Fatwapedia.com – Mukjizat sebagai istilah yang diambil dari bahasa Arab, maka ia memiliki kandungan konsep tertentu dalam bahasa aslinya yang bernuansa keislaman yang telah didefinisikan oleh para ulama. Hal ini disebabkan bahasa yang hendak mengadopsi istilah tersebut mengalami keterbatasan kosa kata atau padanan kata untuk merujuk kepada makna konseptual pada istilah tersebut.
Tentu hal itu dikarenakan konsep tersebut benar-benar baru dan tidak ada dalam alam pikiran pemilik bahasa itu. Sehingga konsekuensi semantis dari mengambil istilah tersebut adalah tidak boleh dilepaskan makna istilah itu dari konsep aslinya yang ditetapkan padanya oleh bahasa asal. Walhasil alam pikiran bangsa yang mengadopsi istilah konsep tadi mengalami “islamisasi” dengan memperoleh pemaknaan dan pemahaman tentang sesuatu yang disebut dengan mukjizat.
Mukjizat didefinisikan sebagai segala macam peristiwa berupa perkara di luar kebiasaan alam semesta yang didemonstrasikan oleh seorang Nabi sebagai bentuk klaim kenabiannya sebagai bentuk tantangan bagi orang-orang yang ingkar, dimana hal itu dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan kebenaran klaim kenabian tersebut.
Berdasarkan pengertian ini bahwa mukjizat adalah perkara yang masuk akal, yakni akal mampu membayangkan kewujudan hal tersebut, namun ia merupakan perkara diluar kebiasaan dan “hukum” yang nampak pada alam semesta. Peristiwa ini disebut mustahil bukan dalam pengertian tidak masuk akal, namun bermakna bertentangan dengan kebiasaan.
Bagi seorang Muslim, maka diwajibkan baginya untuk mengimani mukjizat para Nabi dan Rasul sebagai sesuatu yang diberlakukan oleh Allah kepada mereka, dalam rangka menunjukkan superioritas mereka sebagai pembawa risalah. Mukjizat berperan sebagai aspek yang menjelaskan kebenaran klaim kenabian dan keterikatan mereka dengan Allah sebagai Tuhan.
Sedangkan diantara mukjizat itu adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yaitu peristiwa diperjalankannya (Isra’) baginda Nabi Muhammad dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa kemudian naik (Mi’raj) melewati tujuh lapis langit hingga tiba pada Pohon Bidara Kosmik Puncak (Heavenly Jujube Tree) yang disebut dengan Sidrah al-Muntaha. Baginda tiba pada puncak semesta dengan jasad dan ruhnya sebagaimana yang disepakati mayoritas ulama.
Sidrah al-Muntaha merupakan puncak semesta, tidak ada satu makhlukpun yang dapat melewatinya kecuali baginda Nabi Muhammad. Akar daripada Pohon Bidara Kosmik ini berada pada langit ke enam, sedangkan sisa bagian lainnya berada pada langit ke tujuh. Tempat ini merupakan puncak yang darinya perintah Tuhan turun, ketetapan hukum diambil, dan para Malaikat berada di dekatnya. Segala sesuatu yang naik dari Alam Bawah berhenti disini, dan perintah agung dari Alam Atas turun dari sini.
Peristiwa ini merupakan kekaguman bagi setiap mereka yang memiliki keimanan kepada para Nabi, namun menjadi bahan olokan bagi mereka yang tidak memiliki keimanan padanya. Apalagi pada masa dimana standar kebenaran dan fakta harus didasarkan pada temuan sains. Tatkala sains hanya bekerja untuk menjelaskan kebiasaan semesta, dimana ketika kebiasaan tersebut dilanggar sehingga keluar dari nalarnya, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang konyol dan tidak masuk akal.
Keimanan atasnya bukan sesuatu yang bersifat dogmatis, yang dipenuhi dengan keragu-raguan, sebab keimanan dan keragu-raguan secara asal tidak mungkin wujud secara bersamaan. Namun ia adalah kabar peristiwa yang telah ditransmisikan oleh orang banyak dari generasi ke generasi sampai pada hari ini sehingga mustahil secara kebiasaan mereka akan bersepakat untuk berdusta tentangnya.
Pembuktian benar tidaknya peristiwa ini bukan dengan mungkin atau tidak mungkin menurut sains, sebab ia merupakan suatu berita. Biar bagaimanapun tidak ada orang yang menyaksikan dan mengabarkan pertama kali tentang hal ini yang masih hidup pada hari ini untuk menceritakannya. Maka yang menjadi pegangan adalah kebenaran transmisi berita yang membuktikan kebenaran peristiwa itu, dimana hal itu tidak dapat disangkal, kecuali jika memang sedari awal dia sudah mendustakan kebenaran mukjizat dari sang Nabi. Wallahu a’lam.
NSS.