Fatwapedia.com – Setelah kita pahami tentang waktu-waktu shalat (shalat fardhu). Selanjutnya yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah Beberapa hal yang berkaitan dengan waktu-waktu shalat. Diantaranya bolehkah kita mengerjakan shalat di akhir waktu? Dan berikut ini penjelasan selengkapnya.
Penekanan Waktu Shalat Fardhu
Sebelum menjawab pertanyaan bolehkah mengakhirkan waktu shalat. Ada baiknya kita sepakati terlebih dahulu bahwa mengerjakan shalat tepat pada waktunya serta waktu yang telah ditekankan adalah suatu kewajiban. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
إنَ الصَلاة كانت علي المؤمنين كتابا مَوقوتا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [Al-Qur`an Surat: An-Nisa’ : 103]
Karena ayat ini, maka tidak boleh mengakhirkan waktu shalat walaupun dalam keadaan junub, berhadas, terdapat najis pada pakaiannya dan bagi orang yang kehilangan sesuatu yang menutupi auratnya. Pendapat yang shahih mengatakan, diwajibkan shalat menurut keadaannya masing-masing tepat pada waktunya. (Pendapat syaikh Islam dalam (Al-Fatawa) ( 22/30 ) dan dinisbatkan kepada mayoritas ahlul ilmi, lihat (Al-Furu’) (1/293 ), Al-Umm (1/79), dan Al-Majmu’ (1/182)
Allah Subhanahu wata’ala memuji hamba-hamba-Nya yang menjaga shalat tepat pada waktunya, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya”. [Al-Qur`an Surat: Al-Ma’arij: 34]
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”.[Al-Qur`an Surat: Al-Ma’arij : 23]
Ibnu mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
ذلك علي مواقيتها
“Yaitu shalat pada waktunya” [Ditakhrij oleh Ibnu Al-Mandzur dalam Al-Ausath (2/386), dan At-Thabarani seperti halnya dalam (al-majmu’) (1/129)]
Melaksanakan shalat tepat pada waktunya adalah perbuatan yang paling utama serta dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dari ibnu mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
سألت النبي صلي الله عليه: أي العمل إلي الله؟ (و في رواية: أفضل؟) قال: (الصلاة علي وقتها)قلت: ثم أي؟ قال: (بر الوالدين) قلت: ثم أي؟ قال: (الجهاد في سبيل الله)
“Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang perbuatan apa yang dicintai oleh Allah? (dalam suatu riwayat, paling utama). Nabi menjawab, “Shalat tepat pada waktunya”, Saya bertanya, “Lalu apalagi?” Nabi menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua”, saya bertanya, “Lalu apalagi?” Nabi menjawab, “Jihad di jalan Allah”. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (527), Muslim (85)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengikuti imam yang mengakhirkan shalat hingga lewat dari waktu yang telah ditentukan. Dari abu dzar berkata, Rasulullah berkata kepadaku:
كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟» قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: «صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
“Bagaimana jika kamu menemui orang yang mengakhirkan waktu shalat? Atau mematikan ruh shalat”. Aku berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku?”Rasulullah bersabda, “Shalatlah tepat pada waktunya, jika kamu mengetahui ada orang yang hendak melaksanakan shalat maka, ikutlah shalat, karena shalat yang kedua itu sunnah bagimu” (Hadits Riwayat: Muslim (648), al-At-Tirmidzi (176), dan lihat Ta’dzim Qodaru Alshalatu (1007)
Anas bin malik radhiallahu ‘anhu menjelaskan, bahwa mengakhirkan shalat dari waktunya yang telah ditentukan adalah sebuah pengkhianatan terhadap petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hal itu sama artinya dengan menyia-nyiakan shalat. Dari az-Zuhri berkata, “Saya memasuki rumah Anas bin Malik di damaskus dan dia sedang menangis, saya berkata, “Apa yang membuat kamu menangis?” Anas bin Malik menjawab, “Saya tidak tahu apa-apa (pada zaman Rasululah SAW) kecuali shalat dan shalat ini telah tersia-siakan. (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (530)
Penulis berkata: Sepantasnya seseorang menanamkan dalam dirinya jiwa yang mampu menjaga waktu-waktu shalat dan melaksanakannya di awal waktu (kecuali isya’ jika tidak ada kesulitan) sesuai dengan firman Allah Subhanahu wata’ala:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan “ (Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 148)
أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (al-Mu’minun: 61) dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahul musta’an.
