Fatwapedia.com – Syeikh Ali Jum’ah pernah bercerita, dahulu ketika Syeikh Ahmad Thoyyib (Grand Syeikh Azhar sekarang) masih menjabat sebagai mufti Mesir, beliau yang menunjuk Syeikh ‘Imad ‘Iffat untuk bekerja di Dar al Ifta’ dan beliau sendirilah yang menguji Syeikh Imad saat itu, Syeikh Ahmad Thoyyib menguji beliau dengan mengajukan beberapa persoalan dan masalah, kemudian Syiekh Imad Iffat menjawab persoalan-persoalan itu dengan gamblang -bitaufiqillah-.
Kemudian beranjak ke sesi selanjutnya, Syeikh Ahmad Thoyyib menyodorkan beberapa ‘ibarot/teks dari kitab Hasyiah ibni ‘Abidin dan berkata, “baca dan tafsirkan”, Syeikh Imad kemudian membaca ibarot tersebut dan ternyata beliau tidak memahami maksud dari teks Hasyiah itu, kemudian ia dengan penuh kejujuran dan ketakwaan mengatakan kepada Syeikh Ahmad Thoyyib,
“لم أدرك شيئا، لم أفهم هذه العبارة”
“Saya tidak memahami teks ini”,
Setelah mendengar ini lantas Syeikh Ahmad Thoyyib mengatakan, “engkau bersama kami (engkau diterima sebagai salah satu anggota di Dar al Ifta’)”, amanah keilmuan yg nampak dari Syeikh Imad menyebabkan Syeikh Ahmad Thoyyib mengatakan, “engkaulah yang akan banyak memberi manfaat kepada kami, kami mau orang yang tidak mencampur adukkan ketika ia tidak tahu kemudian mengatakan saya tau”.
Setelah bercerita demikian, Syeikh Ali Jum’ah mengatakan,
أول خطوة لطالب العلم أن يقول : “لا أفهم” إذا لم يفهم، و “لا أعلم” إذا لم يعلم.
“Langkah pertama bagi penuntut ilmu adalah dengan mengatakan, “saya tidak tahu” jika ia memang belum tahu”.
Karena memang, seorang ‘alim itu tidak mesti mengetahui seluruh Ilmu pada semua bidang, dibalik lautan pengetahuannya, pasti ada beberapa persoalan yang ia belum mengetahuinya. Dan itu pasti.
Kemudian Syeikh Ali Jum’ah mengakhiri cerita tersebut dengan mengatakan, “ini adalah pelajaran penting, memang inilah yang diajarkan oleh ulama-ulama kita kepada penuntut-penuntut ilmu”. Wallahi ini adab. Demi Allah, ini penting.
Video lengkapnya bisa dilihat di sini: https://www.facebook.com/105790091131552/videos/282821799584740/?app=fbl
Saya (penulis) jadi teringat dengan Syeikh Musthofa Abdun Nabi (pengarang Mu’nisul Jalis syarah Al Yaqut an Nafis), ketika dahulu sempat mulazamah dengan beliau, kebiasaan beliau setelah menjelaskan dars, beliau sebisanya menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masuk melalui tulisan, pertanyaan yang masuk kadang seputar pelajaran dan terkadang diluar tema, beliau menjawab dengan tenang dan tidak sekali menyertakan kitab-kitab rujukan dari jawaban-jawaban beliau, tapi dari beberapa jawaban beliau ada yang membuat saya sangat terkesan, beliau tidak jarang mengatakan,
“و الله أعلم، دعني أراجع”
“Wallahu a’lam. Biarkan aku muroja’ah kembali masalah ini”
Hatiku terasa tertampar, sekelas beliau saja masih sangat tidak malu mengatakan “saya tidak tahu”. Beliau tak terhalangi sedikit pun dari ‘merasa sudah alim’ dan ‘merasa sudah mengarang kitab’ untuk mengatakan saya tidak tahu. Beliau tak menghiraukan se-senti pun penilaian orang kepada beliau entah baik atau buruk, karena beliau tahu, jawaban beliau terhadap suatu masalah agama jauh lebih besar daripada harga diri beliau. Dan sungguh itu tidak menghilangkan sedikit pun dari martabat seseorang. Ini menunjukkan akan ketawaddhuan dan keikhlasan amal. Orang-orang yg biasanya malu untuk mengatakan tidak tahu sangat berpotensi menerbitkan penyakit-penyakit hati seperti hubbul manzilah bainan nas.
Pelajarannya
Pengakuan ‘laa adrii’ ini sangat banyak kita temukan dalam khazanah intelektual Islam. Kaum muslimin, lebih-lebih penuntut ilmu harus selalu membawa perisai ‘la adrii’ ini. Karena kejujuran intelektual adalah salah satu kunci keberhasilan penuntut ilmu. Ketika kita keliru, itu sangat wajar, namanya juga manusia kan?.
Mungkin bagi sebagian orang masih tabu menjawab “saya tidak tahu” ketika ditanya. Namun, jika memang tidak tahu mengapa harus memaksakan diri menjawab?, ini yang banyak terjadi. Selain itu juga, bila pertanyaan yang diajukan itu bukan di bidang kita, sebaiknya juga untuk tidak menjawab meski tahu, sebab orang pun tahu bahwa pengetahuan kita tentang itu tidak ada atau minim.
Tapi dari sini kita tidak mau berpangku tangan dengan jawaban “wallahu a’lam”. Jangan sampai dengan itu kita tidak meningkatkan lagi semangat belajar kita. Bahkan dari jawaban ‘laa adrii’ ini kita jadikan pemantik semangat. Agar semakin tidak mudah bosan, dan tidak mudah mengeluh dalam belajar. Masa penuntut ilmu ketika ditanya hal-hal dasar seperti “apa bedanya najis dengan hadats?, apa bedanya sanad, matan dan rowi?, apa perbedaan antara hal dengan tamyiz?, apa itu naqish, mitsal, dan ajwaf?, dan apa bedanya sifat ma’ani dan ma’nawiyyah dari sifat wajib bagi Allah?”, Jawabnya, “wallahu a’alam”. Kan maluu. Semoga bermanfaat.
Penulis: Amru Hamdany