Fatwapedia.com – Satu lagi persoalan akut yang sering kita lihat, banyaknya kehamilan di luar nikah. Celakanya, hal ini tak lagi menjadi suatu yang tabu. Bahkan, ada sebagian kalangan membanggakan diri ketika perutnya membuncit sembari melambaikan tangan di depan para wartawan yang mencari gosip. Ya, rasa malu sudah hampir hilang dari hati sebagian orang menjelang hari kiamat seperti sekarang ini. Kalau sudah begini, maka berlakulah sabda Rasulullah SAW, ”Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dari Abu Mas’ud ra, dianggap shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 684).
Di negeri ini banyak kasus hamil di luar nikah, sehingga banyak pula pasangan yang menikah karena ”kecelakaan” (MBC : Married By Accident). Maksud kecelakaan adalah tabrakan yang menyebabkan perut benjol ke depan, istilah bagi mereka yang hamil di luar nikah.
Ketika itu terjadi memang yang paling dirugikan adalah pihak wanita, karena dia harus menanggung buah hasil ranjang ternoda yang dinikmati bersama dengan pasangan lelakinya. Sementara sang lelaki bisa saja menolak untuk bertanggung jawab dengan berbagai alasan.
Si laki-laki yang menghamili anak gadis orang memang harus bertanggung jawab. Tapi, apakah bentuk pertanggung jawaban itu harus menikahi si wanita tadi ketika sedang hamil. Di sinilah hukum syariat berbicara.
Satu hal yang perlu diperhatikan sebagai langkah awal kita menetapkan hukum, yaitu wanita hamil di luar nikah tidak secara otomatis dia pezina. Banyak pezina yang tidak hamil dan ada pula wanita hamil bukan karena dia pezina melainkan diperkosa. Sehingga, dalil-dalil yang berlaku buat pezina bisa jadi tidak berlaku bagi wanita hamil di luar nikah, makanya bahasan tentang wanita hamil ini harus dipisahkan dari bahasan menikahi wanita atau pria pezina.
Para ulama sepakat bahwa bila seorang wanita hamil, baik karena berzina atau karena diperkosa, maka dia boleh dinikahi siapapun bila bayinya sudah lahir. Itupun bila telah tampak pertanda taubat padanya bila dia berzina.
Yang menjadi persoalan adalah ketika dia sedang hamil. Apakah dia boleh dinikahi tanpa harus menunggu kelahiran bayinya? Di sinilah terdapat perbedaan pendapat para ulama.
Ada dua hal yang harus diperhatikan karena akan mengakibatkan hasil hukum yang berbeda.
1. Bila yang menikahinya adalah pria yang menghamilinya
2. Bila yang menikahi bukan pria yang menghamilinya, tapi ”sukarelawan” atau yang tertipu.
1.Bila yang menikahi adalah yang menghamilinya.
Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, tapi sebelum masuk pada perbedaan pendapa mari kita urai dulu mana yang sudah menjadi kesepakatan para ulama dan mana yang masih menjadi perbedaan pendapat, sebagai berikut:
Para ulama sepakat bahwa anak yang dikandung akibat hasil hubungan di luar nikah adalah anak zina dan tidak dinasabkan kepada ayahnya. Jadi, meskipun pasangan berzina ini menikah setelah si wanita hamil, maka tetap saja anak tersebut teranggap sebagai anak hasil zina.
Sedangkan bila tetap bersikeras ingin menikah sebagai penebus dosa, apakah akad nikahnya sah?
Madzhab pertama: Akad tidak sah, termasuk oleh yang menghamilinya, karena siapapun yang ingin menikahi wanita itu harus terlebih dahulu menunggu kelahiran bayinya dan ini dinamakan istibra` rahim (pengosongan rahim).
Ini adalah pendapat madzhab Hanbali, Maliki, Abu Yusuf murid Abu Hanifah[1]
Dalil madzhab ini adalah hadits, ”Tidak boleh menyetubuhi wanita hamil sampai dia melahirkan.” Juga ada hadits riwayat Sa’id bin Al-Musayyib dengan riwayat mursal ada pula yang mengeluarkannya dengan versi maushul bahwa ada seorang yang menikahi gadis tapi dia mendapatinya sudah hamil. Hal itu diajukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memisahkan antara keduanya.
