Nasionalisme, Mau Dibawa Kemana?

Nasionalisme, Mau Dibawa Kemana?

Fatwapedia.com – Di awal abad ke 20, Saat KH Abdul Wahab Chasbullah mempopulerkan lagu perjuangan;

يَا لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن يَا لَلْوَطَن

حُبُّ الْوَطَن مِنَ الْإِيْمَان

وَلَا تَكُنْ مِنَ الْحِرْمَان

اِنْهَضُوْا أَهْلَ الْوَطَن

untuk menyemayamkan rasa cinta tanah air dan nasionalisme di dada para santri dan pemuda Indonesia, diwaktu yang hampir bersamaan Hasan Al-Banna muda dan para pemuda Mesir turun ke jalan meneriakkan yel-yel:

حب الأوطان من الإيمان

و روح الله تنادينا

إن لم يجمعنا الاستقلال

ففي الفردوس تلاقينا.

sebagaimana yang beliau ceritakan dalam ‘Mudzakkirah Ad-Da’wah wa Ad-Da’iyah’.

Dan jauh sebelum KH Abdul Wahab Chasbullah dan Hasan Al-Banna meluapkan kecintaannya kepada tanah air, empat belas abad yang lalu Rasulullah Saw dan para sahabat lain yang terusir dan hijrah ke Madinah juga telah mengungkapkan rasa cintanya terhadap Makkah dengan syair-syair kerinduan dan doa sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadis sahih. 

Sejatinya, cinta kepada tanah air adalah fitrah, terlepas apakah seseorang itu muslim atau bukan. Dalam islam sendiri, cinta tanah air adalah suatu hal yang disyari’atkan sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam Fathul Bari-nya ketika mengomentari hadis;

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila pulang dari safarnya lalu melihat dinding-dinding kota Madinah sudah dekat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercepat perjalanannya, apabila berada diatas tunggangan maka Beliau segera memacunya, dikarenakan kecintaan Beliau terhadap kota Madinah.”

Yang jadi persoalan kemudian adalah sejauh mana sahnya hadis ‘Hubbul Wathon Minal Iman’. Banyak ulama yang memvonis hadis tersebut palsu. Bahkan Syeikh Muhammad Hasan Walad Ad-Dedew mengatakan bahwa hadis tersebut tidak sah dari segi makna karena cinta tanah air terkadang bisa sangat kontradiksi dengan keimanan. Sebagaimana yang terjadi dengan para pemuda yang enggan hijrah ke Madinah karena cinta mereka terhadap Makkah lalu meninggal dalam perang Badar di pihak kaum musyrikin. Dimana terhadap merekalah ayat 97 dari surat An-Nisa’ diturunkan:

{Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali..}

Nasionalisme dan cinta tanah air meskipun punya perbedaan seringkali dianggap sama karena memang antara satu dan lainnya punya kaitan yang cukup erat. Jika islam menganggap bahwa cinta tanah air adalah sebuah naluri yang wajar dan disyariatkan, harusnya cinta tanah air dan nasionalisme tidaklah relevan untuk dibenturkan dengan islam. Namun realitanya kita melihat dan membaca bagaimana kemudian cinta tanah air dan nasionalisme dipraktekkan dengan serampangan hingga terkesan kontra dengan prinsip-prinsip islam.

Tahun 1938, saat mujahidin Palestina dibawah komando Syeikh Izzuddin Al-Qassam melakukan perlawanan bersenjata melawan pendudukan Yahudi dan Inggris, Perdana Menteri Mesir saat itu yang sedang melawat ke Perancis ditanya oleh wartawan asing bagaimana pendapatnya tentang hal tersebut. PM menjawab: “Saya adalah PM Mesir, bukan PM Palestina.” 

Sontak, jawaban itu dikecam banyak pihak, gelombang demonstrasi turun ke jalan-jalan Mesir memprotes jawaban yang dianggap tidak peka dengan nasib saudara seakidah di Palestina.

