Fatwapedia.com – Dengan nama Allah. Sejak kecil, atas karunia Allah semata, saya telah menjaga shalat. Saat itu aku berumur 10 tahun dan aku diajari shalat oleh seorang syaikh Shufi yang telah lanjut usia. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. Darinya saya juga belajar banyak adab umum.
Saat berusia 12 tahun, saya tinggal di dekat masjid yang diramaikan oleh aktivitas para pemuda anggota Jamaah Tabligh. Dari diri mereka, saya mempelajari dua hal. Pertama, mengagungkan Allah dan yakin kepada-Nya. Kedua, rasa semangat ketika berdakwah ke jalan Allah.
Jamaah Tabligh memiliki peranan besar dalam pertumbuhan saya. Melalui perantaraan mereka, Allah membimbing saya untuk senantiasa menjaga shalat berjamaah. Mereka menanamkan dalam diri saya akidah tawakkal dan berfikir serius untuk memberi petunjuk kepada masyarakat.
Dari Jamaah Tabligh-lah saya belajar makna “khuruj” kepada masyarakat untuk mendakwahi mereka, “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia…” (QS. Ali Imran [3]: 110), mengunjungi kaum muslimin, memuliakan mereka, lemah lembut kepada mereka yang bermaksiat, dan meraih simpati mereka.
Dari Jamaah Tabligh, saya juga belajar untuk meninggalkan perselisihan, berkomunikasi kepada masyarakat dengan madzhab yang mereka pahami, bukan madzhab yang kita pahami, tidak tampil sebagai pemimpin dan tidak memberi fatwa di hadapan penduduk (ulama) wilayah setempat.
Pada usia 14 tahun, Allah memudahkan saya untuk masuk ke Al-Azhar dan saya mulai mempelajari ilmu syar’i. Di sana saya berjumpa dengan beragam ulama, di antaranya adalah para ulama Shufi. Bersama mereka, saya memiliki banyak pengalaman yang sangat bermanfaat.
Dari para ulama Shufi, yang pada diri mereka tidak didapati bid’ah-bid’ah syirik dan pemikiran menyimpang, saya belajar untuk mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, menjaga adab kepada para ulama, dan penghormatan kepada para ulama.
Dari orang-orang Shufi, saya mempelajari adab-adab Islam dalam majelis-majelis, masjid-masjid, dan halaqah-halaqah ilmu. Dari mereka, saya mempelajari makna menyucikan hati dari “kotoran-kotoran”, hubungan yang kuat dengan Allah SWT dan berakrab-akrab dengan-Nya.
Satu golongan lain dari kalangan ulama yang saya belajar kepada mereka selama saya di Al-Azhar adalah para ulama Ikhwanul Muslimin. Dari mereka, saya mempelajari ilmu-ilmu harakah (pergerakan) yang senantiasa menyertaiku sampai hari ini.
Dari para ulama Ikhwanul Muslimin, saya belajar tentang kerja lembaga-lembaga, urgensi pembinaan yang berkesinambungan bagi para kader, bekerja secara profesional, menjauhi perselisihan-perselisihan madzhab dalam Gerakan Islam.
Di Al-Azhar pula saya bertemu dengan sebagian aktivis Hizbut Tahrir. Pada diri mereka, saya melihat perhatian serius terhadap persoalan politik dan media massa. Dari sanalah saya meyakini peranan besar bidang politik dan media massa terhadap penyampaian pesan-pesan Islam.
Pada usia 16 tahun, terjadilah perubahan terbesar di mana tahun tersebut merupakan awal mula aktivitas jihadku. Saya menjalin hubungan dengan salah satu faksi jihad Palestina yang berjuang di Jalur Gaza. Faksi tersebut memiliki kantor-kantor perwakilan di Lebanon. Dari mereka-lah saya menerima sejumlah pengalaman. Dalam aktivitas jihadku bersama faksi tersebut, saya menerima training-training kemiliteran, keamanan, dan keorganisasian. Training keorganisasian inilah yang paling penting. Dari faksi inilah saya mendapatkan pemahaman bahwa perjuangan bersenjata adalah jalan keselamatan bagi umat Islam.
Dari bergabungnya saya dalam sebuah faksi jihad inilah, saya belajar kitman (menjaga rahasia) dalam hal yang membawa maslahat bagi kaum muslimin, dan bahwasanya fondasi keamanan yang kokoh adalah basis massa (qa’idah) yang menjadi fondasi bagi organisasi (tandzim).
Pada usia 18 tahun, saya memulai aktivitasku sebagai seorang imam dan khatib pada masjid-masjid di Beirut. Melalui aktivitas tersebut sejak saat itu hingga sekarang, saya menerjuni pengalaman-pengalaman dakwah kepada masyarakat umum, di samping pengalaman-pengalaman dakwah saya kepada mujahidin.
Dari lingkungan masjid-masjid, saya mempelajari bahwa hati seorang muslim laksana sebuah gelas yang berisi air pahit. Kemudian Engkau masukkan ke dalamnya potongan-potongan gula batu, lalu engkau mencicipinya. Ternyata rasanya masih pahit. Engkau pun lalu mengaduk-aduk gula tersebut hingga air tersebut terasa manis. Proses mengaduk gula tersebut adalah pemberian nasehat dan peringatan secara terus – menerus.
