Pertanyaan: Saya pemudi muslimah. Saya hidup di salah satu negara Eropa dan belajar di sana. Setelah selesai pendidikan, saya mulai mencari pekerjaan, namun tidak dapat, karena syarat bekerja di sana adalah melepaskan hijab, dan saya menolak syarat itu. Sekitar satu bulan kemudian, ayah saya mendapatkan peluang kerja untukku, dan pekerjaan tersebut tidak mensyaratkan melepas hijab, karena itu saya menerima pekerjaan tersebut.
Pekerjaannya adalah, menjaga kesegaran sayuran dan buah-buahan dengan mesin pendingin, dan pekerjaanku adalah memotong sayuran dan membungkusnya. Alhamdulillah, saya memakai seragam yang sesuai tuntunan Islam. Sedangkan rekan-rekan kerjaku adalah orang-orang Eropa, dan saya hanya berinteraksi dengan mereka saat mengucap salam atau jika ada pertanyaan terkait pekerjaan. Tidak ada pembicaraan atau interaksi di luar masalah pekerjaan.
Ketika jam kerja, masing-masing sibuk dengan pekerjaannya, terlebih ada kamera pengawas sehingga karyawan tidak berani macam-macam. Perlu diketahui juga, bahwa di tempat manapun yang kami masuki, bahkan di jalan-jalan, terdapat kamera pengawas. Saya juga tidak suka kumpul-kumpul atau berdekatan dengan rekan-rekan kerjaku. Pimpinan kami di tempat kerja, mengumpulkan kami di pagi hari dan memberikan kami instruksi, atau memberikan penjelasan jika ada perubahan dalam mekanisme kerja. Jika ada pertanyaan, maka jawaban diberikan sebatas pertanyaan yang diajukan.
Pertanyaannya adalah, apakah boleh saya bekerja di tempat yang bercampur baur ini? Saya perlu bekerja, dan suami saya (yang baru akad, belum berkumpul) menyampaikan kepadaku, bahwa pekerjaan saya tersebut haram. Dan ia mensyaratkan bahwa ia menerima pekerjaanku ini jika pekerjaan tersebut tidak haram atau menyelisihi Syariat. Saya berharap anda menjawab pertanyaan saya, apakah saya lanjutkan pekerjaan saya ini yang terdapat campur baur (ikhtilath) di dalamnya? Apakah harta saya dari pekerjaan tersebut halal atau haram? Jazaakumullahu khayra.
Jawaban Prof. Dr. ‘Ali Jum’ah Muhammad:
Yang dipahami dan dipraktekkan oleh umat Islam, salaf maupun khalaf, bahwa sekadar berkumpulnya laki-laki dan perempuan di tempat yang sama, tidaklah haram dengan sendirinya. Keharaman terjadi jika ia menyelisihi Syariat yang mulia, seperti para perempuan yang menampakkan hal-hal yang diharamkan Syariat untuk ditampakkan, atau pertemuan tersebut dalam rangka melakukan kemungkaran, atau ia merupakan khalwat yang diharamkan.
Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud ikhtilath yang haram dengan sendirinya (fi dzatihi) adalah yang mereka saling bersentuhan dan berpegangan, bukan sekadar berkumpulnya laki-laki dan perempuan di tempat yang sama.
As-Sunnah menunjukkan hal ini. Dalam Shahihayn, dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
لما عرس أبو أسيد الساعدي رضي الله عنه دعا النبيَّ صلى الله عليه وآله وسلم وأصحابَه، فما صنع لهم طعامًا ولا قرَّبه إليهم إلا امرأتُه أم أسيد
Artinya: “Ketika Abu Usaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu menikah, beliau mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan para shahabat beliau, tidak ada yang membuatkan mereka makanan dan menghidangkannya, kecuali istrinya sendiri, yaitu Ummu Usaid…”.
Al-Bukhari memberikan judul untuk Hadits ini, باب قيام المرأة على الرجال في العرس وخدمتهم بالنفس (Bab Aktivitas dan Pelayanan Seorang Perempuan di Resepsi Pernikahannya Terhadap Para Laki-laki).
Al-Qurthubi berkata dalam Tafsirnya (9/68, Cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah): Ulama kami berkata, di dalamnya terdapat kebolehan bagi seorang perempuan melayani suami dan teman-temannya saat resepsi pernikahannya.
Ibnu Baththal dalam Syarh-nya atas Al-Bukhari (6/53, Cetakan Maktabah Ar-Rusyd) berkata: Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa hijab (pemisahan tempat dan interaksi langsung antara laki-laki dan perempuan) tidaklah wajib bagi para perempuan mu’minah. Ia khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Allah menyebutkan dalam Kitab-Nya: وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ (Apabila kalian meminta suatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik hijab).
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata: Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan melayani suaminya dan orang-orang yang diundangnya, dan tentu kebolehan ini jika aman dari fitnah dan tetap memperhatikan kewajibannya menutup aurat. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya seorang laki-laki meminta istrinya melakukan pelayanan seperti itu.
