Fatwapedia.com – Syaikh Rabi’ al-Madkhali hafizahullah pernah mengisahkan pengalaman dakwah beliau di negeri Sudan,
“Sesampainya saya di bandara Sudan, saya disambut oleh para pemuda Jama’ah Anshar as-Sunah. Mereka memberi masukan, “Ya Syaikh, bolehkah kami menyampaikan beberapa saran kepada anda?”.
“Silahkan” kataku.
Mereka berkata, “Wahai Syaikh, silahkan anda berceramah sekehendak anda dengan (mengutip) firman Allah dan sabda Nabi-Nya Shallallahu’alaihiwasallam, tidak mengapa engkau sebutkan berbagai jenis bid’ah dan kesesatannya, baik kaitannya dengan doa kepada selain Allah, menyembelih, nadzar atau istighatsah kepada selain-Nya. Namun sebaiknya engkau tidak menyinggung tarekat tertentu atau syaikh fulan! Jangan sampai engkau mengatakan bahwa tarekat Tijaniyah atau Bathiniyyah sesat. JANGAN PULA ENGKAU MENCACI TOKOH-TOKOHNYA. Cukup engkau sebutkan perkara-perkara akidah (secara umum), niscaya engkau akan dapati mereka menerima al-haq yang engkau sampaikan”.
Saya katakan padanya, “Baiklah”.
Akhirnya saya ikuti anjuran mereka. Ternyata saya menyaksikan sambutan yang sangat besar dari kaum muslimin terhadap dakwah ini…
Demi Allah, tidaklah aku masuk suatu masjid melainkan aku melihat wajah mereka berseri-seri, sehingga aku tidak bisa keluar dari kerumunan masa yang berebut berjabat tangan serta mendoakan kebaikan untukku.
Ternyata para pentolan tarekat sufi melihat cara dakwah yang saya tempuh sebagai suatu ancaman yang berbahaya. Akhirnya tokoh-tokoh tersebut berkumpul dan berunding untuk merumuskan bantahan-bantahan terhadap ceramah saya.
Mereka memintaku untuk memberikan ceramah di suatu lapangan. Maka saya penuhi permintaan mereka. Akupun ceramah hingga selesai. Giliran pembesar mereka bangkit (setelahku) dan mengomentari ceramahku tadi. Mulailah orang ini mengutarakan pendapatnya tentang bolehnya beristighatsah kepada selain Allah, bertawassul dengan mayit, mengingkari sifat-sifat Allah dan ucapan-ucapan batil lainnya. Mereka kemas semua ucapan batil itu dengan takwil-takwil yang menyimpang dan keji.
Usai dia berbicara -namun ia tidak menyertakan dasar dalilnya, yang ada hanyalah hadits-hadits dha’if dan palsu atau nukilan dari ucapan Socrates- maka aku katakana kepada hadirin, “Apakah hadirin sekalian telah mendengar ceramahku? Bukankah yang aku sampaikan adalah semata-mata firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam? Tapi lihatlah orang ini! Yang ia sebutkan adalah hadits-hadits palsu belaka. Padahal al-Qur’an lebih berhak untuk disebutkan di sini. Pernahkah kalian mendengar firman Allah yang membolehkan istighatsah kepada selain-Nya?! Bolehnya tawassul (dengan mayit)?! Atau pernahkah kalian mendengar ucapan para imam terkemuka dalam hal ini semua?! Tidak sama sekali tidak! Kalian hanya mendengar hadits-hadits palsu dan dha’if atau tak lebih dari sekedar omongan segelintir manusia yang sangat masyhur di antara kalian sebagai pengusung khurafat?!”
Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit sambil memaki-maki. Namun aku hanya tersenyum dan sama sekali tidak menanggapi caciannya. Aku hanya mengucapkan, “Jazakallahu khairan, barakallah fik, barakallah fik, jazakallah khairan!” Tidak lebih dari itu.
Bubarlah acara tersebut. Maka demi Allah, ternyata keesokan harinya banyak orang yang memperbincangkan kejadian ini baik di masjid-masjid maupun di pasar-pasar. Mereka berkomentar bahwa orang-orang Sufi telah kalah.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Kasala, masih wilayah Sudan. MasyaAllah, dakwah Ahlus Sunnah mendapatkan kemudahan dan tanggapan bagus. Kami diberi kesempatan untuk berkhutbah dan kita bersyukur dengan keadaan ini …
Kemudian kami pergi ke kota Ghatharif, sebuah kota kecil di sana. Kami menyempatkan diri untuk mengelilingi masjid-masjid di kota itu. Ada sebagian dari Jama’ah Anshar as-Sunnah mengatakan, “Ya Syaikh, hanya tinggal satu masjid di kota ini yang belum terjamah dakwah kita, sebab masjid ini adalah basis tarekat tijaniyah, lantaran itu kita belum bisa masuk ke sana”.
