Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, MA.
Fatwapedia.com – Akhir-akhir ini banyak pemuda dan pemudi yang pacaran dan berlanjut kepada hubungan seks di luar nikah, sehingga perempuannya hamil, kemudian untuk menutupi aib tersebut, mereka sepakat untuk menikah. Bagaimana hukumnya?
Pertanyaan di atas mengandung beberapa masalah, yang pertama adalah hukum menikah dengan orang yang berzina, dan yang kedua adalah hukum menikah dengan orang yang sedang hamil.
Orang yang sedang hamil ini dibagi menjadi dua, hamil karena pernikahan dan yang kedua adalah hamil karena perzinaan. Perempuan yang hamil karena perzinaan jika ingin menikah, maka mempunyai dua kemungkinan, pertama : dia menikah dengan orang lain yang tidak berzina dengannya. Sedang yang kedua : dia menikah dengan laki-laki yang berzina dengannya sehingga menyebabkan dirinya hamil. Sehingga, kalau kita simpulkan, semuanya menjadi empat masalah.
Di bawah ini akan diterangkan setiap masalah satu persatu.
Masalah Pertama: Hukum Menikah Dengan Orang Yang Berzina.
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, mayoritas ulama mengatakan boleh menikah dengan orang yang berzina. (Abu al-Khair Al Imrani, al-Bayan Syar al Muhadzab: 9/ 258).
Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah subhanallahu wa ta’ala:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (yang tidak menikah ) di antara kamu.” (Q.S. an-Nur: 32).
Ayat di atas memerintahkan kepada kita untuk menikahkan orang yang masih sendirian (yang tidak nikah), baik yang perawan, maupun yang sudah janda, baik yang belum pernah berzina, maupun yang sudah pernah berzina.
2. Hadist Aisyah radliyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, “Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Tabrani dan Daruqutni).
3. Begitu juga hadist Jabir bin Abdullah radliyallahu ‘anhu, yang menyebutkan bahwa: Seseorang bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, “Isteriku ini seorang yang suka berzina.” Beliau menjawab, “Ceraikan dia!.” Orang tersebut menjawab: “Tapi aku mencintainya.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Kalau begitu bersenang-senanglah dengannya.” (HR Abu Dawud, Nasa’I dan Baihaqi : 7/ 155).
Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membolehkan orang untuk tetap menikah dengan istrinya yang sering berzina, jika dia bisa bersabar dengannya.
4. Atsar dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa ada seorang bertanya kepada Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, “Aku melakukan zina dengan seorang wanita, lalu aku diberikan rizki Allah dengan bertaubat. Setelah itu aku ingin menikahinya, namun orang-orang berkata (sambil menyitir ayat Allah), “Seorang pezina tidak menikah kecuali dengan pezina juga atau dengan musyrik”. Lalu Ibnu Abbas berkata, “Ayat itu bukan untuk kasus itu. Nikahilah dia, bila ada dosa maka aku yang menanggungnya.” (HR Ibnu Hibban).
Sebagian ulama berpendapat bahwa haram hukumnya menikah dengan orang yang berzina sehingga dia bertaubat. (Ibnu Qudamah, al-Mughni: 6/601-602, Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa : 32/109-110, Ibnu Najjar, Muntaha al-Iradat, hlm: 95).
Dalil-dalilnya yang mereka ungkapkan adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah subhanallahu wa ta’ala,
اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
“Laki-laki yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak boleh dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nur: 3).
Ayat di atas menunjukkan haramnya menikah dengan orang yang berzina, dan keharaman ini menjadi hilang jika orang tersebut telah bertaubat.
Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam,
التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.“ (HR. Ibnu Majah, no: 4391, al-Baihaqi, no: 21070, Hadist ini dihasankan Syekh al-Albani dalam “ Shohih Al Jami’ “ no : 3008 dan dalam “Shohih at-Targhib wa at-Tarhib no: 3145).
Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa lafadh “hurrima“ pada ayat di atas artinya bukanlah pengharaman namun sesuatu yang makruh dan dibenci serta tidak pantas. Selain itu, mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya dengan ayat–ayat lainnya, sebagaimana yang disebut di atas.
Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari ayat di atas bukanlah menikah, akan tetapi menggauli, sehingga artinya adalah, “Laki-laki yang berzina tidaklah ada yang menjawab keinginannya untuk berzina kecuali perempuan yang berzina juga, atau perempuan musyrik yang tidak menganggap haram perbuatan zina.“ (Abdullah al-Bassam, Taudhih al-Ahkam: 2/ 302).
Kedua, Diriwayatkan dalam suatu hadist bahwa di Mekkah adalah seorang pelacur yang bernama ‘Anaq, dan dia mempunyai sahabat yang bernama Martsad. Suatu ketika Martsad mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam seraya bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ { وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ } فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا
“Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bolehkan aku menikah dengan Anaq? Rasulullah tidak menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian turunlah (Qs. an-Nur: 3). Setelah itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam memanggil Martsad dan bersabda, “ Janganlah kamu nikahi perempuan tersebut.” (HR at-Tirmidzi, Abu Daud dan an-Nasai).
Selain harus bertaubat, pendapat ini mensyaratkan juga agar perempuan yang telah melakukan perzinaan tersebut harus istibra’, yaitu mengkosongkan rahim dengan satu kali haidh. Dalilnya adalah hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
لَا تُوطَأُ الْحُبْلَى حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Perempuan hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan, sedangkan perempuan yang tidak hamil tidak boleh disetubuhi sampai dia berhaidh satu kali.“ (HR Abu Daud no : 2159 dan Ahmad no : 11911, Darimi, no : 2350 , dan Hakim no : 2790, al-Baihaqi no : 11105 , Hadist ini dihasankan oleh Ibnu ‘Abdul al-Barr di dalam At-Tamhid: 3/143, dan Ibnu Hajar di dalam Talkhis al-Habir: 1/ 275, dan dihasankan oleh Syekh al-Albani di dalam Shahih al-Jami, no : 7479).
Hal ini dikuatkan dengan hadist Ruwaifi’ bin Ats Tsabit Al Anshari bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam_ bersabda,
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ يَعْنِي إِتْيَانَ الْحَبَالَى وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَقَعَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menuangkan airnya di dalam tanaman orang lain dan tidak dibolehkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menggauli seorang tawanan perempuan sampai dia membersihkan rahimnya “ (HR. Abu Daud no : 2160, Ahmad no : 17435, al-Baihaqi, no : 16002, hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Katsir di dalam “Irsyad al-Faqih“ : 2/236, dan dihasankan oleh Syekh al-Albani di dalam al-Irwa’ : 5/ 140).
Maksud hadist di atas adalah bahwa seseorang tidak boleh menggauli seorang perempuan yang sudah digauli orang lain (telah berzina) sehingga dia membersihkannya dengan satu kali haidh.
Pendapat Yang Kuat – wallahu a’lam-: adalah bahwa menikah dengan orang yang pernah berzina adalah boleh tapi makruh, sampai dia bertaubat dan membersihkan rahimnya dengan sekali haidh, hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran air mani di dalam rahim seorang perempuan.