Madzhab Kedua: Akadnya sah, sama saja baik yang menikahi itu adalah yang menghamilinya atau orang lain.
Maksudnya pernikahan tersebut boleh dilangsungkan tanpa harus menunggu kelahiran si bayi, tapi janin yang terkandung tersebut bila sudah jelas berada di luar nikah atau sebelum akad tetaplah dianggap sebagai anak zina. Konsekuensinya, dia tidak dinasabkan kepada bapaknya.
Dalam madzhab ini tidak disyaratkan adanya pertaubatan dari kedua pasangan yang berzina tersebut.
Dalil-dalil mereka adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm ketika menjelaskan surah An-Nur ayat 3 bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengharamkan salah satu dari mereka menikah kecuali hanya dengan pezina.
Tinjauan terhadap dalil-dalil
Hadits ”Wanita hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan”, masih bisa ditakwil oleh pihak yang membolehkan, misalnya dalam madzhab Hanafi mereka menggunakan hadits ini untuk mengharamkan orang lain yang menikahi seorang wanita hamil untuk menyetubuhi istrinya itu sampai dia melahirkan. Sebab yang dilarang adalah menyetubuhi, bukan melaksanakan akad.
Sedangkan alasan Asy-Syafi’i yang menyatakan tidak ada larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi pezina bisa dibantah bahwa justru Al-Qur`anlah yang melarang yaitu dalam surah An-Nur ayat 3 meski Asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari menafsirkan lain terhadap ayat itu, dan nanti dalam riwayat Ibnu Al-Musayyib dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan seorang yang menikahi gadis yang ternyata sudah hamil.
Sedangkan hadits Ibnu Al-Musayyib memang perlu pembahasan lebih lanjut, kalau dia shahih maka bisa dijadikan dalil melarang orang lain menikahi wanita yang hamil, tapi tidak berlaku untuk yang menghamilinya. Hadits tersebut diriwayatkan secara mursal dan maushul.
Riwayat yang maushul dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari Shafwan bin Sulaim, dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari seorang laki-laki di kalangan Anshar yang bernama Bashrah, dia berkata,
تزوجت امرأة بكرا ، فدخلت عليها فإذا هي حبلى ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : لها الصداق بما استحل من فرجها ، والولد عبد لك ، فإذا ولدت فاجلدها.
”Aku menikahi seorang gadis, lalu aku masuk menyetubuhinya tapi aku dapati dia telah hamil, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ”Dia berhak mendapatkan mahar karena kemaluannya telah kamu halalkan, sedangkan anaknya menjadi budak bagimu. Kalau dia melahirkan maka deralah ia.”
Lalu Abdurrazzaq juga meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang berkata, Aku diceritakan dari Shafwan bin Sulaim, dari Sa’id bin Al-Musayyib seperti hadits di atas.[2]
Tapi menurut Al-Baihaqi sebenarnya Ibnu Juraij juga memperoleh hadits itu dari Ibrahim bin Muhammad atau Ibrahim bin Abi Yahya, sehingga sanadnya terporos pada Ibrahim bin Abi Yahya yang masih diperselisihkan kredibilitasnya.[3]
Akan tetapi hadits ini juga diperoleh dari jalur lain selain dari jalur Shafwan bin Sulaim yaitu Yazid bin Nu’aim, ’Atha` Al-Khurasani, Sa’id bin Yazid semuanya dari Sa’id bin Al-Musayyib secara mursal kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula yang menyebut nama sahabat yang menikah itu adalah Bashrah bin Aktsam atau Aktam, dalam salah satu riwayat Al-Baihaqi yaitu jalur Bistham bin Ja’far bin Mukhtar, dari Ibrahim bin Muhammad Al-Madini disebutkan namanya Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifari.[4]
Terlepas siapapun nama sahabat tersebut, kelihatan dari bahasa penyampain Sa’id bahwa dia menceritakan langsung dari sahabat yang menikah tersebut, sehingga sanadnya maushul. Kalaupun mursal, para ulama menganggap mursalnya Sa’id termasuk mursal yang kuat. Hanya saja hadits ini belum dapat dijadikan dalil membatalkan pernikahan orang yang menghamili gadis itu sendiri, karena dalam kasus di atas yang menikah adalah orang lain, bukan yang menghamili si gadis itu.
