Fatwapedia.com – Dalam khazanah Islam, sejarah perdebatan yang disebabkan perbedaan pendapat memperoleh perhatian serius dari para Ulama’ Jidal atau debat, sudah sejak lama dipraktikkan, terutama di lingkaran istana, institusi pendidikan, majlis ilmiah, bahkan di khalayak umum sebagai pertunjukan.
Pada masa lalu, seorang ulama baru diakui sebagai ulama. bila dirinya sukses melewati salah satu dari dua syarat. Pertama, dia mendapat lisensi (ijazah) dari gurunya yang juga seorang ulama. Kedua, jika dia telah diuji dalam perdebatan oleh ulama lain.
Masyhur diketahui, Imam al-Bukhari (lahir 196 H/810 M – wafat 256 H/870 M), ketika tiba di Baghdad, dia diuji oleh 10 orang ulama dengan 10 pertanyaan. Al-Bukhari, yang kemudian terkenal dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam Ilmu Hadits) menjalani tantangan validasi 100 hadits dengan sanad yang sengaja dibuat kacau (idhtirab).
Imam al-Syafi’i (w 820), seorang ulama besar yang ahli berdebat. Ia mengumpulkan perbedaan pendapat antara dirinya dan al-Syaibani (w 805) dan ulama lainnya dalam Kitab al-Umm. Sampai-sampai Harun bin Sa’id berkata : “Sekiranya Syafi’i berdebat untuk mempertahankan pendapat, bahwa tiang yang aslinya terbuat dari besi adalah terbuat dari kayu, niscaya dia akan menang, karena kepiawaiannya dalam berdebat”.
Qadi Abu Yusuf (w 798), murid Imam Abu Hanifah (w 767), juga mengumpulkan perbedaan pendapat antara gurunya dan ulama lain yang bernama Ibn Abi Layla dalam buku Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Layla.
Di kemudian hari kaum pergerakan di negeri ini sudah sering melakukan perdebatan secara terbuka, yang melibatkan tokoh-tokoh Islam dan komunis. Kala itu, mencari lawan debat bukan sesuatu yang tabu.
Tersebutlah, di tahun 1914, salah seorang pengurus Sarekat Islam Surakarta yang berhaluan komunis, Mas Marco Kartodikromo namanya, berani menantang Ketua Centraal Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto untuk berdebat di lapangan terbuka di Surakarta. Tapi sayang, izin mobilisasi umum dari penguasa kolonial tidak diberikan.
Kultur debat, secara historis diwarisi oleh generasi berikutnya, terutama antara kubu komunis dan Islam. Tahun 1956-1957, terjadi perdebatan sengit antara kubu Islam dan Komunis di Dewan Konstituante menyangkut dasar negara RI.
Fraksi PKI via Njoto ngotot, sila pertama mestilah memasukkan, “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup”. Menurutnya, itu paling cocok dengan keyakinan hidup politeisme yang masih hidup dan dianut masyarakat di Nusantara.
Kasman Singodimedjo dari Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), kemudian menyampaikan pidato tentang dasar negara, langsung menolak usulan Njoto. Tanpa tedeng aling-aling, Kasman membantah argumentasi tokoh PKI tersebut.
“Sepintas lalu telah terbukti bahwa justru logika Saudara Njoto itulah yang tidak logis. Feelingnya tidak begitu halus, hal itu disebabkan karena tentunya pandangan hidupnya lain sekali dengan falsafah hidup saya,” kata Mr Kasman.
Masjumi dan PKI dihuni debater-debater tangguh. Dan, hebatnya lagi, masing-masing kubu ini terus memproduksi maestro-maestro debatnya, Dari kalangan Islam lahir sosoksosok semacam Agus Salim, Kasman Singodimedjo, dan Isa Anshary. Dari komunis muncul orang-orang seperti Musso, Njoto, dan Sakirman.
Perdebatan yang paling spektakuler di kalangan Muslim Indonesia, terjadi pada hari Senin tanggal 25 Juli 1932 di Kawedanan Cileduk, Cirebon, antara pendiri NU KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan Al-Ustadz Ahmad Hassan, pendiri Persatuan Islam (Persis). Tema debat tentang “Wajib Taklid”.
KH. Abdul Wahab tampil lebih dulu memaparkan pendapatnya tentang “wajibnya taklid”. Lalu kemudian Tuan A. Hassan tampil ke atas mimbar memaparkan pendapatnya tentang “haramnya taglid”. Keduanya saling memberikan hujjah. Setelah itu saling mengucapkan terimakasih.
Tak ada caci maki, tak perlu ada ‘teror’ dengan cara aksi massa turun ke jalan menuntut diusirnya satu kelompok oleh kelompok lain. Al-hujjah bil hujjah, ad-dalil bid dalil. lawan hujjah dengan hujjah, lawan dalil dengan dalil. Setelah itu berlapang dadalah dengan perbedaan.