Kapan Sesorang Dianggap Shalat Tepat Pada Waktunya?
Shalat tepat waktu sebagaimana keterangan di atas, merupakan perintah islam. Namun kapan seseorang dikatakan telah salat tepat waktu. Sebagaimana pertanyaan Kapan Boleh Mengakhirkan Shalat?
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
Pertama: Mendapatkan takbiratul ihrom: Mazhab Imam Abu hanifah, Imam Syafi’i dan masyhur dari Mazhab Imam Ahmad. [Al-Majmu’ (3/49), Al-Ausath (2/348), Al-Iklil (1/304)
Dalil mereka:
Mendapati bagian dari shalat ( yaitu takbiratul ihrom) seperti mendapatkan keseluruhan, karena shalat tidak terbagi-bagi. Al-Mabda’ (1/353), tetapi menurut imam Abu Hanifah : shalatnya rusak jika matahari telah muncul, dan satu raka’at dari shubuh masih tertinggal! pendapat ini berbeda dalil.
Hadist Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْعَصْرِ سَجْدَةً ، قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَوْ مِنَ الصُّبْحِ ، قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَدْرَكَهَا
“Siapa yang mendapatkan satu sujud shalat ashar sebelum terbenamnya matahari, atau shalat shubuh sebelum terbitnya matahari, maka ia mendapatkan shalat tersebut” (Hadits Riwayat: Muslim (609), Ahmad (6/78).
Mereka (Imam abu hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ) berkata, “ Satu sujud adalah bagian dari shalat, maka takbiratul ihram diqiyaskan atasnya”.
Kedua: mendapatkan satu raka’at secara sempurna: pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, riwayat dari Imam Ahmad dan dipilih Syaikh Islam, (Mawahibul Jalil (1/408), Al-Dasuqy (1/182), Al-Inshof (1/439) pendapat ini merupakan pendapat yang rajih, dalilnya sebagai berikut:
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Siapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat, maka dia mendapatkan shalat” (Hadits Riwayat: Al-Bukhari (580), Muslim (607)
Kalimatمَنْ أَدْرَكَ adalah jumlah syartiyah. Maksudnya, bahwa seseorang yang mendapatkan kurang dari satu raka’at, maka dia belum memperoleh shalat. Gambaran mendapatkan shalat adalah dengan mendapatkan satu raka’at yang sempurna, jika raka’atnya tidak sempurna maka tidak bisa dikatakan mendapatkan shalat dan takbiratul ihram, tidak bisa disamakan dengan satu rekaat yang sempurna.
Adapun hadits “siapa yang mendapatkan satu sujud” maksudnya tersebut adalah satu raka’at yang sempurna kalimat tersebut mengandung majaz menyebutkan sebagian tapi dimaksudkan keseluruhan. Terkadang satu waktu Rasulullah mengucapkan, “siapa yang mendapatkan rakaat” dan terkadang, “siapa yang mendapatkan satu sujud” dan maksudnya adalah sama yaitu satu raka’at yang sempurna. Ibnu Mas’ud berkata,
حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا
“Yang aku ingat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dua sujud sebelum zhuhur dan sesudahnya.”
Maksud dari dua sujud adalah dua raka’at. Wallahu a’lam.
Orang yang mendapatkan sebagian waktu shalat kemudian ia mendapat uzur. (Lihat Al-Sailu Al-Jarar (1/188)
Jika seseorang dikenai suatu udzur (setelah masuk waktu shalatnya) seperti, gila, pingsan, haid, nifas dan sebagainya maka hal ini ada dua keadaan:
Apabila waktu shalat yang telah lewat tidak bisa digunakan untuk melaksanankan satu raka’at yang sempurna, maka tidak wajib baginya mengqadha’ setelah hilangnya uzur.
Apabila waktu shalat yang telah lewat bisa digunakan melaksanakan satu raka’at yang sempurna, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama telah dijelaskan dalam bab-bab “haid”, (Syarhu Muslim an-Nawawi (2/988 – Qol’aji) sedangkan pilihan Syaikh Islam, tidak wajib baginya mengqadha’ karena dia dikenai uzur pada waktu berlakunya shalat yang boleh mengakhirkan waktunya dan dia bukan orang yang lalai ataupun menyengaja. Tidak adanya riwayat yang menjelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah wanita yang haid mengqadha’ shalat dengan pertimbangan banyaknya masa-masa haid. Pendapat ini kuat namun ada baiknya tetap mengqadha’nya untuk berhati-hati. Wallahu a’lam.