Kasus-kasus wanita hamil di luar nikah pernah terjadi di masa sahabat. Berikut beberapa fatwa sahabat san tabi’in berdasarkan riwayat yang shahih sampai kepada mereka:
Asy-Syafi’i meriwayatkan, “Sufyan mengabarkan kepada kami, (katanya), Ubaidullah bin Abu Yazid menceritakan kepadaku, dari ayahnya, bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Wanita itu punya anak gadis dari orang lain (pernikahan sebelumnya -pen), dan si laki-laki ini punya anak bujang dari orang lain pula (pernikahan sebelumnya –pen). Ternyata anak bujang dan anak gadis ini berzina, sampai si gadis terlihat hamil. Tatkala Umar ra datang ke Mekah masalah ini pun dibawakan kepada beliau. Umar bertanya pada kedua pasangan ini dan mereka mengakui perbuatan mereka. Akhirnya Umar mencambuk keduanya dan sangat berkeinginan untuk menyatukan mereka (menikahkan mereka) tapi si anak bujangnya menolak.”[5]
Dari riwayat Asy-Syafi’i di atas jelaslah bahwa wanita tersebut telah hamil dan Umarpun menegakkan hukuman cambuk untuk mereka berdua lalu ingin menikahkannya meski si pemudanya menolak. Keinginan Umar ini menunjukkan bahwa wanita yang telah hamil akibat zina boleh dinikahi oleh pria yang menzinainya setelah mereka dihukum cambuk terlebih dahulu. Dalam atsar ini tidak jelas apakah Umar menawarkan mereka untuk menikah setelah wanita itu melahirkan atau sebelumnya.
Namun, atsar Umar ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya dan disana disebutkan bahwa Umar menangguhkan pelaksanaan had (hukuman) cambuk kepada si wanita itu sampai dia melahirkan.[6]
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Muhammad bin Ishaq, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki mengucapkan sesuatu, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)!” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan bahwa dia kedatangan seorang tamu yang kemudian berzina dengan anak perempuannya. Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu!” Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum hadd (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun.[7]
Dalam riwayat Shafiyyah binti Abi Ubaid, ”Kemudian lelaki itu menikahi wanita tersebut lalu si lelaki itu meninggal dalam peperangan Yamamah.”[8]
Dalam salah satu versi riwayat yaitu riwayat Shafiyyah binti Abi Ubaid disebutkan bahwa wanita itu dihamili. Redaksinya dalam Al-Muwaththa` Malik,
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ أَبِي عُبَيْدٍ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ وَقَعَ عَلَى جَارِيَةٍ بِكْرٍ فَأَحْبَلَهَا ثُمَّ اعْتَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا وَلَمْ يَكُنْ أَحْصَنَ فَأَمَرَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ فَجُلِدَ الْحَدَّ ثُمَّ نُفِيَ إِلَى فَدَكَ
”Malik menceritakan kepadaku, dari Nafi’, bahwa Shafiyyah bin Abi Ubaid mengabarkan kepadanya, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq dihadapkan dengan seorang laki-laki yang telah menghamili seorang gadis, kemudian dia mengakui perbuatannya itu sebagai zina dan dia sendiri belum pernah menikah. Akhirnya Abu Bakar memerintahkannya untuk didera sebagai hukuman had lalu diasingkan di Fadak.”[9]
Dari riwayat ini diperoleh keterangan bahwa wanita tersebut hamil tapi tidak disebutkan bahwa mereka dinikahkah.
Kecuali kalau dianggap riwayat Muhammad bin Ishaq ini menyalahi riwayat Malik yang lebih kuat darinya yang menyebutkan bahwa hadits itu adalah hadits Shafiyyah bin Abi Ubaid (istri Ibnu Umar) bukan hadits Ibnu Umar dan juga tidak disebutkan bahwa wanita itu juga dihukum cambuk, dan pernikahannya adalah setelah pelaksanaan kesemua hukuman. Wallahu a’lam.
Tapi memang ada riwayat dari Az-Zuhri sebagaimana dalam mushannaf Ibnu Abi Syaibah 9/224, no. 17050 Az-Zuhri mengatakan, “Abu Bakar mencambuk keduanya, lalu mengasingkan keduanya selama setahun baru kemudian menikahkan mereka setelah masa pengasingan itu selesai.” Hanya saja jelas riwayat ini terputus karena Az-Zuhri tidak bertemu Abu Bakar dan Umar.