“Kalau kita lapar itu biasa

Kalau kita malu itu djuga biasa

Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!

Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu…”

Kalimat diatas adalah penggalan pidato Soekarno yang terkenal ketika mengajak untuk menggayang Malaysia yang tidak lain adalah saudara kita seakidah. Tak ada yang meragukan betapa Nasionalisnya Bung Karno. Tapi apakah islam membenarkan sikap merendahkan sesama muslim atau bahkan menumpahkan darahnya atas klaim nasionalisme dan membela tanah air? Ataukah sikap berlebihan kita yang kita klaim sebagai nasionalisme sebenarnya dalam pandangan islam hanyalah fanatik buta atau hamiyatul jahiliyah? Apa yang salah dengan Nasionalisme kita?

Semua pertanyaan diatas membutuhkan jawaban yang detail agar tidak ada lagi pengibaran bendera Bintang Kejora dan bendera-bendera lainnya di Republik ini atas nama nasionalisme yang pada hakikatnya hanyalah sebatas fanatisme jahiliyah, agar tak ada lagi puisi-puisi seperti puisi ‘Ibu Indonesia’ yang mengklaim cinta Indonesia namun membenturkannya dengan syariat dan agama, agar tak ada lagi klaim sebagian kelompok tertentu bahwa: “kami adalah para nasionalis pancasilais sejati dan kalian hanyalah orang-orang radikal dari ormas-ormas transnasional yang mengancam keutuhan NKRI”, agar semangat legislasi fiqih islam (misalnya oleh rakyat Aceh yang telah berjasa menjaga keutuhan NKRI) tidak lagi dituduh radikalis dan anti NKRI sehingga menyulut kembali fanatisme kesukuan untuk berpisah dengan NKRI.

Jika nasionalisme adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan dan mempertahankan  kemerdekannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya untuk mengisi kemerdekaan dengan kebangkitan, kesejahteraan bersama atas dasar  nilai-nilai luhur maka betapa kita sangat setuju dengan Nasionalisme, dan sejatinya tokoh-tokoh islamis seperti Daud Beureueh, Natsir, Syarifuddin Prawiranegara dan lain-lain adalah para nasionalis yang telah berjuang mengupayakan dan mempertahankan kemerdekaan NKRI.

Jika nasionalisme adalah memperkuat ikatan antar anggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka alangkah baiknya seruan nasionalisme. Karena Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi saw bersabda: “Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara…”

Adapun jika nasionalisme adalah penolakan terhadap nilai-nilai keislaman, anti kepada setiap apa yang berbau Arab, fanatisme kebangsaan dan  kesukuan serta bersikap masa bodoh dengan penderitaan saudara seiman diluar batas geografis negara maka jangan-jangan ada yang salah dengan cara kita memahami nasionalisme dan agama.

Dr. Usamah Sayyid Al-Azhari dalam Al-Haqqul Mubinnya menjelaskan bahwa loyalitas dan kecintaan adalah seperti lingkaran-lingkaran dimana sebagiannya lebih besar dari yang lain. Lingkaran besar tidak meniadakan lingkaran kecil karena lingkaran kecil masuk dalam lingkaran besar. Loyalitas dan kecintaan kita kepada bangsa dan negara tidaklah dan tidak boleh menafikan loyalitas kita kepada lingkaran yang lebih besar yaitu agama. Pada akhirnya kita semua harus mengakui bahwa loyalitas dan cinta  kepada bangsa dan tanah air terkadang bisa berkurang, menghilang atau bahkan bertambah sampai menjadi fanatisme jahiliyah yang justeru bertentangan dengan semangat persatuan. Karena itu islam datang dengan prinsip-prinsipnya yang matang dari Tuhan semesta alam demi kemaslahatan umat manusia. Wallahualam bishsawab.

Oleh: Taufik Yusuf Njong

Leave a Comment