Fatwapedia.com – Menurut pendapat yang muktamad (resmi) dalam mazhab Syafi’i, zikir setelah salat fardhu disirrkan (dilirihkan). Namun apabila ada hajat untuk dikeraskan seperti untuk pengajaran kepada makmum, maka dibolehkan untuk dikeraskan sebagaimana amaliah rata-rata masyarakat muslimin di Indonesia.
Bahkan ada pendapat yang lain lagi (masih dalam mazhab Syafi’i) yang menyebutkan, bahwa mengeraskan zikir setelah salat fardhu lebih utama secara mutlak, baik untuk pengajaran atau tidak. Ini pernah saya temukan dalam fatawa Imam An-Nawawi rahimahullah. Pendapat ini walaupun tidak muktamad, tapi jika ada yang mengamalkannya, maka boleh-boleh saja. Karena faktanya, ada hadis yang secara sarih (gamblang) menunjukkan kepada hal ini.
Sementara itu, ada sebagian pihak (oknum) yang mengklaim bahwa zikir keras setelah salat fardu adalah bidah atau tidak sesuai sunah. Sampai-sampai hal ini dijadikan point untuk menjudge (memojokkan/menghakmi) mazhab syafi’i. Sebagian lagi menjadikan hal ini sebagai ciri ahli bidah. Kapan suatu masjid jamaahnya berzikir keras, maka dianggap “masjid bidah”. Kapan suatu masjid jamaahnya berzikir lirih, maka disebut dengan “masjid sunah”. Menurut hemat kami, perilaku seperti ini tidak tepat dan terlalu berlebihan. Istilah yang dipakai juga cenderung provokatif dan kontraproduktif. Bahkan dikhawatirkan termasuk kezaliman kepada pihak lain.
Sebenarnya kalau kita mau ‘piknik’ sejenak, kita akan tahu bahwa amaliah mengeraskan zikir setelah salat fardhu ini juga dibolehkan oleh ulama mereka. Salah satunya adalah syekh Muhammad bin Salih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Bahkan pembolehan beliau sifatnya mutlak (tidak hanya untuk pengajaran) dan meliputi seluruh zikir setelah salat.
Pertanyaan: “Syekh yang mulia semoga Allah menjaga anda, telah datang sunah akan disyari’atkannya mengeraskan suara zikir setelah salat fardhu. Apakah yang dimaksud ia itu adalah zikir yang dilafazkan secara langsung setelah salat misalnya “Allahumma anta as-salam” dan yang semisalnya, atau hal ini sifatnya umum meliputi semua zikir termasuk tasbih, tahlil dan takbir?
Beliau (syekh Al-‘Utsaimin) menjawab: “Ia (mengeraskan suara zikir) sifatnya umum meliputi seluruh zikir yang disyari’atkan setelah salat fardhu, yaitu Istighfar, ucapan Allahumma anta as-salam, tasbih, tahlil, dan takbir. Sebagian ulama kami telah menyusun suatu risalah, dan beliau berkata: “Barang siapa yang membedakan antara tahlil dan tasbih, sungguh dia telah membuat bidah.” Karena tidak ada bedanya antara ini dan itu. Dan ini adalah pendapat yang sahih (benar). (Liqa’at Al-Bab Al-Maftuh : 3/358, pertanyaan no: 1415, cetakan Dar Al-Bashirah)
Tulisan ini bukan untuk mengharuskan dan memaksa anda mengeraskan suara zikir yang sebelumnya anda lirihkan. Saya pribadi pun tidak mengeraskannya. Tapi paling tidak, bisa membuka cakrawala berfirkir kita bahwa fiqh itu luas, tidak sesempit yang kita kira. Selain itu, agar kita bisa menghormati serta menghargai pendapat orang lain. Apalagi pendapat ini merupakan pendapat para ulama yang telah mencapai level ijtihad. Berbeda boleh, tapi menghormati pendapat orang lain adalah wajib.