Riwayat Az-Zuhri ini bertentangan dengan keterangan Nafi’ yang meriwayatkan hadits ini baik dari Ibnu Umar maupun dari Shafiyyah istri Ibnu Umar bahwa Abu Bakar tidak menghukum si wanita karena dia dipaksa melakukan zina, barulah kemudian setelah selesai masa hukuman mereka dinikahkan oleh Abu Bakar.[10]
Abdurrazzaq menyebutkan beberapa riwayat dari Ibnu Abbas, salah satunya dari jalur Ma’mar, dari Qatadah, dari Ikrimah bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang pria menzinai seorang wanita lalu ingin menikahinya, dia berkata, ”Kalau pria itu sudah bertaubat dia boleh menikahinya. Pertamanya adalah sifah (zina) dan keduanya adalah nikah. Pertamanya haram dan keduanya halal.”[11]
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, Abdul A’la menceritakan kepada kami, dari Sa’id, dari Qatadah, dari Jabir bin Abdullah yang berkata, ”Kalau mereka berdua bertaubat dan menjadi baik maka tak mengapa mereka menikah.”[12]
Sedangkan riwayat Abdurrazzaq sampai kepada Abu Az-Zubair, Jabir berkata, ”Tidak ada masalah mereka menikah, hal pertama adalah zina dan akhirnya adalah nikah.”[13]
Fatwa Abdullah bin Mas’ud, dimana dia berpendapat kalau mereka sudah bertaubat maka boleh menikah. Sebagaimana riwayat Abdurrazzaq sampai kepada Ibnu Sirin bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita kemudian dia menikahinya. Dia menjawab, ”Mereka berdua berzina selama mereka masih bersama.” Kemudian dikatakan kepadanya, ”Bagaimana menurut anda kalau mereka berdua bertaubat?” Dia menjawab,
”Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Asy-Syura : 25).
Dia terus saja mengulang-ngulang ayat itu sehingga kami menganggap dia tidak lagi mempersoalkannya (orang yang berzina kemudian menikah).”[14]
Selain itu juga ada beberapa fatwa dari para tabi’in, seperti Sa’id bin Jubair, ’Atha`, Alqamah, Sa’id bin Al-Musayyib dan lain-lain yang membolehkan pernikahan lelaki dengan wanita yang pernah berzina bersamanya.
Dalam atsar-atsar ini ada yang mutlak membolehkan pernikahan tanpa menyebutkan syarat pertaubatan, tapi ada pula yang menyebutkan syarat pertaubatan. Lalu ada pula yang menganggap justru dengan menikah itulah taubatnya. Tapi yang jelas pernikahan mereka dilaksanakan setelah diadakan hukuman cambuk bagi pria yang berzina. Ini selaras dengan hadits, ”Lelaki yang telah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang telah dicambuk pula sepertinya.” Juga dalam sebagian besar atsar tersebut tidak disinggung bagaimana kalau si perempuannya hamil. Dalam beberapa atsar memang disebutkan kehamilan kemudian dinikahkan setelah dilaksanakan hukuman had. Tapi bila kita anggap bahwa hukuman had kepada si wanita harus dijatuhkan setelah wanita tersebut melahirkan, berarti kloplah dengan pendapat yang menyatakan harus menunggu kelahiran terlebih dahulu, yaitu pendapat madzhab Maliki dan Hanbali.
Hanya saja hadits ini masih belum bisa diterapkan kepada orang yang memperkosa. Atau membius si gadis. Misalnya setelah itu si gadis hamil, lalu si pria ini bertobat dan ingin menebus kesalahan dengan menikahi si gadis, bolehkah dia menikahinya sebelum melahirkan? Berdasarkan pendapat Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah dia boleh menikahinya, sedangkan berdasarkan pendapat Malik dan Ahmad belum boleh sampai gadis itu melahirkan.
