Kisah Perdamaian Di Tengah Kecamuk Perang

Kisah Perdamaian Di Tengah Kecamuk Perang

Fatwapedia.com – Situasi perang tidak harus senantiasa mencekam, karena terkadang untaian kisah indah dapat kita jumpai diantara pekik takbir dan dentingan pedang. Di balik perseteruan pun ternyata masih ada rasa saling mengasihi dan menghormati, seperti cerita antara Sultan Malik Al-Kamil dengan Santo Fransiskus Assisi saat perang Salib berlangsung.

Dari kejauhan tampak dua orang berpakaian tunik khas para biarawan Kristen melintasi perbatasan Mesir menuju Damietta. Kardinal Pelagius, panglima perang salib kelima ( 1217 – 1222 M ) telah bersikeras melarang mereka memasuki Mesir yang merupakan wilayah kekuasaan Islam. Sebagai mantan prajurit perang, sang biarawan tahu betul bagaimana ketirnya kecamuk sebuah Peperangan, tepatnya tahun 1202 M dia menjadi tawanan perang kota tetangganya Perugia selama satu tahun. Perang saudara antara Asisi dan Perugia tersebut mengantarkannya menjadi seorang Biarawan, meninggalkan kehidupan mewah dari seorang anak pedagang kain yang sukses.

Kardinal Pelagius mengingatkan bahaya yang akan mereka hadapi ketika masuk ke wilayah pasukan kaum Muslimin, suasana perang seperti itu memunculkan berbagai rumor buruk terhadap Kaum muslimin di mata tentara salib. Namun semua itu tidak dipedulikan oleh Santo Fransiskus Asisi, bersama sahabatnya Bruder Illuminatus dia memasuki perbatasan zona perang pada bulan Oktober tahun 1219 M untuk menyampaikan pesan sucinya ke hadapan Sultan Malik Al-Kamil, penguasa Mesir sekaligus sepupu Salahuddin Al-Ayyubi.

Sebelumnya, Santo Fransiskus pernah dua kali berniat menyampaikan misi sucinya kepada pemimpin kaum muslimin namun gagal bertemu. Pada tahun 1211 M dia melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk menemui para penguasa muslim di sana, tak disangka angin bertiup berlawanan arah sehingga kapalnya mengambil arah yang salah menyebrangi laut Adriatik menuju Dalmatia lalu badai menghadangnya sehingga kapal kembali ke Italia. perjalanan kedua pada tahun 1213 – 1214 M dia pergi menuju Maroko untuk menemui Sultan Muhammad An-Nasir, Penguasa Dinasti Muwahiddun yang pada tahun 1212 M dipukul mundur oleh pasukan Kristen dari Spanyol. Santo Fransiskus percaya bahwa sang Sultan yang sedang sakit lahir batin tersebut mau menerima seruannya. Namun upaya tersebut gagal juga karena Fransiskus jatuh sakit di perjalanan.

Tentara muslim yang berjaga kemudian menangkap dua orang Biarawan tersebut. Mereka menyangka kedua Biarawan itu adalah utusan perdamaian dari tentara Salib karena sebelumnya Sultan Malik Al-Kamil mengirim dua tawanan perang untuk mengajukan perdamaian dengan penawaran tertentu. Kedua utusan itu adalah Andreas dari Nanteuil dan Yohanes dari Arcis. Tawaran Sultan sesungguhnya menarik, yakni menyerahkan kendali atas Yerusalem kepada tentara Salib dan wilayah-wilayah yang jatuh ke tangan Sultan, serta mengembalikan sisa salib asli Yesus yang dikuasai pasukan Sultan. Sultan juga berjanji membantu membangun kembali tembok Yerusalem yang runtuh.  para tentara muslim juga menyangka, mungkin dua orang rahib Katolik tersebut ingin memeluk Islam dihadapan sang Sultan, karena konversi agama baik Kristen ke Islam maupun sebaliknya merupakan hal yang lazim pada waktu itu.

Santo Fransiskus kemudian memohon agar dipertemukan dengan Sultan untuk menyampaikan pesan yang ingin dia sampaikan. Sultan Malik Al-Kamil yang terkenal saleh dan toleransi dengan rendah hati memperbolehkan Santo Fransiskus Asisi untuk menghadapnya. Hal tersebut sangat wajar, karena Malik Al-Kamil dikenal dekat dengan para penganut Kristen Koptik di Mesir. Beliau bahkan pernah memenangkan orang – orang Kristen Koptik dalam sengketa tanah antara Kristen Koptik dengan Kaum muslimin atas pembangunan Gereja walaupun hal tersebut membuat kecewa kaum muslimin.

