Fatwapedia.com – Usia 40 tahun adalah usia yang sangat menentukan sekaligus rawan. Menentukan karena kebiasaan pada usia ini relative menjadi tabiat, sulit diubah. Maknanya, jika pada usia ini seseorang masih menjadi ahli maksiat, maka biasanya sampai mati dia akan terus begitu. Sebaliknya, jika di usia ini dia konsisten menjadi ahli taat, maka sampai meninggal dia akan terus seperti itu.
Hal ini dikemukakan oleh para salaf, semisal An-Nakha’I yang mengatakan, “Jika seorang laki-laki mencapai usia 40 tahun dengan kebiasaan tertentu, maka kebiasaan tersebut tidak akan berubah sampai mati.” Dan Imam Ibnu Katsir juga berkata, “Ada pernyataan, ‘Umumnya orang tidak berubah dari kebiasaannya saat berusia 40 tahun.”
Dan, usia 40 tahun juga merupakan usia yang rawan. Karena pada usia inilah, seseorang harus bersikap hati-hati dan waspada. Karena bisa jadi, Allah ‘menghukum’ seseorang jika tidak segera kembali kepadanya. Imam Ibnu Katsir mencantumkan pertanyaan Al-Qasim bin Abdirrahman kepada Masruq, “Kapan seseorang dihukum karena dosa-dosanya?” Masruq kemudian menjawab, “Jika engkau sudah mencapai usia 40 tahun, maka waspadalah!!”
Hal ini dikarenakan pada usia 40 inilah seseorang mengalami kesempurnaan, baik dalam akal, pemahaman dan kesabarannya. Dan juga, orang yang berusia 40 tahun sudah termasuk mu’ammar (orang yang diberi umur panjang). Sehingga hujjah sudah tegak atasnya, dan Alalh sudah bersabar terhadap keteledoran-kemalasannya. Maka, sudah seyogianya orang yang berusia 40 tahun untuk kembali kepada Allah.
Namun hal ini tidak menafikan adanya orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun untuk matang di dalam beragama. Dan juga tidak menutup celah bagi orang yang sudah berusia lebih dari 40 tahun untuk memperbaiki hubungannya dengan Allah Ta’ala. Seorang mukmin harus senantiasa berupaya, tidak boleh berputus asa, meski sebelumnya harus terseok-seok dalam perjalanan menuju Allah.
Lantas, apa yang harus dilakukan bagi orang-orang yang berusia 40 tahun? Bekal apa yang harus mereka kerjakan? Jawabannya ada dalam surat Al-Ahqaf ayat 15. Ya, sekalipun amalan-amalan yang tersebut dalam ayat ini juga dianjurkan bagi orang yang berusia di bawah atau di atas 40 tahun, namun ayat ini menyebutkan usia 40 tahun secara khusus, yang sudah seharusnya ayat ini harus menjadi perhatian serius bagi mereka; orang-orang yang berusia 40 tahun.
Surat Al-Ahqaf ayat 15 tersebut berbunyi:
{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ} [الأحقاف: ١٥]
Di dalam ayat di atas, Allah memberikan setidaknya 7 hal yang harus diperhatikan secara serius oleh orang-orang yang berusia 40 tahun:
Pertama, berbakti kepada kedua orangtua
Ajaran pertama yang seyogianya diperhatikan oleh orang yang berusia 40 tahun adalah berbakti kepada orangtua. Hal ini ditegaskan oleh redaksi, “Wawashshainal insana bi walidaihi ihsana.” Wasiat dari Allah ini menunjukkan bahwa amalan ini harus dilaksanakan. Utamanya berbakti kepada ibu. Oleh karenanya di dalam ayat ini disebutkan kepayahan di atas kepayahan yang dilalui oleh seorang ibu yang hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh hingga dewasa.
