. Jika tidak, maka hendaknya ia mendahulukan mencuci kaki beserta wudhu’. Ini pendapat mazhab Malik.
Penulis berkata : Pendapat yang terakhir ini yang lebih rajih, namun ada keluasan dalam permasalahan ini. Wallahu A’lam.
5. Mengalirkan air ke kepala sebanyak tiga kali hingga mencapai akar rambutnya.
Memulai mengalirkan air ke kepala dari sisi kanan, lalu sisi kiri. Ditambah dengan menyela-nyela rambut.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ، أَفَاضَ عَلَيْهِ المَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Kemudian Rasulullah menyela rambutnya dengan tangan, hingga merasa bahwa telah membasahi kulit kepalanya, beliau mengalirkan air (ke seluruh badan) sebanyak tiga kali”
كَانَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم «إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الجَنَابَةِ، دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الحِلاَبِ، فَأَخَذَ بِكَفِّهِ، فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الأَيْمَنِ، ثُمَّ الأَيْسَرِ، فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ
“Bahwa Rasulullah apabila hendak mandi junub, beliau minta diambilkan air dalam wadah besar seperti hilab (wadah untuk menampung perahan susu), lalu menciduknya dengan telapak tangannya dan menyiram kepalanya mulai dari bagian kanan, lalu kiri, kemudian mengambil air dengan kedua telapak tangan dan menuangkannya diatas kepalanya”[1]
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang diantara kami junub, ia mengambil air dengan tangan sebanyak tiga kali (lalu diusapkan) ke kepala, lalu mengambil air lagi dan menyiramnya ke bagian kanannya, lalu mengambilnya lagi dengan tangan sebelahnya dan menyiramnya ke bagian kirinya.”[2]
Catatan Tambahan: Perlukah Menyela-nyela Jenggot ketika Mandi?
Jumhur ulama, Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ibn Hazm berpendapat bahwa menyela-nyela jenggot saat mandi tidak wajib, melainkan sunah.
Penulis berkata: Pendapat ini benar jika air bisa membasahi kulit dibawah jenggot. Jika tidak, maka wajib menyela-nyela jenggotnya supaya air sampai ke kulit. Yang lebih hati-hati adalah menyela-nyela jenggot, sebagaimana lafadz umum hadits dari Aisyah,“beliau menyela-nyela pangkal rambutnya dengan tangan”.
6. Mengalirkan air ke seluruh badan, mulai dari sisi kanan lalu sisi kiri.
Mengalirkan air ke seluruh badan terdapat dalam semua hadits seputar sifat mandi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun memulai dari sisi kanan, adalah sesuai dengan hadits dari Aisyah
يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Bahwa Rasulullah suka memulai dengan yang kanan saat memakai sandal, bersisir, bersuci dan dalam segala hal.”[1]
Catatan Tambahan:
Mengalirkan air ke seluruh badan cukup dilakukan sekali saja. Hal ini jelas dari redaksi hadits dari Aisyah dan Maimunah, yang menyebutkan mencuci kedua tangan dan kepala sebanyak tiga kali. Namun, dalam mencuci seluruh badan, disebutkan dalam hadits dari Aisyah, “lalu Rasulullah mengalirkan air ke seluruh badan”, dan disebutkan dalam hadits dari Maimunah, “lalu Rasulullah mengalirkan air ke badannya”.
Ibnu Bathal berpendapat[2], “karena mengalirkan air ke badan dalam hadits tersebut tidak dikaitkan dengan bilangan tertentu, maka dipahami dengan bilangan paling kecil, yaitu satu kali. Sebab, hukum asalnya adalah tidak ada menambahkan atas segala sesuatu.
Penulis berkata: ini adalah dzahir mazhab Ahmad dan Malik, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa disunnahkan mengalirkan air ke seluruh badan sebanyak tiga kali.
Apa Hukum menggosok badan di saat mandi?
Para ulama berbeda pendapat, apakah mengusapkan tangan ke seluruh badan menjadi syarat sahnya mandi?, atau cukup mengalirkan air ke seluruh badan tanpa harus mengusapkan tangan. Ini merupakan suatu permasalahan bahasa, bahwa apakah mandi cukup dengan mengalirkan air atau harus dengan mengusapkan sesuatu ke atasnya?