Perdebatan lain seputar eksistensi Tuhan, berlangsung antara Al-Ustadz Ahmad Hassan dengan Ahsan, penulis pada surat kabar Suara Rakyat, Surabaya. Perdebatan digelar selama dua hari, tanggal 2 – 3 September 1955 bertempat di gedung Al-Irsyad, Surabaya. Ustadz Hassan meyakini adanya Tuhan, sedang Ahsan mengingkarinya. Di akhir perdebatan, argumentasi Ahsan mentok dan akhirnya percaya adanya Tuhan.
Pada dasawarsa 80-an, terjadi perdebatan antara Muhammad Thalib, murid Abdul Oadir Hassan (putra A. Hassan) dengan Dawam Raharjo dan Syafii Maarif tentang Tafsir Our’an ala Indonesia. Perdebatan berlangsung di ruang seminar yang di selenggarakan Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta. Selain itu, debat juga pernah terjadi antara Muhammad Thalib dengan Nurchalis Madjid, kemudian dengan M. Amin Rais, tentang Zakat Profesi.
Debat paling gres tentang khilafah, berlangsung di ruang sidang gugatan ormas HTI (Hibut Tahrir Indonesia) di PTUN, Jakarta, 15 Maret 2018. Jubir HTI Ismail Yusanto bertanya kepada saksi ahli dari PBNU Ahmad Ishomuddin.
“Menurut saudara ahli menegakkan khilafah itu hanya ilusi, tetapi mengapa anda menyatakan bahwa HTI menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI?” tanya Ismail.
Ahmad Ishomuddin membalas pertanyaan itu dengan balik bertanya, “Jadi apakah menurut saudara upaya menegakkan khilafah Islamiyah di NKRI bukan ilusi?”
Sebagai penggugat, Ismail Yusanto langsung menjawab : “Bagi kami itu bukan ilusi, HTI akan tetap berjuang mendirikan khilafah!”
“Nah…itu lah bukti HTI mengancam keutuhan NKRI,” jawab Ishomuddin.
Dari peristiwa debat ini kemudian kita paham, bahwa debat yang bermutu membutuhkan ilmu, keahlian, seni berpikir, dan yang terpenting punya otak cerdas.
Di zaman now, debat perlu dihidupkan lagi sebagaimana para tokoh dahulu berdebat. Tradisi meluruskan kekeliruan dan kesesatan berfikir melalui debat publik harus digalakkan. Siapapun yang merasa dirinya benar tentang sebuah persoalan, baik dari kalangan pemerintah, ulama, cendekiawan, aparat keamanan, ia harus gagah berani dan gentle tampil ke gelanggang perdebatan.
Tujuannya sederhana, agar masyarakat tahu, pihak mana yang mengutarakan argumen secara logis dan pihak mana yang hanya memaksakan kehendak untuk kepentingan pribadi atau golongan. Agar jelas mana yang keliru dan mana yang benar, mana omongan hoax dan manakah yang bicara berdasarkan ilmu, data dan fakta.
Dan yang penting, debat setidaknya memberikan solusi alternatif untuk membuktikan kebenaran dengan jalan damai, efektif dan argumentatif.
Kehadiran buku ini, dimaksudkan untuk mendudukkan masalah yang selama ini sangat mengacaukan opini umat Islam. Banyak orang yang merasa benar dengan pemikiran-pemikirannya yang menentang Islam, padahal tidak memiliki dasar yang kuat dalam tradisi pemikiran Islam.
Untuk menunjukkan kebodohan dan kesesatan berfikir seseorang, maka cara yang paling tepat dan efektif adalah melalui debat publik. Seperti perdebatan dalam Alqur’an yang terjadi antara Fir’aun dan Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan Namrud, Nabi Muhammad Saw dan dedengkot kaum kafir Quraisy.
Buku ini, yang menyajikan berbagai perdebatan di dalamnya, menjadi bukti bahwa menggunakan debat sebagai metode melawan kesesatan berfikir ternyata manjur. Sangat mudah membuktikan kesalahan lawan debat, tanpa menimbulkan dendam atau permusuhan. Masyarakat pembaca juga bisa dengan mudah mengetahui kelemahan dan kesalahan mereka yang mengemukakan fikiran sesatnya yang menyerang Islam.
Berbagai fenomena, serangan pemikiran yang dilontarkan oleh kaum salibis, komunis, syiah kepada Islam dan kaum muslimin. Tidak terkecuali kaum radikal, liberal, inus, dan Islamofobia, mengacak-acak pemikiran Islam secara membabibuta. Dalam hal inilah dirasakan urgensi dan peran strategis terbitnya buku HUMOR DEBAT, meretas salah fikir radikalisme, liberalisme, salibisme, komunisme, syiah ini. Semoga manfaat.