“Al MURABITHUN”, berawal dari segelintir orang yang mempelajari tauhid di suatu tenda kecil, kemudian berkembang menjadi pemerintahan yang kuat di kawasan Afrika dan mempunyai peran penting bagi kaum muslimin Andalusia.
“Al MURABITHUN”, hanya dengan menuliskan kata itu di sepucuk surat, bisa membuat para penguasa Kristen Iberia ketakutan.
Siapakah orang-orang Murabithun itu?Bagaimana mereka bisa mendirikan suatu pemerintahan yang kuat?
Berikut sejarah singkatnya.
Di pedalaman gurun pasir Mauritania, hidup beberapa anak suku Amazig (Barbar) dari suku Shanaja. Diantara suku-suku tersebut, suku Judalah dan Matunah merupakan yang terbesar. Orang-orang Shanaja ini hidup dalam kebodohan dan primitif dikarenakan tinggal di pedalaman padang pasir dan juga jarang berinteraksi dengan orang yang berasal dari bangsa lain.
Islam sudah pernah masuk kesana, namun mereka tidak mengenalnya kecuali hanya dua kalimat syahadat. Seolah-olah agama Allah tidak pernah masuk ke negeri mereka. Al Qadhi Iyadh menggambarkan kebodohan mereka, “Agama di tengah-tengah mereka sangat minim, sebagian mereka masih berperilaku jahiliyah, sebagian mereka hanya mengenal dua kalimat syahadat. Hanya itu yang mereka kenal dari ajaran-ajaran Islam.”
Beruntungnya, di tengah kegelapan kebodohan itu masih ada orang yang suka mempelajari ilmu dan memperdalam pengetahuan terhadap islam. Orang tersebut adalah Yahya bin Ibrahim Al Judali, pemuka suku Judalah dan pemimpin orang-orang Shanaja.
Suatu ketika, Yahya bin Ibrahim Al Judali memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji. Perjalanannya juga ia maksudkan untuk menuntut ilmu. Yahya bin Ibrahim mempelajari begitu banyak ilmu dari para ulama besar di berbagai negeri yang ia singgahi. Ia menimba ilmu di Qairuwan, Mesir, Irak dan Makkah.
Di kota Qairuwan, Yahya bin Ibrahim berguru kepada ulama besar bermazhab Maliki bernama Abu Imran Musa bin Isa Al Fasi. Ia juga berguru kepada Wajjaj bin Zalo Al Lamthi dan Abdullah bin Yasin. Nama yang disebutkan terakhir inilah yang memutuskan berangkat bersama Yahya bin Ibrahim Al Judali untuk mendakwahi orang-orang Shanaja.
Abdullah bin Yasin rela meninggalkan kota Qairuwan dan memasuki pedalaman padang pasir Afrika untuk mendakwahkan tentang tauhid. Tempat tinggal suku Judalah di selatan Mauritania menjadi tempat dakwah pertamanya. Di perkampungan tersebut, Abdullah bin Yasin mengenalkan apa itu islam serta memperingatkan tentang bahaya bid’ah dan kesyirikan.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap juru dakwah pasti ada penentang baik dari kalangan awam ataupun tokoh-tokoh masyarakat. Hal tersebut berlaku juga pada Abdullah bin Yasin. Dakwahnya di perkampungan suku Judalah tidak mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Bahkan tak jarang Abdullah bin Yasin mendapatkan serangan fisik baik dari para pemuka suku ataupun orang-orang yang mempunyai kepentingan.
Menghadapi gelombang penolakan yang cukup keras, Yahya bin Ibrahim Al Judali yang merupakan salah satu pemuka di perkampungan itu tak dapat berbuat banyak. Akhirnya masyarakat berhasil mengusir Abdullah bin Yasin dari kampung mereka.
Pengusiran yang ia alami tidak menyurutkan semangat Abdullah bin Yasin. Ia tetap bertahan di padang pasir Afrika dan mendirikan sebuah tenda untuk ia tempati di tepi sungai Negra dekat kota Tabacto.
Mengetahui tempat dakwah Abdullah bin Yasin yang baru, Yahya bin Ibrahim Al Judali memilih meninggalkan kampung halamannya untuk menemani sang guru dan mengambil ilmu darinya. Ia mengajak serta enam orang pemuda yang sebelumnya telah menerima dakwah Abdullah bin Yasin. Di dalam tenda yang sangat sederhana di tepi sungai Negra, Abdullah bin Yasin mengajarkan islam kepada mereka sebagaimana ajaran Islam yang nabi Muhammad ﷺ bawa.
Menurut beberapa pendapat, dari sinilah asal mula penamaan Al Murabithun untuk orang-orang yang mengikuti Abdullah bin Yasin. Tenda mereka yang berada di dekat sungai mirip seperti keadaan seorang mujahid yang mendirikan sebuah tenda di tapal batas untuk melakukan ribath dan melindungi kaum muslimin.