Dan dalam Shahihayn juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Abu Thalhah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu saat menjamu tamunya, “Keduanya berpura-pura ikut makan di hadapan tamu mereka, dan mereka berdua akhirnya tidur dalam keadaan lapar”.
Dalam riwayat Ibnu Abid Dunya, dalam “Qirra Ad-Dhayf”, dari Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada istrinya: “Buatlah roti ini menjadi tsarid (makanan yang terbuat dari roti yang diremuk lalu direndam dengan kuah dan daging) dan tambahkanlah mentega sebagai lauknya, lalu hidangkanlah kepada tamu kita. Suruhlah pembantu untuk mematikan lampu.” Kemudian ketika menemani tamu mereka makan, keduanya menggerakkan mulut mereka seperti sedang makan, sehingga tamu mereka mengira bahwa keduanya juga ikut makan. Kisah ini zhahirnya menunjukkan bahwa mereka makan dalam satu nampan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam lalu berkata kepada laki-laki tersebut:
قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيْعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ
Artinya: “Allah takjub dengan perilaku kalian terhadap tamu kalian tadi malam.”
Allah pun menurunkan ayat berkaitan dengan kisah mereka:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Artinya: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9).
Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
آخى النبي صلى الله عليه وآله وسلم بين سلمان وأبي الدرداء، فزار سلمانُ أبا الدرداء، فرأى أمَّ الدرداء متبذلة، فقال لها: ما شأنك؟ قالت: أخوك أبو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا. فجاء أبو الدرداء فصنع له طعامًا… إلى آخر الحديث
Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda’. Ketika Salman berkunjung ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti ini?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada dunia.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman… (Hingga akhir Hadits)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/211, Cetakan Darul Ma’rifah) berkata: Di dalam Hadits ini terdapat beberapa faidah… Bolehnya berbicara dengan perempuan ajnabiyyah (non-mahram) dan bertanya tentang sesuatu yang mengandung kemaslahatan.
Adapun pekerjaan yang menurut kebiasaannya meniscayakan laki-laki dan perempuan berada di tempat yang sama, maka itu tidak apa-apa, selama aman dari kemungkinan terjatuh pada zina dan tidak terjadi khalwat (yang diharamkan). Sekadar adanya laki-laki dan perempuan di satu tempat, tidaklah haram. Yang haram itu adalah seorang laki-laki menyendiri bersama seorang perempuan di tempat tertentu yang orang lain tak mungkin masuk ke sana.
Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam (2/181, Cetakan Maktabah As-Sunnah) berkata tentang penjelasan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, إياكم والدخول على النساء (Janganlah kalian masuk menemui perempuan): Ini khusus untuk non-mahram, dan berlaku umum untuk selain mahram. Ini juga perlu memperhatikan hal lain, yaitu maksud “masuk” di sini adalah yang meniscayakan khalwat, kalau tidak khalwat, maka tidak apa-apa.
Kemudian, tidak semua bersendiriannya laki-laki dan perempuan termasuk khalwat yang diharamkan. Imam Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم فخلا بها، فقال: والله إنكن لأحب الناس إلي”، وفي بعض الروايات: “فخلا بها في بعض الطرق أو في بعض السكك”
Artinya: Seorang perempuan dari Anshar mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, kemudian beliau bersendirian dengannya, lalu bersabda: “Kalian (orang Anshar) adalah orang-orang yang paling saya cintai”. Dalam sebagian riwayat: Beliau bersendirian dengannya di jalan.
Imam Al-Bukhari membuat bab untuk Hadits ini: باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس (Bab Bolehnya seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, di tempat umum).
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/333, Cetakan Darul Ma’rifah) berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa berdiskusi dengan seorang perempuan ajnabiyyah (non-mahram) secara sirr (bersendirian) tidak tercela dalam agama, jika aman dari fitnah. A-Mulla ‘Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa berkhalwat dengan seorang perempuan di jalan, tidak sama dengan berkhalwat dengannya di dalam rumah.
Ketentuan khalwat yang diharamkan, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Asy-Syibramalisi Asy-Syafi’i, dalam Hasyiyah ‘Ala Nihayatil Muhtaj (7/163, Cetakan Darul Fikr): Pertemuan yang menurut kebiasaan tidak aman dari kekhawatiran terjatuh pada zina, sedangkan jika dipastikan menurut kebiasaan tidak akan mengarah ke sana, maka tidak dianggap khalwat (yang haram).
Dan sekadar menutup pintu, yang siapapun boleh membukanya lagi dan masuk ke dalamnya kapan saja, tidak dianggap sebagai khalwat yang di haramkan.
Atas dasar ini dan melihat fakta yang ditanyakan, maka tidak apa-apa melanjutkan pekerjaan anda sekarang, dan harta anda halal menurut Syariat. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Fatwa Syaikh ‘Ali Jum’ah Muhammad
Diterjemahkan dari: http://www.dar-alifta.org/ar/ViewFatwa.aspx?ID=11963&LangID=1&MuftiType=0
Penerjemah: Muhammad Abduh Negara