Santo Fransiskus lalu mengucapkan salam Khas muslim,

 “Assalamualaikum”. 

“apa anda utusan dari Paus?” tanya Sultan.

Santo Fransiskus menjawab dengan rendah hati,

“Bukan wahai sultan, saya diutus Tuhan Yesus Kristus.”

Di depan Sultan serta para ulama negara, Santo mengajak Sultan untuk mengikuti Yesus Kristus. Di luar dugaan, Sultan sama sekali tidak marah dan menjebloskannya ke penjara meskipun Sultan berkuasa berbuat demikian. Kehalusan Santo Fransiskus membuat sultan Malik Al-Kamil kagum kepadanya, begitu pula sebaliknya Santo Assisi pun mengagumi kepribadian sang sultan yang dengan senang hati mendengarkan ajakannya, Sikap yang jauh sekali dari gambaran Tentara Salib tentang Islam sebagai orang barbar yang sadis atau binatang buas berbahaya sebagaimana rumor yang beredar di tengah umat Kristiani. Hal ini juga yang membuat Santo Fransiskus menyarankan kepada para pemimpin Eropa kala itu agar lebih baik berdamai saja dengan kaum muslimin.

Sang Santo juga terkesan saat para prajurit menyelesaikan pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang, menghadapkan wajah mereka ke arah Mekkah untuk bersujud kepada Allah secara bersamaan. Panggilan adzan tersebut menginspirasi Santo membuat surat agar para pemimpin Eropa membunyikan tanda menjelang malam supaya umat Kristen mengetahui masuknya waktu doa. Sebuah doa Santo Fransiskus juga tampaknya terpengaruh oleh Asmaul Husna.

“Engkaulah Yang Maha Suci, Tuhan Yang Esa… Engkau Yang Maha Kuat, Yang Maha Agung, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa… Kebaikan Tertinggi… Engkau Maha Mencintai, Maha Mengetahui, Engkau Pemberi Kesederhanaan, Engkau Maha Hidup. Engkau Pemberi Kedamaian…”

Sekitar sebulan lamanya berada di lingkungan kaum muslimin, akhirnya Santo Fransiskus Asisi pulang kembali atas izin Sultan. Sebagaimana kebiasaan Sultan terhadap seseorang yang dikaguminya, berbagai hadiah ditawarkan oleh Sultan Kepada Sang Santo, namun semua ditolaknya kecuali sebuah terompet dari gading yang biasa dipakai panglima perang untuk panggilan perang bagi prajurit atau oleh Muazzin untuk memberitahukan waktu shalat sebelum Adzan dimulai. Santo Fransiskus menggunakannya untuk memanggil orang orang mendengarkan khotbahnya. Hingga kini, Terompet tersebut masih tersimpan di bagian bawah Basilika Santo Fransiskus di kota Assisi. Sultan juga mengizinkan Santo Fransiskus beserta ordonya menziarahi Yerusalem dan Gereja Makam Kudus tanpa harus membayar pajak.

Akhirnya pada bulan November tahun 1219 santo Fransiskus harus pulang dengan kecewa karena sang sultan yang ramah itu tidak memeluk agama Kristen. Para prajurit Muslim mengantarkan kedua biarawan tersebut ke kamp tentara salib dengan penuh kehormatan.  Meskipun Santo Fransiskus Assisi telah gagal membawa para Sultan Muslim ke dalam kekristenan, namanya akan selalu dikenang oleh ordo Fransiscan, Orang Kristen, Muslim, dan para pecinta perdamaian sebagai pembawa pesan damai. Dan 800 tahun kemudian, pada awal Februari 2019 Paus Fransiskus, Imam besar Al Azhar Syekh Ahmed Tayeeb, beserta perwakilan pemuka agama di dunia menandatangani piagam persaudaraan Insaniyah di Abu Dhabi.

Oleh : Abu bakar Ibn Ghazali Al-Kailandari

Referensi:

  • End, Dr. The Van Den, Dr. Christiaan De Jonge. 2001. Sejarah perjumpaan Gereja dan Islam. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
  • Hillebrand, Carole. 2015. Perang Salib sudut pandang Islam, terjemahan Heryadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
  • Moses, Paul. 2019. Diplomasi Damai Santo dan Sultan, alihbasa: Adi Toha. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Leave a Comment