Kalau diperhatikan dengan seksama, andaikan si pezina ini menikahi wanita yang dizinainya maka mereka tidak terkena larangan dalam surah An-Nur ayat 3 karena dalam ayat itu disebutkan bahwa pezina tidak boleh menikah kecuali dengan sesama pezina. Lalu ditambah lagi ada hadits yang mengatakan pezina yang telah dihukum had tidak boleh menikah kecuali dengan pezina yang sama-sama telah dihukum had. Sehingga kloplah itu pada kasus dua pasangan yang berzina asalkan mereka telah dihukum had sesuai syariat. Bahkan andaipun belum maka sebagaimana dikatakan oleh Shilah bin Asy-yam berdasarkan riwayat Ibnu Abi Syaibah darinya, dia berkata tentang masalah ini, ”Tidak ada masalah mereka menikah. Kalau mereka berdua telah bertaubat maka Allah lebih utama untuk menerima taubat mereka. Tapi kalau mereka tetap dalam keadaan berzina (belum bertaubat) maka biarlah yang jelek menikah dengan yang jelek pula.”[15]
2. Bila yang menikahi adalah orang lain
Dalam pendapat madzhab Syafi’i dan Hanafi, tidak ada bedanya apakah yang menikahi wanita hamil itu adalah pria yang menghamilinya ataukah orang lain, dia tetap boleh dinikahi, hanya saja menurut madzhab Hanafi bila yang menikahinya orang lain maka dia tidak boleh berhubungan suami istri dahulu sampai istrinya itu melahirkan janin yang bukan bayinya tersebut.
Demikian halnya dengan madzhab Hanbali dan Maliki bahwa wanita hamil haram dinikahi siapapun sampai dia melahirkan bayi hasil zinanya itu.
Kalau kita perhatikan atsar-atsar dari para sahabat dan tabi’in di atas maka jelas bahwa pernikahan itu hanya berlaku bagi yang menzinainya itu saja, tidak disebutkan berlaku bagi orang lain. Bahkan, kalau kita berpegang pada riwayat Sa’id bin Al-Musayyib jelas bahwa kalau orang lain yang menikahi harus dipisahkan, karena kehamilan itu bukan dari air maninya. Hal ini diperkuat lagi dengan atsar dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa ada sekelompok orang berselisih tentang seorang pria menikahi wanita dan sebelum bersetubuh salah satu dari mereka berzina dengan orang lain, maka Ali pun memisahkan mereka. Tapi Al-Baihaqi mengatakan bahwa Hinsy (salah satu perawi hadits ini) tidak kuat.[16]
Juga dengan memperhatikan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ، يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
”Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke tanaman orang lain.”[17]
Kalau dipahami secara umum berarti wanita yang sudah hamil dari orang lain berarti tidak boleh lagi disirami oleh air mani yang lain. Makanya, Abu Hanifah menjadikan ini dalil tidak boleh menyetubuhi istri yang sudah hamil dari orang lain, tapi boleh melaksanakan akad nikahnya saja. Pendapat Abu Hanifah ini menjadi layak dipertimbangkan bila ada seorang wanita yang diperkosa lalu hamil, kemudian ada laki-laki yang ingin menolongnya. Secara hukum gadis itu bukan pezina, sehingga tidak berlakulah larangan menikahi pezina kepada dirinya terutama bagi mereka yang melandaskan pendapat kepada ayat 3 surah An-Nur. Hanya berlaku hadits keharaman menyetubuhi wanita yang hamil dari orang lain dan itu tidak mempengaruhi akad, karena tidak ada kemestian setelah akad wajib bersetubuh, dan persetubuhan bukanlah rukun, syarat atau tujuan utama dari sebuah pernikahan. Wallahu a’lam.
Hikmah dan Renungan
Fenomena Hamil di Luar Nikah
Hamil di luar nikah sepertinya sudah menjadi pemandangan biasa di negeri ini. Tidak hanya di kota besar dengan tingkah polah masyarakat yang cenderung hedonis, tapi juga di kampung-kampung yang masih menjaga nilai dan adat budaya sekalipun.
Semua maklum, para remaja dan anak muda yang sedang tumbuh berada di masa-masa gairah seksual yang tinggi dan mereka mencari pelampiasan terhadap gairah tersebut. Tatkala pergaulan bebas merajalela dengan kontrol keluarga dan masyarakat yang lemah maka tak mengherankan akan terjadi berbagai penyimpangan perilaku, salah satunya adalah hubugan intim muda mudi di luar nikah.
