Fatwapedia.com – Ibn Khaldun sang ilmuan orisinil yang melahirkan ilmu (science) baru (pada zamannya) yang disebut dengan Ilm al-Umran al-Basyari (Ilmu Peradaban Bangsa) merupakan ilmuan yang memiliki martabat yang agung, bahkan bagi kalangan sarjana Barat. Von Hammer-Purgstall misalnya menyebut Ibn Khaldun sebagai “Montesquieu dari Arab”, demikian juga ilmuan Jerman dan Belanda yang bernama von Kramer dan de Boer menjulukinya sebagai “Sang Sejarawan Peradaban”.
Di kalangan para ilmuan kontemporer yang meneliti tentang Ibn Khaldun dan karyanya diantaranya Arnold Toynbee, Franz Rosenthal, Muhammad Abdullah Enan, Muhsin Mahdi, Aziz Ahmeh, dan Zaid Ahmad. Ibn Khaldun begitu dikenal di dunia Timur dan Barat, bahkan karya seminalnya yang monumental yaitu al-Muqaddimah (The Prolegomena) sebagai bentuk pengakuan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti bahasa Inggris, Perancis, Portugis, Belanda, Latin, Jerman, Italia, Malaysia, Indonesia, dan bahasa lainnya.
Sejarawan Inggris Arnold J. Toynbee pernah memuji kualitas nalar (mind) dari Ibn Khaldun: “Dia (Ibn Khaldun) telah menerima dan memformulasikan filsafat sejarah yang tak diragukan lagi merupakan karya yang paling agung dari jenisnya melebihi yang pernah dihasilkan oleh nalar apapun di berbagai waktu dan tempat”. Dimana menurut Prof. Mahmoud Dhaouadi seorang guru besar departemen sosiologi di Universitas Tunis, Tunisia, bahwa sosok Ibn Khaldun merupakan perwujudan hidup dari seorang ilmuan yang memiliki nalar muslim (muslim mind).
Nalar muslim adalah cara berpikir seorang muslim yang terbentuk dari cara pandang atas dunia yang diproyeksikan oleh al-Qur’an. Cara pandang ini didasarkan pada basis ontologis bahwa realitas itu luas dan berlapis, baik berupa material maupun spiritual, dunia maupun akhirat, serta imanen maupun transenden. Basis epistemologis bahwa sumber ilmu dan pengetahuan tidak hanya terbatas pada obyek sensasional (sensible world), namun juga obyek rasional (inteligible world) hingga obyek suprarasional (spiritual world). Secara aksiologis bahwa nilai baik dan buruk, mulia dan hina, serta maslahat dan mafsadat didasarkan pada ketentuan Syariat baik secara langsung (ashlan) maupun tidak langsung (instinbathan).
Mengenai hal ini Dr. Ibrahim Kalin menjelaskan bahwa cara menalar yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak terdiri dari fakta-fakta yang tersusun, tidak pula perintah dan larangan yang disebutkan satu per satu. Namun, cara berpikir yang dilakukan adalah secara menyeluruh yang memerlukan latar belakang perjalanan intelektual, moral, dan spiritual secara bersamaan. Model berpikir ini melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, dan menolak adanya dualitas sebagaimana perasaan lawannya rasional, material lawannya spiritual, individual lawannya semesta universal, natural lawannya kultural, dan seterusnya.
Cara berpikir yang terintegrasi yang dimiliki al-Qur’an dengan metodenya yang unik merefleksikan hakekat daripada realitas yang saling bergantung, dan berlapis-lapis. Suatu realitas tidak dianggap sebagai fragmen terpisah yang tidak saling terhubung dan tidak terjalin yang berimplikasi pada keterpisahan dan keterbelahan epistemologis (epistemological distinguishability) dalam memahami realitas. Al-Qur’an mendorong untuk melihat keterhubungan segala sesuatu, dan bagaimana satu hal mengarah pada yang lain dengan rantai realitas yang beruntun. Demikian nalar seorang muslim.
Cara bernalar dalam Islam itu sejatinya terunifikasi, sebab ia didasarkan pada konsep Tauhid. Tauhid merupakan sentral dari segala dimensi kehidupan Islam, ia tidak hanya berkenaan dengan pengesaan Tuhan dalam teologi, namun juga pada cara pandang, penggunaan logika, memahami realitas, dan sebagainya didasarkan pada konsep kesatuan. Islam tidak mengenal dikotomi atau pemisahan antara aspek internal (batin) dan eksternal (lahir), rasional dan intuisi, material dan spiritual, rasional dan moral, ilmu dan amal, sakral dan profan, esoteris dan eksoteris, idealitas dan realitas, serta dunia dan akhirat. Metode integratif ini menurut istilah Syed Naquib al-Attas adalah Tauhid Method of Knowledge.
