Fatwapedia.com – Dulu, saat kami masih menimba ilmu di Darul Hadits, Dammaj, Yaman, ada seorang syaikh (pangajar) kami yang memiliki pendapat bahwa asmaul husna (nama-nama Allah yang baik) terbatas hanya sembilan puluh sembilan nama saja. Beliau mendasarkan pendapatnya dengan sebuah hadits yang datang dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu-, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ»
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilah puluh sembilan nama, kecuali satu. Barang siapa yang menghitungnya (maksudnya: menghafalnya) maka dia akan masuk Surga.” [H.R. Al-Bukhari : 2736 dan Muslim: 6].
Dalam pemahamannya, beliau mengikuti pendapat Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi -rahimahullah-. Dalam sekejap, pemahaman beliau ini jadi bahan ‘gunjingan’ di antara para penuntut ilmu di sana, bahkan para masyaikh. Beliau telah dianggap ‘ada sesuatu’ yang layak untuk diwaspadai. Sebagaian syaikh pun sempat melemparkan sindiran beberapa kali untuk beliau.
Saat banyak pihak yang telah menyikapi beliau seperti ini, Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni Al-Yamani –rahimahullah- memiliki sikap yang berbeda dalam masalah ini. Dari yang kami amati, beliau lebih bijak dan hikmah, seolah tidak ada sesuatu yang layak dipermasalahkan pada diri orang yang memiliki pendapat seperti itu. Walaupun syaikh –rahimahullah- (termasuk kami pribadi) berpendapat bahwa nama-nama Allah tidak terbatas dengan sembilah puluh sembilan, sesuai dengan pendapat jumhur. Hal ini berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
“Aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama yang Engkau telah namakan diri-Mu dengannya, atau telah Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau telah Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau Engkau miliki di dalam ilmu ghaib di sisi-Mu.” [H.R. Ahmad : 3712 dan sanadnya shahih].
Ibnu Hajar –rahimahullah-(wafat 852 H) berkata:
وَحِينَئِذٍ لَا مَفْهُومَ لِهَذَا الْعَدَدِ بَلْ لَهُ أَسْمَاءٌ كَثِيرَةٌ غَيْرُ هَذِهِ
“Dan ketika itu, tidak ada pemahaman (nama-nama Allah hanya terbatas) untuk bilangan ini. Bahkan Dia (Allah) memiliki nama-nama yang sangat banyak selain dari sembilah puluh sembilan ini.” [Fathul Bari 13/378].
Suatu ketika, saat kami menghadiri pelajaran syaikhuna Al-‘Adni –rahimahullah- yang membahas kitab “Ushul Tafsir” karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah-, sempat melewati faidah yang berkaitan dengan masalah ini (asmaul husna). Maka syaikh berkata:
“Dimana saudara kami Syaikh (Fulan)? Apakah beliau hadir bersama kami?” kami ingin mendengar faidah dari beliau.”
Sebagian murid menjawab: “Beliau tidak hadir wahai Syaikh.”
Beliau menjawab: “Thayyib, tidak mengapa insya Allah.”
Kami sempat tertegun, bagaimana beliau masih memperlakukan seorang yang telah ‘dianggap memiliki sesuatu’ oleh banyak pihak waktu itu dengan perlakuan yang begitu baik, penuh dengan pemulian, serta penuh rasa hikmah dan kelapangan dada. Bahkan beliau ingin mendengar faidah darinya dalam bab yang dipermasalahkan oleh sebagian pihak. Membutuhkan waktu cukup lama bagi kami untuk mencerna, apa ilmu dibalik sikap beliau yang agak berbeda dengan kebanyakan orang waktu itu. Padahal, ini kan menyangkut masalah aqidah, demikian kata hati kami berbicara.
Ternyata, ilmu itu baru kami pecahkan setelah sekian masa, seiring berjalannya waktu dalam menuntut ilmu. Hikmah itu, bahwa “perbedaan dalam aqidah” itu, berbeda dengan “perbedaan dalam masalah perincian aqidah”. “Perbedaan aqidah”, berkonsekwensi keluar dari Islam (kafir), sehingga tidak ada toleransi di dalamnya.
Adapun “perbedaan dalam perincian aqidah”, maka tidak berkonsekwensi kekafiran atau kesesatan, dan tidak dikeluarkan dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Selama perbedaan tersebut memiliki sisi istidlal yang mu’tabar dan memiliki pendahulu dari kalangan ulama’ salaf. Oleh karena itu, masih berlaku sikap untuk saling memberikan toleransi dan pemulian, sebagaimana dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah secara umum.
Dalam istilah syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah-rahimahullah-, disebut dengan “Ushul Muhimmah” (perkara pokok yang penting), dan “Ushul ghairu Muhimmah” (perkara pokok yang kurang penting dilihat dari jenis pertama, bukan tidak penting secara mutlak).Dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah “ushul ghairu muhimmah”, sebagaimana dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ahkam yang berlaku ijtihad di dalamnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata :
فما لم يكن من الأصول المهمة, فهو ملحق بالأحكام
“….Maka, apa saja yang tidak termasuk dari ushul muhimmah (parkara pokok yang penting), maka ia diikutkan kepada masalah hukum-hukum (khilafiyyah ijtihadiyyah dalam menyikapinya).” [Majmu’ Fatawa : 24/174].
Salah satu contoh perbedaan dalam rincian aqidah, perbedaan tentang jumlah nama-nama Allah Ta’ala, apakah terbatas sembilan puluh sembilan, atau tidak terbatas. Maka seorang yang berpendapat bahwa nama-nama Allah terbatas sembilan puluh sembilan, walaupun menyelisihi pendapat jumhur, maka tidak boleh dikeluarkan dari lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, apalagi dikafirkan. Kenapa? karena dia telah beriman kepada Allah sebagai perkara ushul aqidah. Sedangkan jumlah nama-nama Allah, termasuk rincian masalah dari keimanan kepada Allah. Mungkin bisa kita katakan kepadanya “fulan keliru”, atau “fulan menyelisihi pendapat jumhur”, atau yang semisal ini.
Oleh karena itu, sebatas yang kami ketahui, tidak ada ulama’ salaf ahlus sunnah wal jama’ah yang mengkafirkan Imam Ibnu Hazm –rahimahullah- atau minimal mengeluarkannya dari lingkup Ahlus Sunnah, gegara pendapat beliau dalam masalah ini.
Maka, hati-hati dari mengucapkan kepada muslimin: “Fulan beda aqidah dengan kita!”, atau “kelompok itu beda aqidah dengan kita!”, atau yang semisalnya. Jangan-jangan, perbedaannya hanya dalam perincian aqidah, dan bukan dalam masalah aqidah. Karena ucapan itu mengandung makna takfir kepada ahli kiblat.
Demikianlah, pentingnya duduk bersama para guru dalam menuntut ilmu. Selain kita belajar ilmu kepada mereka, kita juga belajar hikmah, adab serta bagaimana mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari. Semoga Allah merahmati syaikhuna fadhil, syaikh Abdurrahman Al-‘Adni, mengampuni segala kesalahan beliau dan memasukkan beliau ke Surga Firdaus. Amin ya Mujibas Sailin.
Oleh : Ust. Abdullah Al Jirani Lc