Akibatnya bisa ditebak akan terjadi kehamilan sebagai proses alamiah dari sebuah hubungan badan. Nah, kalau sudah hamil tanpa suami begini yang membuat orang sekampung repot, padahal waktu berulah mereka hanya berdua, seolah dunia hanya milik mereka dan orang kampung hanya ngontrak semua. Orang tua dan keluarga adalah pihak yang biasanya paling dipermalukan bila terjadi kehamilan pada anak gadisnya. Berbagai cara pun dilakukan, mulai menggugurkan kandungan, meminta pertanggungjawaban si pria yang menghamili sampai membunuh si anak gadis lantaran tak mau menanggung malu.
Tapi itu dulu, kini era keterbukaan dan era masa bodoh sudah mulai menggelayuti kehidupan masyarakat muslim. Akhirnya, kejadian seperti itu mulai ditanggapi dingin. Rasa malu pun mulai tak lagi dominan dalam hati para pelaku, akhirnya semua dianggap biasa. Dianggap khilaf dan nasipun sudah jadi bubur, jadi ya…. santai sajalah…life must go on…:(
Ini juga salah satu akibat dari tidak berlakunya syariat Allah atau hukum hudud, sehingga perzinaan bukanlah tindak kejahatan selama dilakukan suka sama suka. Sedangkan dalam Islam para pezina akan mendapatkan hukuman tertentu, yaitu kalau dia belum pernah menikah maka dia akan dicambuk seratus kali plus diasingkan selama setahun, dan kalau dia sudah pernah menikah maka dia akan dirajam sampai mati. Hukuman itu semua dilakukan didepan publik sehingga menimbulkan efek jera bagi yang belum melakukan.
Tak ayal lagi kalau sebuah perbuatan dosa yang melanggar norma menjadi fenomena maka cepat atau lambat masyarakat sekitarnya akan rusak. Bahkan bisa jadi azab Allah turun kepada mereka bila gerakan amar makruf dan nahi mungkarnya tidak digalakkan. Gerakan amar makruf dan nahi mungkar tentunya tidak bisa dibatasi hanya dengan penggerebekan tempat maksiat, tapi juga segala upaya menangkal pergaulan bebas, memberikan para pemuda alternatif kegiatan positif yang mendidik, membangun lingkungan yang agamis dengan memperbanyak majlis taklim, madrasah dan lain semisalnya.
Satu hal yang mendekatkan generasi muda ke ruang zina adalah pacaran. Terbukanya gaya pergaulan yang tak mentabukan muda mudi berduaan menjadi faktor utama pergaulan yang kebablasan. Ditambah lagi banyak para orang tua yang merestui anaknya memiliki pasangan. Bahkan, ada orang tua yang risih kalau anaknya belum punya pacar yang dibawa ke rumah untuk dikenalkan.
Untuk itu, orang tua merupakan garda terdepan dalam mengatasi fenomena hamil di luar nikah ini. Sebab, sebagian besar kehamilan diakibatkan oleh pacaran. Perzinaan beresiko hamil biasanya dilakukan oleh pasangan muda yang berpacaran. Pasangan model begini punya ciri khas birahi besar tapi akalnya kerdil. Nekad, berani berbuat tak berani tanggung jawab.
Orang tua yang membiarkan anak perempuan maupun laki-lakinya pacaran akan masuk kategori dayyuts, yaitu seorang laki-laki yang tidak mempedulikan kemaksiatan yang terjadi pada anggota keluarga dia tanggung, seperti istri dan anak. Seorang dayyuts diancam tidak akan masuk surga, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ : الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ ، وَالدَّيُّوثُ ، وَرَجُلَةُ النِّسَاءِ
“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga, Orang yang durhaka pada kedua orang tua, dayyuts dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. An-Nasa`iy dan Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 2070).
Tak disangkal bahwa kebutuhan seksual adalah kebutuhan mendasar umat manusia, bahkan kebutuhan hewani. Bedanya, manusia punya aturan dan norma yang mengarahkan pelampiasan nafsu birahi dengan cara yang benar. Ukuran benar bagi orang yang beriman adalah ridha Tuhan, kalau Tuhan ridha berari perbuatan itu benar, sedangkan kalau Dia murka dapat dipastikan perbuatan itu salah.