Fatwapedia.com – Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Pernah ditanya oleh sebagian penanya (dari Indonesia) tentang status hukum NKRI yang dimuat majalah salafy.
Pertanyaan: “Apakah Pemerintahan Indonesia dapat dikatakan pemerintahan Islam? Perlu diketahui bahwa pimpinan negaranya seorang muslim, shalat dan puasa dan kebanyakan pegawainya muslim serta kebanyakan penduduknya muslim. Tetapi dasar negaranya Pancasila yaitu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Jawaban Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali:
“Tinggalkan pertanyaan ini, berikanlah pertanyaan lain, kita tidak bisa mengatakannya sekarang, Islamiyyah atau tidak Islamiyyah.
…. Ini (Indonesia-pen) adalah negara kaum muslimin, tercampur di dalamnya Islam dan kesyirikan. Tidak bisa kita katakan sebagai negara Isalam 100%. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah menjawab tentang negeri Mardin, apakah dia negara Islam atau bukan. Beliau menjawab: “Di dalamnya ada Islam dan ada Kekufuran.” Baarokallaahu fiikum. –selesai kutipan-
* * *
Apa yang beliau sampaikan sejatinya ialah kutipan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam berbagai fatwa beliau tentang darul Murakkabah ketika beliau menjelaskan tentang status negeri Marden (Turki bagian selatan) yang dikuasai oleh kafirin Mongolia dan tentu saja undang-undang yang diterapkan ialah undang-undang Mongol. Ibnu Muflih Al-Hanbali salah seorang murid dekat beliau juga mengutip pendapat beliau ini di kitab Al-Aadab Asy-syar’iyyah hal. 124 (kami fotokan kitabnya). Beliau berkata:
“Setiap negeri yang dikendalikan oleh hukum-hukum Islam maka ia adalah negeri Islam. Jika ia dikendalikan oleh hukum-hukum orang kuffar maka ia adalah negeri kafir dan tidak ada status negeri selain keduanya (Islam atau kafir). Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah pernah memberikan petuah tatkala beliau ditanya tentang negeri Maridin apakah ia negeri Harb atau negeri Islam? Beliau menjawab : Maridin adalah dar Murakkabah yang didalamnya dalamnya terdapat dua makna, ia tidaklah sebagaimana negeri Islam yang berlaku didalamnya hukum-hukum Islam lantaran tentaranya dari kalangan kaum muslimin, dan tidak pula sebagaimana Daarul Harb yang penduduknya kuffar. Akan tetapi ia jenis ketiga dimana seorang muslim diperlakukan sebagaimana semestinya dan orang yang keluar dari syari’at Islam diperlakukan sebagaimana mestinya.”
Bahkan para ulama mereka menyatakan bahwa jika sebuah negeri yang berlaku dominannya undang-undang selain syariat, maka ia adalah bukan negeri Islam sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qadhy Abu Ya’la, Ibnu Qudamah, Ibnu Qayyim dll. Adapun penetapan status sebuah negeri disebut sebagai negeri Islam hanya karena tampaknya syiar semisal adzan sebagaimana hadits ditundanya penyerbuan ke sebuah negeri jika dinegeri tersebut terdengar suara adzan, ini dikritik oleh para ulama sejak dahulu hingga hari ini. Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh menyatakan (sebagaimana dalam foto, Kitab Tsalatsah Al-ushul hal. 226-227):
“….pernyataan seperti ini perlu diteliti kembali karena hadits tersebut berdasarkan hukum asalnya yaitu orang-orang Arab dahulu tatkala mereka mengumandangkan adzan maka maknanya ialah mereka telah menetapkan dan bersyahadat bdenhan syahadat yang haq karena mereka mengamalkan makna syahadat tersebut, merealisasikan hak-hak tauhid yang tercakup dalam lafazh adzan. Apabila mereka mengucapkan kalimat syahadat لا إله إلا الله mereka mengumandangkannya dalam adzan shalat, maka mereka telah menanggalkan kesyirikan dan berlepas diri darinya dan mereka mendirikan shalat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Jika mereka bertaubat dan menegakkan shalat dan menunaikan zakat maka mereka adalah saudara kalian dalam agama”
Maka firman Allah “Jika mereka telah bertaubat” yaitu taubat dari kesyirikan. “Menegakkan shalat dan menunaikan zakat” yang demikian karena dahulu orang-orang Arab mereka mengamalkan makna tauhid.
Sampai beliau berkata …
“Oleh karena itu syarat atau definisi ini yaitu bahwa negeri Islam ialah negeri yang nampak didalamnya adzan shalat dizaman sekarang tidaklah tepat untuk dijadikan syarat sebagai negeri Islam. Dalilnya ialah berdasarkan hukum asalnya bahwa orang-orang Arab dahulu telah menanggalkan kesyirkan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, serta menerima dan mengamalkan kandungan tauhid. Ini tentu berbeda dengan orang-orang zaman sekarang”
-selesai kutipan dari beliau- terlebih di negara-negara barat sebagian masjid sudah dibebaskan mengumandangkan adzan dengan speaker luar, apakah otomatis negara tersebut langsung menjadi negara Islam ? Subhanallah, sungguh tidak ada yang berpikir demikian kecuali orang yang tidak memahami bab ini sedikitpun.
