Apakah Pengambilan Ijazah Al-Quran Bin-nadzar Shahih?

Apakah Pengambilan Ijazah Al-Quran Bin-nadzar Shahih?

Fatwapedia.com – Mengenai keabsahan status Pengambilan Ijazah Al-Quran Bin-nadzar. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian di antaranya mengatakan tidak sah, sebab asalnya Al-Qurân adalah dihafalkan, bukan sekedar dibacakan semata. Ini yang kebanyakan diamalkan oleh para Masyâyikh Kibâr (ulama besar) Ahli Qirâah hari ini.

Namun demikian, sebagian di antaranya mengatakan shahih. Mereka berpendapat bahwa hafalan bukanlah syarat untuk mendapatkan ijâzah. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Al-Imâm As-Suyûthiy dalam Al-Itqân.

Hanya saja, walaupun ijâzah bin nazhar ini shahih menurut As-Suyûthiy, namun apabila kita ingin mengambil cara tersebut, maka kita harus memenuhi syarat yang beliau tetapkan berupa kematangan dalam dirâyah (lulus ujian teori) dan sudah menyetorkan hafalan matn tajwid, semisal yang populer adalah Muqaddimah Jazariyyah, Tuhfatul Athfâl, Hidâyatush Shibyân, dan lain sebagainya.

Artinya, walaupun ia tidak membaca Al-Qurân dengan hafalan kepada gurunya, namun aspek teoritis dan praktik tajwidnya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, karena sudah diuji sebelumnya dan dinyatakan lulus dari ujian tersebut. 

Kemudian yang penting untuk dicatat adalah bahwa aktivitas pengambilan ijâzah yang marak akhir-akhir ini dilakukan bit tanâwub (munâwabah). Yakni dalam satu kelompok setiap qâri membaca beberapa ayat atau beberapa halaman secara bergiliran. Qâri berikutnya melanjutkan bacaan sebelumnya, demikian seterusnya hingga akhir Al-Qurân.

Ijâzah bil munâwabah menurut mayoritas ulama Ahli Qirâah merupakan far’ (cabang), bukan ashl (pokok). Bagaimana mungkin seseorang yang hakikatnya hanya membaca sebagian Al-Qurân mendapatkan ijâzah untuk keseluruhan Al-Qurân?

Hal inilah yang membuat kebanyakan ulama menyatakan bahwa ijâzah bil munâwabah tidak sah sampai ia telah menyetorkan bacaan secara sempurna dari awal Al-Fâtihah hingga akhir An-Nâs kepada gurunya seorang diri. Namun, bersamaan dengan ini kami tidak mengingkari bahwa sebagian di antara ulama ada yang menyatakan keshahihannya secara mutlak, hanya saja pendapat tersebut tidak dianut oleh para Masyâyikh Kibâr Ahli Qirâah. 

Realita di lapangan juga mengindikasikan adanya praktik yang bermudah-mudah dalam memberikan ijâzah. Berdasarkan pengalaman beberapa rekan kami yang mengikuti aktivitas tersebut – kami tidak mengatakan seluruhnya, cukup banyak yang kurang memperhatikan aspek tajwid baik secara praktik, lebih-lebih pendalaman teoritis. Karena biasanya aktivitas seperti ini memiliki rentang waktu yang singkat lagi terbatas. Sehingga para qâri tersebut seakan-akan hanya membaca sebagai formalitas saja bahwa mereka telah bertalaqqiy kepada guru yang bersanad. Akhirnya, cukup banyak kita temukan sosok qâri bersanad, namun masih memiliki banyak kelemahan dalam teori dan praktik tajwidnya.

Kita tidak membicarakan hal-hal yang diperselisihkan para ulama. Namun kita membicarakan bahwa di antara lulusan tersebut ternyata masih cukup banyak yang terjatuh pada lahn yang disepakati para ulama, seperti tidak menyempurnakan pelafalan huruf berharakat, tidak konsisten dalam madd, mengeluarkan suara huruf berharakat dari rongga hidung (khaisyum), terjatuh pada ikhtilâs (mengurangi kadar harakat) dan isybâ (melebihkan kadar harakat), serta hal-hal lain yang disepakati oleh para ulama sebagai lahn dan aib bagi seorang qâri.

Fenomena ini tentu menjadi bahan renungan bagi kita sekalian, bahwa tidak setiap kemudahan yang diberikan dapat menjadi jalan kebaikan. Bahkan, sesuatu yang dimudah-mudahkan secara terpaksa, justru akan menimbulkan luka dan cacat.

Oleh karena itu, setiap kita wajib memilih guru yang mutqin (profesional), yang sudah teruji baik dari sisi teori maupun praktik. Bukan sekadar mencari yang viral, memiliki banyak subscriber atau follower, juga bukan sekadar bersanad atau bahkan dicap sebagai “sanad tertinggi”. Karena semua itu hanya menjadi label yang tidak memiliki arti sama sekali, manakala semua itu tidak berbanding lurus dengan kualitasnya.

Bahkan, sangat tidak menutup kemungkinan guru-guru yang mutqin itu justru tersembunyi di kampung-kampung, pesantren-pesantren tradisional, surau-surau kecil, yang jauh dari hingar bingar medsos atau dunia virtual. Marilah kita berdoa kepada Allâh agar kita bisa dibimbing oleh guru yang benar-benar mutqin, yang ilmunya bisa dipertanggungjawabkan, baik secara riwâyah (sanadnya shahih) ataupun dirâyah (mendalami teori-teori dengan tepat). Apalagi apabila sananya ternyata tinggi, dan hal tersebut tentu bonus bagi kita sekalian. Bârakallâhu fîkum wa jazâkumullâhu khayra.

Penulis: Muhammad Laili Al-Fadhli –

Leave a Comment