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengusapkan tangan saat mandi tidak wajib, namun dianjurkan. Jika seseorang menyiramkan air ke seluruh badannya, maka ia sudah melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepadanya. Begitu juga jika ia membenamkan badannya ke dlam air hingga membasahi seluruh badannya, maka ia dinyatakan bahwa dirinya telah mandi. Pendapat jumhur ini berbeda dengan pendapat Imam Malik dan Mazini dari kalangan mazhab Syafi’i.Dalil-dali yang digunakan oleh kedua pihak, sama dengan dalil yang telah disebutkan dalam bab hukum berkumur dan istinsyaq.
Secara dzahir, hukum mengusap badan adalah sunnah, bukan wajib. Pendapat ini dikuatkan -disamping hadits dari Ummu Salamah- dengan hadits dari Imran bin Hushain dalam hadits yang panjang, yang di dalamnya:
Dari Imran bin Husain berkata:
وكان آخر ذاك أن أعطى الذي أصابته الجنابة إناء من ماء, قال: اذهب فأفرغه عليك
“Dan yang terakhir adalah diberikannya satu bejana air kepada orang yang junub lalu Rasulullah bersabda: Pergilah dan tuangkanlah air itu pada badanmu”[4]
Sehingga, jika seseorang berdiri dibawah shower, lalu air memancar dan membasahi seluruh badannya, sudah bisa dikatakan bahwa mandi tersebut sudah sah.
Demikian penjelasan tentang sunnah sunnah mandi besar berdasarkan dalil berupa hadist Nabi dan penjelasan para fuqaha (ulama ahli fikih) semoga tulisan ini bermanfaat.
Footnote;
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (248) dan Muslim (316)
[2] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (266) dan Muslim (317)
[1] Fath al-Bari (1/429)
[2] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (154) dan Muslim (267)
[3] Lafadz dalam Muslim (317)
[4] Syarh Muslim (3/231)
[5] Fath al-Bari (1/429)
[6] Fath al-Bari (1/426); al-Majmu (2/186) dan al-Istidzkar
[1] Lihat referensi masalah ini dalam bab rukun wudhu’.
[2] Hadits Riwayat: Daruquthni (1/115). Diriwayatkan dengan mursal. Lihat Nash bar-Rayah (91/78). Hadits maudhu’ (palsu)
[3] Hadits Riwayat: Abu Daud (249), Ibnu Majah (599) dan Ahmad (1/94). Lihat Adh-Dhaifah (930). Dhaif.
[4] Hadits Riwayat: Ibnu Majah (598) dengan sanad yang lemah. Lihat at-Talkhish (1/142). Secarazahir, pendapat yang benar adalah bahwa hadits tersebut mauquf pada Abu Ayyyub. Wallahu A’lam.Dhaif.
[1] Fath al-Bari (1/443)
[2] Fath al-Bari (1/432)
[3] Hadits Riwayat: Tirmidzi (124), Abu Daud (233), An-Nasa’i (1/171) dan lainnya dari beberapa jalan,yang paling rajih adalah dari Abu Qilabah dari Amr bin Bijdan, dari Abu Dzar, dari Rasulullah; sebagaimana dalam al-Ilal karya Daruquthni (1113) dan Ibnu Abu Hatim (1/11). Amru adalah seorang perawi yang tidak diketahui, memiliki seorang saksi dari Abu Hurairah. Para ulama berbeda pendapat tentang pribadinya, dan Albani men-shahih-kannya dalam kitab al-Irwa (153). Dhaif.
[4] Imam Syaukani menukil dari Ibnu Hajar, bahwa kata “aku telah suci” tidak ada asalnya, dalam hadits shahih maupun dhaif
[1] Hadits shahih, telah dijelaskan takhrijnya sebelumnya
[2] Hadits Riwayat: Muslim (316) dari Aisyah, pada akhir lafadznya disebutkan, “lalu Rasulullah mengalirkan air ke seluruh badannya, lalu membasuh kedua kakinya”. Ini adalah tambahan yang tidak dihafal. Lihat Ilal Muslim karya al-Harawi (69), at-Tamhid (22/93), dan Fath al-Bari (1/234)
[3] Fath al-Bari (1/362), al-Mughni (1/288), Syarh al-Umdah (1/371) dan al-Khilafiyat (2/425)
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (258) dan Muslim (318)
[2] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (277)
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (168) dan Muslim (268)
[2] Fath al-Bari (1/439)
[3] Al-Muhalla (2/30), al-Istidzkar (3/63), al-Mughni (1/290), Bidayah al-Mujtahid (1/55) dan as-Sail al-Jarar (1/113)
[4] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (344)