Seiring waktu, banyak masyarakat sekitar yang tertarik dengan halaqoh ilmu Abdullah bin Yasin. Hingga dalam kurun waktu empat tahun (437-440 H), jumlah muridnya mencapai seribu orang dengan pemahaman Islam yang bagus.
Jumlah tenda yang didirikan pun bertambah seiring bertambahnya jumlah orang-orang yang belajar kepada Abdullah bin Yasin. Murid-muridnya dibagi ke dalam beberapa tenda dan terdapat seorang ketua untuk masing-masing tenda. Abdullah bin Yasin menasehati para muridnya untuk selalu bertakwa, mengerjakan yang ma’ruf, menjauhi bid’ah dan praktek kerusakan lainnya.
Pembagian per kelompok tersebut mengikuti apa yang Rasulullah ﷺ lakukan pada peristiwa Bai’at Aqabah II. Dimana 72 penduduk Madinah dibagi beberapa kelompok dan masing-masing mempunyai ketua.
Begitu dirasa telah tiba waktunya, Syekh Abdullah bin Yasin mulai menyebar para muridnya untuk beramar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Masing-masing dari mereka lalu berangkat menemui kaum dan keluarga besarnya untuk mengingatkan dan mengajak menghentikan perbuatan syirik, bid’ah dan berbagai kemungkaran lainnya.
Terjadi beberapa kali dialog antara Syekh Abdullah bin Yasin dan para ketua suku setempat namun hidayah Allah belum menyapa mereka. Setelah sudah disampaikannya hujjah kepada seluruh masyarakat dan banyak yang tetap pada kesesatannya, Syekh Abdullah bin Yasin pun memberikan maklumat terakhir, “Sesungguhnya kami telah menyampaikan hujjah dan memberi peringatan. Maka kewajiban kami sekarang ialah berjihad memerangi kalian.”
Orang-orang Murabithun yang dipimpin oleh Yahya bin Ibrahim Al Judali bersama Syekh Abdullah bin Yasin segera mempersiapkan senjata dan mulai memerangi suku-suku disekitar mereka. Beberapa suku yang diperangi adalah perkampungan yang jauh melenceng dari islam karena dahulu terdapat orang-orang yang mengaku nabi setelah Rasulullah ﷺ.
Suku-suku yang menjadi target serangan tidak dapat menghentikan gerakan jihad Syekh Abdullah bin Yasin dan murid-muridnya. Kampung demi kampung berhasil dikuasai orang-orang Murabithun. Dalam suatu pertempuran menghadapi salah satu suku, Yahya bin Ibrahim Al Judali gugur. Kepemimpinan beralih ke tangan Yahya bin Umar Al Lamtuni. Saat dipimpin oleh Yahya bin Umar Al Lamtuni, suku Matunah -salah satu suku terbesar- memilih bergabung dengan jamaah Murabithun.
Pada tahun 447 H, Yahya bin Umar Al Lamtuni gugur dalam suatu pertempuran. Adiknya, Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni diangkat menjadi pemimpin selanjutnya. Yahya bin Umar dan Abu Bakar bin Umar adalah dua bersaudara dari suku Matunah. Mereka berdua termasuk diantara enam pemuda yang menerima dakwah Syekh Abdullah bin Yasin pada masa awal dakwahnya di perkampungan suku Judalah.
Pada tahun 451 H, orang-orang Murabithun menyerang perkampungan suku Barguta. Pertempuran ini menyisakan kesedihan bagi pasukan Murabithun karena gugurnya Syekh Abdullah bin Yasin.
Dengan gugurnya Syekh Abdullah bin Yasin, maka Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni menjadi pemimpin dibidang politik sekaligus keagamaan. Dibawah kepemimpinan Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni, Murabithun terus meluaskan jangkauan wilayah jihadnya hingga mereka berhasil menyatukan orang-orang dari kawasan utara Senegal hingga selatan Mauritania. Murabithun pun menjadi pemerintahan kecil.
Di tahun 453 H, Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni melepaskan tampuk kepemimpinan dan menunjuk Yusuf bin Tasyifin sebagai penggantinya. Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni memilih memasuki kawasan selatan Maroko untuk mengenalkan islam kepada suku-suku pedalaman disana.
Seiring waktu, Daulah Murabithun menjadi pemerintahan besar. Yusuf bin Tasyifin berhasil menaklukkan kawasan pesisir Maroko. Pada tahun 454 H, Yusuf bin Tasyifin memilih sebidang tanah dan mendirikan masjid, benteng serta perumahan di tanah tersebut. Kawasan itu kemudian menjadi ibukota pemerintahan Murabithun dan diberi nama kota Marrakesh yang dalam bahasa Amazig berarti berjalanlah dengan cepat.
Kembali ke kisah dakwah Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni yang rela melepas tampuk kepemimpinan Murabithun. Dakwahnya di suku-suku pedalaman Maroko mendapat respon yang baik di tengah masyarakat setempat. Ia mendidik begitu banyak murid dan memperluas jangkauan dakwahnya hingga ke pedalaman gurun pasir serta daerah-daerah antara Senegal dan Nigeria.