Perintah berbakti ini berlangsung terus-menerus, sejak taklif sampai orangtua wafat. Dan perintah ini semakin ditekankan lagi ketika seseorang sudah balagha asyuddah (baligh sampai berusia 30/40 tahun) dan berusia 40 tahun. Karena pada saat inilah, biasanya manusia super sibuk bekerja, membanting tulang, membiayai istri dan anak dan mengurusi semua tanggungan. Akibatnya, kadang-kadang kesibukan tersebut melupakan bakti kepada kedua orang tua, atau bahkan tidak memiliki waktu sama sekali untuk mereka.
Jadi, melalui ayat ini, Allah mengingatkan agar kita tidak lupa berbakti kepada kedua orangtua.
Kedua, bersyukur
Amalan penting lain yang terkandung dalam ayat ini adalah ajaran bersyukur. Allah mengajari kita supaya merutinkan membaca doa yang diajarkan dalam ayat ini, yang berbunyi, “Rabbi auzi’ni an asykura ni’matallati an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya.” Ini menunjukkan bahwa bersyukur adalah amalan yang sangat penting bagi orang yang sudah menginjak usia 40 tahun.
Nikmat yang disyukuri dalam doa ini adalah nikmat yang dikaruniakan kepada kita dan juga nikmat yang diberikan kepada kedua orangtua kita. Nikmat ini mencakup nikmat dien dan juga nikmat duniawi.
Setidaknya, dengan mengingat-ingat dan mensyukuri nikmat-nikmat yang sudah diberikan Allah kepada kita dan orangtua kita, kita semakin bertambah cinta kepada Allah, sehingga kecintaan ini akan menjadikan kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Pun, kita merasa malu jika membalas nikmat-nikmat tersebut dengan bermaksiat kepada-Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hajjaj bin Abdullah Al-Hakam,
تركت المعاصي والذنوب أربعين سنة حياء من الناس ثم تركتها حياء من الله عز وجل
“(Awalnya) aku meninggalkan maksiat dan dosa selama 40 tahun karena malu kepada manusia, kemudian aku meninggalkan dosa-dosa itu karena malu kepada Allah.”
Ketiga, berdoa
Di antara wasiat Allah yang terpenting bagi orang yang berusia 40 tahun ialah berdoa dengan doa yang diajarkan Allah dalam ayat ini. Yaitu, berdoa dengan doa,
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
Doa ini berisi tiga hal; pertama, taufik bisa bersyukur; kedua, taufik bisa beramal shalih, dan ketiga, anak keturunan dijadikan shalih. Permintaan agar bisa bersyukur didahulukan daripada taufiq karena amal hati lebih utama daripada amal badan. Permintaan agar bisa beramal shalih yang dilakukan sendiri didahulukan daripada amal shalih yang didahulukan anak cucu karena amal sendiri lebih utama daripada amal orang lain.
Tiga permintaan ini ditinjau dari sisi mendatangkan tingkat kebahagiaan dimulai dari yang paling puncak, pertengahan sampai yang terendah. Kebahagiaan tertinggi adalah kebahagiaan jiwa karena mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Kebahagian di bawahnya adalah kebahagiaan jasmani dengan beribadah dan beramal shalih. Level ketiga adalah kebahagiaan karena melihat keshalihan anak cucu.
Faidah lain dari redaksi ayat ini adalah bahwa digandengkannya perintah mendoakan keshalihan anak padahal ayat ini berbicara tentang perintah berbakti kepada orangtua memberikan isyarat bahwa seseorang akan mendapatkan bakti anak-anaknya sesuai dengan bakti yang dilakukan olehnya kepada kedua orangtuanya.
Mendoakan keshalihan anak merupakan penyempurna nikmat bagi orang yang beriman. Sehingga dengan doa ini, ia seolah-olah berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan nikmat kepadaku dan itu nyata nan pasti sebagaimana juga kepada kedua orangtuaku, maka sempurnakan nikmat-Mu dengan memberiku anak yang shalih juga. Aku yakin itu sangat mudah bagi-Mu dan sangat layak dengan kemurahan-Mu.” Wallahu a’lam bish shawab. bersambung ke tulisan kedua.
Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari, Penikmat Kisah Qur’ani.