Berdasarkan kesimpulan Prof. Mahmoud Dhoaoudi setelah menjelaskan biografi dan otobiografi dari Ibn Khaldun, bahwa ia merupakan sosok yang memiliki nalar muslim, bahwa latar belakang keilmuan dan pendidikannya sangat murni Islami. Berkenaan perhatian tinggi Ibn Khaldun pada agama, H.R. Gibb menyatakan bahwa bagi Ibn Khaldun agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Bahkan dalam pengembangan ilmu, khususnya tentang Ilmu al-‘Umran al-Basyari, Ibn Khaldun sangat mendasarkannya pada agama, serta mengklaim telah menafikan pengaruh asing padanya. Nalar Ibn Khaldun ini menurut Prof. Mahmoud Dhouaoudi termanifestasi pada cara pandang “kognisi ‘aql-naql”. Unifikasi epistemologis ini bahkan dipuji oleh Wallerstein yang tertuang dalam karyanya al-Muqaddimah.
Muhammad Abdullah Enan seorang biografer Ibn Khaldun menjelaskan bahwa Ibn Khaldun sebagai sosok yang bernalar muslim memiliki pengetahuan transdisipliner, yakni pada tiga wilayah utama yang membuatnya menjadi seorang ilmuan dengan pengetahuan universal. Pertama, studi Islam berupa ilmu al-Qur’an, ilmu Hadis, dan Fikih. Kedua, ilmu tentang bahasa Arab, seperti Nahwu (Grammar), Sharf (Syntax), dan Balaghah (seni retorika). Ketiga, ilmu logika, filsafat, ilmu alam (natural sciences), dan matematika. Ketiga wilayah utama ini tidak dipahami dan digunakan secara terpisah dan berdiri sendiri, namun saling berhubungan untuk menguak fenomena-fenomena pada realitas.
Nalar muslim yang menyatupadukan ilmu akali dan nakali secara harmonis menurut Prof. Dhouaoudi dianggap ganjil oleh nalar Barat (Western mind), dimana sisi ‘”aql” dari nalar Ibn Khaldun dikagumi oleh kalangan Barat, namun pada saat bersamaan menafikan dan mengkiritiknya karena menggunakan sisi “naql”. Nalar Barat modern melihat secara curiga, ragu, bahkan sikap memusuhi pada ilmu yang diwarnai oleh agama. Hal ini tentu sudah maklum, bahwa bangsa Barat telah “menghapus” Tuhan (dan agama) dalam diskursus ilmu pengetahuan modern.
Sebaliknya, bagi Ibn Khaldun, Tuhan merupakan sentral dalam suatu pencarian ilmu (knowledge inquiry), sebab Tuhan merupakan puncak realitas yang harus digapai oleh para pencari dan peneliti. Bahkan beliau melarang para peneliti untuk berhenti hanya pada sebab (Asbab) itu sendiri, bukan yang menyebabkan secara hakiki (Musabbib al-Asbab). Kenyataannya nalar seorang beriman selalu menyandarkan setiap fenomena pada sesuatu yang dianggap sebagai Realitas yang paling tinggi (al-Haqq).
Ibn Khaldun dalam karya akidahnya yang berjudul Lubab al-Muhashshil fi Ushul al-Din mencontohkan orang yang hanya berhenti pada sebab, yakni berhenti sekedar pada fenomena-fenomena empiris, tanpa terus mencari “noumena” di baliknya, hal ini menurutnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah sebab ia memang kontra produktif bagi konsep Tauhid. Sebagaimana seorang ilmuan (saintis) yang meneliti fenomena alam atau fenomena sosial hanya sebatas fenomena itu sendiri, tanpa mencari makna yang lebih dalam di balik kewujudan fenomena tersebut. Orang seperti ini menurut Ibn Khaldun adalah orang yang tersesat dan binasa.
Berdasarkan padangan Islam, nalar yang terunifikasi antara ‘aql-naql merupakan nalar ideal untuk menggapai pengetahuan secara lebih lengkap. Karya al-Muqaddimah Ibn Khaldun merupakan manifestasi terbaik dari nalar ‘Umran yang menggabungkan ‘aql-naql itu. Ibn Khaldun sebagai ulama yang memiliki nalar muslim (muslim mind) telah menghasilkan ilmu orisinil yang agung, yang bahkan disebut sebagai gebrakan dalam ilmu tersebut, dimana nalar ini menurut Prof. Dhouaoudi dapat dianggap sebagai perwujudan konsep baru bagi gerakan Islamisasi ilmu. Wallahu a’lam.
Oleh: Shadiq Sandimula