Sebagian orang berasalan tampaknya syiar Islam namun mereka menafikan nampaknya pula syiar kekufuran yang terang-terangan di televisi dalam program agama mereka, Islam dihinakan di stand up comedi dan kafirin berani menghinakan Islam, syariat Allah tidak ditegakkan kecuali hanya sebagiannya (undang-undang pernikahan dan semisalnya) sementara mayoritas lainnya dari syariat mereka campakkan. Terkhusus tidak ditegakkannya syari’at Islam adalah fatwa-fatwa para ulama kita sejak dahulu akan tercegahnya status sebagai negeri muslim. Bagaimana dengan fatwa ulama-ulama besar kita saat ini?
Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata:
الكلُّ دولة لا تَحكم بشرع الله، ولا تنصاع لحكم الله؛ فهي دولةٌ جاهليةٌ كافرةٌ ظالمةٌ فاسقة، بنصّ هذه الآيات المُحكمَات، يجبُ على أهلِ الإسلام؛ بغضُها ومعاداتُها في الله، وتَحرم عليهم؛ مودتُها وموالاتُها، حتى تؤمنَ بالله وحدَه، وتُحكِّم شريعتَه”.
“Setiap negari yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan tidak tunduk dengan hukum Allah maka negeri tersebut adalah negari jahiliyyah, kafir, zalim dan fasik berdasarkan ketetapan ayat-ayat muhkamat. Wajib atas seorang muslim untuk membencinya dan memusuhinya karena Allah. Haram atas mencintai dan memberikan loyalitas kepada mereka hingga mereka beriman kepada Allah semata dan berhukum dengan syariat-Nya.” Fatwa Lajnah Daimah (no. 7796):
“س: لعلكم على علمٍ بأن حكومتنا علمانية، لا تهتمّ بالدّين، وهي تحكم البلادَ على دستورٍ اشترك في ترتيبه؛ المسلمون والمسيحيون – والسؤال: هل يجوز لنا أن نُسمّي الحكومةَ؛ بحكومةٍ إسلامية؟! أو نقول إنها كافرة ؟!
Pertanyaan diajukan ke Lajnah: “Mungkin anda-anda semua tentu telah mengetahui bahwa pemerintahan kami pemerintah sekuler yang tidak memperhatikan agama. Pemerintah kami menjalankan roda kekuasaannya diatas hukum konstitusi yang dalam menyusunnya tergabung antara orang-orang Islam dan Kristen. Pertanyaannya adalah, Apakah boleh bagi kami menamakan pemerintahan itu dengan pemerintahan islam atau kami katakan sesungguhnya itu pemerintahan kafir?
Lajnah Menjawab :
ج: إذا كانت تحكم بغير ما أنزل الله؛ فالحكومةُ غير إسلامية”.
Jika pemerintah itu berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah maka pemerintahan itu bukanlah pemerintahan Islam”.
Apa yang kami sebutkan disini dikarenakan banyaknya kalangan (baik ustadznya ataupun newbie-nya) yang kerapkali mengilzam bagi sesiapa saja yang menganggap Indonesia bukan negeri Islam dengan vonis sebagai khawarij dan Takfiri. Subhanallah, ini buhtan dan fitnah yang sangat keji. Hakikatnya para ulama-lah yang telah mereka tuduh dengan tuduhan serampangan tersebut. Merekapun mengilzam bahwa pendapat Indonesia bukan Negera Islam maka konsekuensinya nanti akan memberontak. Ini lagi-lagi ilzam batil dari madzhab ilzamiyah, memberontak sebuah negeri untuk menegakkan syari’at haruslah terpenuhi berbagai syarat yang dijelaskan oleh para ulama diantaranya : Kemudharatan yang ditimbulkan harus lebih sedikit dibandingkan dengan kemudharatan tetap bertahan dalam negeri yang bukan diatas syari’at Islam, harus memiliki kekuatan yang bisa menandingi kekuatan negara tersebut dan seterusnya.
Mereka juga mengilzam “Kalau negeri ini bukan negeri Islam, ayo sana hijrah!”
Mengapa mereka tidak katakan demikian kepada salafiyyin dan seluruh kaum muslimin di Eropa, Amerika? Apakah mereka lupa ada udzur syar’i bagi orang yang berhijrah untuk tidak berhijrah dan ada negeri muslim yang hendak dituju sebagai darul hijrah. Kemana? Saudi? Yang membayar iqomah tahunannya puluhan juta rupiah? Belum lagi tiket pesawat dll.? Terlebih para ulama menjelaskan selama dapat ditegakkan izharud dien dengan dua ketentuannya.
Saya pribadi condong kepada pendapat bahwa negeri ini ialah negeri Murakkabah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau tidak memerintahkan kaum Maridin untuk hijrah (tidak sebagaimana ucapan bual kaum ilzamiyyun) dan petinggi negeri ini semenjak Soekarno hingga Jokowi beserta seluruh wakil dan pejabatnya semuanya satu suara menyatakan bahwa Indonesia bukan negeri Islam dan dinyatakan demikian pula oleh MUI (tenang saja, kami tidak mengilzam “ayo katanya taat Ulil Amri”)
Tidak pernah terlintas dibenak saya apakah ada fatwa ulama-ulama salaf yang menyatakan sebuah negeri adalah negeri Islam namun negeri tersebut puluhan tahun menyingkirkan syari’at Islam dan menggantinya dengan undang-undang penjajah Belanda yang presidennya mengatakan bahwa undang-undang itu ialah harga mati dan mengancam akan menggebuk bagi siapa saja yang hendak menggantinya (menjadi syariat Islam misalnya), negara yang mengakomodir agama-agama kuffar: Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan sebentar lagi kejawen, perdukunan di legalkan, pencela Islam di pelihara disebut sebagai negeri islam?