Ia berdakwah selama lima belas tahun dan berhasil mendidik ribuan murid. Lebih dari lima belas kawasan Afrika masuk ke dalam pangkuan Islam melalui dakwahnya. Kawasan itu antara lain; Selatan Senegal, Pantai Gading, Mali, Ghana, Dahumi, Tongo, dan Nigeria. Semua kawasan Afrika yang dimasuki Abu Bakar bin Umar Al Lamtuni bergabung bersama orang-orang Murabithun.
Ibnu Katsir mengatakan tentangnya dalam Al Bidayah Wa An Nihayah, “Abu Bakar Al Lamtuni jika mengajak atau pergi berjihad, maka ia akan diikuti oleh setengah juta pasukan yang tangguh dan setia.”
Pada masa kejayaannya, Daulah Murabithun mampu menguasai wilayah yang sangat luas, membentang dari Afrika Tengah hingga Andalusia bagian Utara.
Pemerintahan yang luas itu dibarengi dengan keberadaan pasukan yang sangat kuat yang siap berjihad kapan saja jika diperlukan. Kekuatan pasukan Murabithun menjadi momok menakutkan bagi musuh-musuhnya. Salah satu kisah yang memperlihatkan hal ini adalah apa yang dialami Alfonso VI dari Castille.
Saat itu, Alfonso VI menggelorakan reconquista di Andalusia pada era Muluk ath Thawaif. Ia berhasil merampas kota Toledo dari tangan kaum muslimin Andalusia dan bergerak mengepung Sevilla.
Saat pengepungan ketat kota Sevilla tengah berlangsung, Alfonso VI menerima surat gertakan dari Ibnu Abbad -penguasa Sevilla-. Surat itu mengabarkan bahwa orang-orang Murabithun akan menyeberang dari Afrika dan memasuki Andalusia. Setelah membaca surat tersebut, Alfonso VI tidak berpikir dua kali dan langsung kembali ke kota Toledo karena takut dengan orang-orang Murabithun.
Pada akhirnya, orang-orang Murabithun yang dipimpin oleh Yusuf bin Tasyifin benar-benar datang ke Andalusia dan berhasil mencerai beraikan gerakan reconquista Alfonso VI dan aliansi salibisnya pada pertempuran Zallaqah tahun 479 H. Daulah Murabithun berhasil mengembalikan wibawa Islam di Andalusia yang sebelumnya telah diinjak-injak oleh kaki-kaki najis kafir salibis.
Beberapa dekade setelahnya, Tamim bin Yusuf bin Tasyifin berhasil melumat 23.000 pasukan Castille dan membunuh raja mereka pada Pertempuran Ucles.
Demikianlah bagaimana orang-orang dari pedalaman padang pasir yang sebelumnya terbelakang dan hidup dalam kesesatan yang sangat parah, berubah menjadi mulia disebabkan pemahaman mereka akan Islam dan juga jihad yang mereka lakukan.
Berawal dari dakwah tauhid dan halaqoh ilmu Syekh Abdullah bin Yasin di suatu tenda kecil yang diikuti oleh enam orang pemuda, hingga akhirnya mampu mencetak generasi yang siap berkorban untuk tegaknya islam, memberantas berbagai penyimpangan dan menaklukkan musuh-musuh islam. Kemuliaan itu diraih dengan Ilmu dan jihad .
Ibnu Khatib berkomentar tentang Daulah Murabithun ini, “Daulah mereka baik, (suka) berjihad, selamat dan daulah yang paling menjaga sunnah.”
Metode yang dipakai oleh Syekh Abdullah bin Yasin mencontoh kepada sang junjungan dakwah, Rasulullah ﷺ, yang mampu mencetak generasi terbaik, para sahabat radiallahu’anhum ajma’in dan mendirikan pemerintahan islam di Madinah.
Maka, sebagaimana Rasulullah ﷺ berhasil di Madinah, dakwah Syekh Abdullah bin Yasin pun berhasil dan menjadi cikal bakal lahirnya pemerintahan Murabithun. Keberhasilan tersebut tentunya setelah melewati tahapan yang sangat melelahkan bagi jiwa dan raga.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ diusir dengan kasar oleh penduduk Thaif, begitu juga Syekh Abdullah bin Yasin yang diusir oleh suku Judalah.
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi berkata,
لو كان الله يُحقق النصر بلا ابتلاء لحققه للأنبياء
“Jika Allah merealisasikan kemenangan tanpa ujian, tentu sudah terealisasi untuk para Nabi.”
Oleh: Abdurrahman Al Buthony
Referensi:
- Daulah Al Murabithun, Prof. Dr. Muhammad Ali Ash Shalabi
- Qishoh Al Andalus Min Al Fath Ila As Suquth, Dr. Raghib As Sirjani