Pada usia antara 16 sampai 19 tahun, saya memiliki perhatian besar dalam menelaah dan mempelajari buku-buku para tokoh seperti Sayyid Qutub, Muhammad Qutub, Abdullah Azzam, Abu Mush’ab As-Suri, dan lain-lain.
Para imam seperti Qutub, Azzam, dan As-Suri memiliki pengaruh besar dalam menumbuhkan pemikiran keislaman pada diri saya. Dari merekalah saya belajar bahwa perjuangan Islam bukanlah satu bingkai yang statis, ia memerlukan pengembangan dan pengambilan pelajaran dari pengalaman-pengalaman.
Pada periode tersebut, biasanya saya tidak melewatkan rilisan audio maupun video mujahidin. Saya biasanya menyimpannya dan menghafalkan ungkapan-ungkapan di dalamnya, lalu saya menyampaikannya sebagai pengobar semangat jihad di masjid-masjid.
Para syaikh mujahidin yang paling sering aku ikuti rilisan audio dan videonya adalah Syaikh Usamah bin Ladin, Abu Mush’ab Az-Zarqawi, Athiyatullah Al-Libi, dan Abu Yahya Al-Libi. Dari merekalah saya memahami bahwa musuh Islam hanya memahami bahasa teror.
Pada usia 20 tahun, Allah memberikan taufik kepadaku untuk bergabung dengan (faksi jihad) Brigade Abdullah Azzam. Saya berkenalan dengan dua orang syaikh tokoh faksi tersebut, yaitu Syaikh Majid al-Majid rahimahullah dan Syaikh Taufiq Thaha hafizhahullah. Saat tersebut merupakan fase baru dalam kehidupan saya. Dari Syaikh Majid Al-Majid, saya belajar untuk meninggalkan sikap taklid dalam aktivitas jihad, mencampakkan sikap ghuluw (ekstrim dalam mengamalkan ajaran Islam melampaui ketentuan Allah dan Rasul-Nya) dan tafrith (terlalu meremehkan dan meninggalkan ajaran Islam). Dan bahwasanya, aktivitas jihad harus menyampaikan pesan-pesan yang selaras dengan tingkat pemahaman masyarakat.
Syaikh Majid Al-Majid telah mengajarkan kepada saya bahwa rakyat adalah faktor fundamental bagi kesuksesan perjuangan jihad, aktivitas (perjuangan) Islam itu satu sama lain saling melengkapi, semua jamaah Islam adalah saudara kita.
Dari Brigade Abdullah Azzam, saya belajar bahwa saya tidak boleh melakukan suatu operasi militer atau suatu operasi intelijen pun kecuali dengan dua syarat. Pertama, operasi tersebut harus sesuai syariat Islam. Kedua, operasi tersebut harus memperhatikan tingkat pemahaman dan maslahat seluruh Ahlus Sunnah.
Dari Syaikh Abdul Majid, saya mempelajari bahwa obyek yang harus diperhatikan semuanya saat menyampaikan pesan adalah seluruh kaum muslimin, bukan hanya anggota jamaah-jamaah jihad semata, dan bahwasanya manhaj kita adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Terakhir, saya katakan: Saya menuliskan kalimat-kalimat ini agar semua pihak mengetahui bahwa setiap gerakan Islam memiliki kebaikan yang besar, dan bahwasanya kita harus melihat kepada bagian yang akan memenuhi gelas Islam.
Dari pengalaman-pengalaman sederhana ini, saya belajar bahwasanya semua madrasah dan aliran gerakan Islam yang tulus, akan memperjuangkan keselamatan dan kejayaan umat Islam. Namun, mereka adalah manusia biasa yang bisa benar dan bisa keliru.
Keberagaman madrasah (gerakan) pemikiran (dalam gerakan-gerakan Islam, edt) adalah persoalan yang telah dipahami oleh musuh-musuh Islam. Musuh-musuh Islam mengatakan: “Seorang anggota Jamaah Tabligh menuntun seorang muslim menuju masjid. Di dalam masjid-lah, anggota Ikhwanul Muslimin mengajarinya persoalan politik, lalu aktivis-aktivis jihad akan membawanya ke medan peperangan.”
Maka, jamaah-jamaah antara satu dengan lainnya wajib bekerja sama dalam perkara-perkara yang disepakati. Lalu satu sama lain saling memaafkan (memaklumi) dan menasehati dalam perkara-perkara yang diperselisihkan. Satu sama lain wajib saling melengkapi, bukan saling memangsa. Semoga dengan demikian, kita bisa sampai kepada jamaah yang satu.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Syaikh Abdullah Azzam, yang telah menyampaikan ungkapan berikut ini:
“Saya katakan: Para aktivis Gerakan Islam adalah saudara-saudara dalam perjuangan, hati mereka adalah Shufi, ilmu mereka adalah Salafi, tugas mereka adalah Tabligh, langkah mereka adalah Tahrir, dan pedang mereka senantiasa berlangsung yaitu Jihad.”
Saya mengingatkan para aktivis Gerakan Islam: “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah belah.” (QS. Ali Imran [3]: 103)
Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam.
Oleh Syaikh Sirajuddin Zuraiqat
Penerjemah: Fauzan
Editor: Rudy
Sumber: https://www.kiblat.net/2015/08/24/kisah-berharga-sirajuddin-zuraiqat-bersama-jamaah-jamaah-islam/
Simak selengkapnya: http://muwahhidin.site/pengalamanku-bersama-jama-ah-jama-ah-dan-gerakan-gerakan-islam.xhtml