Fatwapedia.com – ‘Iddah adalah hari-hari dimana seorang wanita yang berpisah (bercerai) dengan suaminya menjalani masa menunggu. Selama waktu menunggu tersebut, ia tidak diperbolehkan untuk menikah, dan tidak boleh juga disindir (diminta) untuk menikah.
Hukum ‘Iddah
Menjalani masa ‘iddah hukumnya wajib bagi seluruh wanita yang berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik karena ditalak atau karena ditinggal mati. Berdasarkan firman Allah:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
“Istri-istri yang telah dicerai hendaklah mereka menjalani masa ‘iddah selama tiga kali masa bersih.” (2: 228)
Macam-macam ‘Iddah
Masa iddah itu beragam. Berikut perinciannya:
1. Jika karena suami wafat, dan dia dalam keadaan tidak hamil, maka 4 bulan 10 hari.
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Baqarah: 234)
2. Jika dicerai saat hamil atau suami wafat saat dia hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا
Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaq: 4)
3. Jika dicerai oleh suami, TIDAK dalam keadaan hamil, maka iddahnya 3 kali quru’
Allah Ta’ala berfirman:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
“Istri-istri yang telah dicerai hendaklah mereka menjalani masa ‘iddah selama tiga kali masa bersih.” (QS. Al Baqarah: 228)
Apa makna QURU’?
Imam Al Qurthubi menjelaskan:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْأَقْرَاءِ، فَقَالَ أَهْلُ الْكُوفَةِ: هِيَ الْحَيْضُ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي مُوسَى وَمُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَالضَّحَّاكِ وَعِكْرِمَةَ وَالسُّدِّيِّ. وَقَالَ أَهْلُ الْحِجَازِ: هِيَ الْأَطْهَارُ، وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَالزُّهْرِيِّ وَأَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ وَالشَّافِعِيِّ
Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru. Ulama Kufah mengatakan: HAID. Inilah pendapat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Adh Dhahak, ‘Ikrimah, dan As Suddi.
Ulama Hijaz mengatakan: SUCI. Inilah pendapat Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Az Zuhri, Abban bin Utsman, dan Asy Syafi’i. (Tafsir Al Qurthubi, 3/113)
Ada pun pendapat mayoritas Ahli Fiqih, makna Quru’ adalah SUCI. Sehingga arti dari tiga kali quru’ adalah tiga kali masa suci. Inilah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sdgkan Hanafiyah yang mengatakan tiga kali masa haid.
4. Jika bercerai karena fasakh (pembatalan pernikahan), atau dia khulu’ (gugat cerai dari istri dan disahkan pengadilan), maka satu kali masa suci menurut Hambaliyah, tapi umumnya ulama mengatakan sama seperti cerai biasa, yaitu tiga kali quru’.
5. Jika wanita sudah menopause, atau belum mengalami haid, maka masa iddahnya 3 bulan
Allah Ta’ala berfirman:
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا
Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath Thalaq: 4)
6. Jika dicerai setelah akad nikah, dan belum pernah digauli. Maka tidak ada masa iddah.
Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al-Ahzab: 49) Demikian.
7. Masa ‘iddah perempuan yang dicerai karena suaminya menghilang dan tidak diketahui kondisinya apakah masih hidup atau sudah mati, maka dia tetap menunggu selama empat tahun dari hari terputusnya kabar suaminya, kemudian setelah itu dia menjalani masa ‘iddah sabagaimana iddahnya seorang wanita yang ditinggal mati oleh suami, yakni selama empat bulan sepuluh hari.
Jika ditakdirkan bahwasanya dia menikah lagi setelah menanti dengan menjalani masa ‘iddah, kemudian suami yang pertamanya datang lagi, maka dia harus kembali kepada suaminya yang pertama jika suaminya itu menginginkannya. Namun, jika suami keduanya itu telah menggaulinya, maka dia wajib menjalani masa ‘iddah darinya seperti masa ‘iddah talak (tiga kali suci atau haid). Akan tetapi, jika suami keduanya belum menggaulinya, maka tidak ada kewajiban ‘iddah padanya.
Jika suami yang pertama membiarkan istrinya untuk suami yang kedua, maka tidak perlu ada akad baru, dan suami yang pertama berhak meminta mahar yang telah diberikan kepadanya. Apabila ia kembali kepada yang pertama, maka suami yang kedua itu juga boleh menuntut maharnya kepada yang telah diberikannya. Demikianlah keputusan hukum yang telah diambil oleh ‘Utsman dan ‘Ali. Wallahu A’lam.
Hikmah ‘Iddah
Di antara hikmah disyar’iatkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
- Memberi kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istri yang dicerainya tanpa susah payah jika talaknya itu adalah thalaq raj’i.
- Mengetahui kesucian rahim, dan menjaga keturunan dari percampuran nasab.
- Agar istri dapat membantu keluarga suami, dan menunjukkan kesetiaan kepada suami, jika ‘iddahnya karena ditinggal mati suami.
Oleh: Farid Nu’man Hasan Lc