Kapan Boleh Mengakhirkan Shalat?
Kali ini kita masuk pada pembahasan inti Kapan Boleh Mengakhirkan Shalat? Atau halangan-halangan apa saja yang membolehkan mengakhirkan waktu shalat?
a–b. Tidur dan lupa, siapa yang tertidur dari shalat atau terlupa sampai keluar dari waktu shalat, maka dia dimaklumi. Wajib baginya melaksanakan shalat tersebut ketika dia terbangun dari tidurnya atau mengingatnya. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhumengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Siapa yang lupa mengerjakan shalat, maka shalatlah ketika mengingatnya, tidak ada penebusan bagi shalat kecuali shalat itu sendiri”. [Al-Majmu’ (3/76). Hasyiyah al-Dasuqy (1/200), al-Asbah wa al-Nadha’ir (208)]
Rasulullah dan para sahabat pernah tertidur dalam suatu perjalanan, mereka terbangun setelah matahari terbit. Rasulullah kemudian bersabda,
ليس في نوم تفريط، انما التفريط على من لم يصل الصلاة حتي يجئ وقت الصلاة الأخرى، فمن فعل ذلك فليصلها حين ينتبه لها، فاذا كان من الغد فليصلها عند وقتها . . . )
“Tidur bukanlah suatu kelalaian, tetapi kelalaian adalah seseorang yang tidak mengerjakan shalat sampai tiba waktu shalat yang lain. Maka siapa yangtertidur, shalatlah tatkala dia terbangun. Apabila mengingatnya besok hari, maka shalatlah pada waktunya”
Melaksanakan shalat ketika terbangun atau mengingatnya berarti telah melaksanakan shalat pada waktunya (ada’) dan bukan qodho’, karena ia tidak ada waktu lain selain waktu itu.
Catatan penting: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu:
فاذا كان من الغد فليصلها عند وقتها
“Apabila ia pada keesokan harinya maka hendaklah ia laksanakan pada waktunya”
Ulama berselisih pendapat dalam maknanya, namun yang paling shahih adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi yaitu, jika seseorang telah melewatkan shalat maka dia mengqhada’nya dan tidak merubah dari waktunya, hanya mengerjakannya pada waktu yang akan datang, akan tetapi masih pada waktu yang sama. Apabila sadar pada esok hari, maka laksanakanlah shalat pada waktunya, maknanya bukanlah mengqadha shalat yang telah dilewatkan sebanyak dua kali, sekali pada waktu itu, sekali pada esok hari.
c. Terpaksa, siapa yang terpaksa meninggalkan shalat, atau tidak dapat melakukan gerakan shalat, atau terpaksanya seseorang memakai sesuatu yang membatalkan shalat, maka dia dimaklumi[4] ( hendaknya mengqadha’ tatkala hilang halangannya). Adapun jika tercegah gerak tubuh hanya pada kepala, maka diwajibkan shalat tepat waktu dan pendapat yang shahih menjelaskan tidak diwajibkan untuk mengulangi shalat. Wallahu a’lam
d. Menjama’ dua shalat bagi orang yang boleh melakukannya, orang yang melakukan jama’ ta’khir maka seseorang tersebut melaksanakan shalat yang awal pada waktu yang kedua. Pada hakikatnya tidak dikatakan dia mengakhirkan waktu shalat dari waktunya, hanya dalam penggambaran saja. Kedua shalat yang dijama’ tersebut hakikatnya adalah satu waktu. Akandijelaskan nanti mengenai hukum menjama’ dua shalat. insya Allah.
e. Sangat ketakutan, tidak bisa melaksanakan shalat dengan khusu’ dan sebagaimana mestinya. Tidak berdosa ia meninggalkan shalat sampai waktunya habis (pendapat salah satu ulama). Karena, jika ia shalat pada waktu itu juga, dia tidak tahu apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan apalagi ketika sengitnya peperangan. Nabi mengakhirkan shalat ashar pada saat Perang Khandaq sampai terbenamnya matahari. Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu,
“Rasulullah ikut peperangan yang sengit pada pagi buta, maka mereka (para sahabat) belum shalat sampai setelah munculnya matahari” (HR Al-Bukhori :598)