“Lho kenapa?”.
“Sebab mereka sangat fanatik”.
“Baiklah, kalau demikian kita pergi ke sana. Kita akan minta izin; kalau diizinkan untuk bicara, maka kita bicara. Tapi kalau mereka melarang, maka udzur kita di sisi Allah. Dan ingat! Jangan kita memaksakan diri untuk berbicara”.
Sampailah kami di masjid mereka. Kami shalat bersama mereka sebagai makmum. Usai shalat, kami ucapkan salam kepada sang imam. Aku berkata, “Bolehkah aku berbicara di hadapan saudara-saudara kami di sini?”
“Silahkan” jawab sang imam.
Mulailah aku berceramah, aku ajak mereka untuk mentauhidkan Allah dan melaksanakan sunnah dan perkara-perkara lain dari agama. Sesekali aku menyinggung beberapa kesalahan serta berbagai kesesatan yang ada. Di sela-sela itu aku mengutip hadits Aisyah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “Ada tiga hal, barang siapa yang mengatakan tiga perkara ini maka ia telah melakukan kedustaan besar di sisi Allah:
(1) Barang siapa yang meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam telah melihat Rabb-nya (di dunia) maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah.
(2) Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam mengetahui kejadian-kejadian yang akan datang maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah. Dan saya sebutkan pula berbagai dalil yang mendukung hadits ini.
(3) Barang siapa meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam tidak menyampaikan risalah dari Allah secara sempurna maka ia telah melakukan kedustaan yang besar di sisi Allah”.
Lalu sang imam berkomentar (ia terlihat gusar dan gelisah), “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam telah melihat Allah di dunia dengan kedua mata kepalanya”.
Namun aku hanya menyambut komentar si imam dengan ucapan, “Jazakallah khairan. (Tentunya kita tahu) bahwa Aisyah sebagai istri Rasul Shallallahu’alaihiwasallam tentu lebih tahu akan keadaan beliau. Kalaulah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam benar-benar telah melihat Rabb-nya di dunia tentu Aisyah akan mengabarkannya, tapi kenapa ia tidak mengabarkannya?”.
Lalu ia mendesakku dengan pertanyaan bertubi-tubi.
Aku katakan, “Ya akhi, tunggulah sebentar, beri kesempatan kepadaku agar aku selesaikan jawabanku satu persatu. Setelah itu silahkan engkau lanjutkan dengan pertanyaan lain sekehendakmu. Apa yang aku ketahui akan aku jawab, dan apa yang tidak aku ketahui akan aku katakan padamu, “Wallahu a’lam”.
Lalu aku abaikan orang itu dan aku teruskan ceramahku. Aku tidak tahu apakah ia tetap duduk di situ atau pergi meninggalkan majelis, karena akupun sengaja tidak menoleh kepadanya.
Terdengar olehku bisikan orang, “Benar juga ucapan orang ini” Terdengar juga dari selain dia kata-kata lain, “Demi Allah, lelaki ini tidak menyampaikan melainkan firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu’alaihiwasallam”.
Adzan Isya dikumandangkan, maka berakhirlah acara tersebut, lantas jama’ah masjid melaksanakan shalat Isya. Tiba-tiba mereka mendorongku untuk menjadi imam Isya”. Aku katakan, “Sama sekali aku tidak mau menjadi imam”.
Mereka malah menjawab, “Demi Allah, shalatlah mengimami kami, demi Allah, shalatlah mengimami kami”. Akhirnya aku katakan, “Baiklah kalau begitu”.
Akhirnya akupun shalat mengimami mereka. Usai shalat aku menunggu sejenak, kemudian aku pulang bersama para pemuda Anshar as-Sunnah.
Aku bertanya kepada mereka, “Kemana sang imam pergi?”.
Mereka menjawab, “Telah diusir!”.
“Lho siapa yang mengusirnya?” tanyaku lagi.
“Demi Allah, jama’ahnya yang mengusir dia!” tandas mereka.
Itulah yang terjadi wahai saudara-saudaraku. Singkatnya jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian membodoh-bodohkan pengikut aliran Tijani, boleh jadi mereka akan mememenggal lehermu, tidak cukup hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan lemah lembut, maka Allah akan memberikan manfaat kepada mereka dengan lantaran perangai tersebut.
Hendaknya engkau berbekal dengan ilmu yang bermanfaat, argumentasi yang kokoh, senantiasa memprioritaskan hikmah di dalam dakwah kalian. Wajib atas kalian untuk berhias diri dengan akhlak mulia yang telah dianjurkan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam. Sesungguhnya itu merupakan (salah satu) sarana (terbesar) untuk mendapatkan pertolongan dan kesuksesan”.
Sumber: Al-Hatstsu ‘ala Al-Mawaddah wal I’tilaf, sebagaimana yang dinukil oleh Al Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A dalam 14 Contoh Sikap Hikmah dalam Berdakwah.