Fikroh.com – “Negeri orang-orang sok tahu”. Itulah sub judul bab “Pakar dan Warga Negara” dari buku “Matinya Kepakaran” karya Tom Nichols. Judul asli buku ini: The Death of Expertise (Oxford University Press, 2017). Tahun 2018, buku ini sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya (Jakarta: KPG, 2018).
Penulis buku ini, Tom Nichols, adalah seorang guru besar pada Naval War College dan Harvard Extension Schools. Melalui bukunya, ia sedang meratapi nasib bangsanya, yakni masyarakat Amerika Serikat (AS). Para era informasi, yang menjawab berbagai masalah kehidupan saat ini, bukan hanya para pakar, tetapi juga para penganut teori konspirasi, orang awam yang sok tahu, sampai pesohor yang menyesatkan.
Kadangkala, di tengah rimba informasi saat ini, penjelasan pakar tak didengar. Sedangkan jawaban dari tokoh yang mempunyai banyak pengikut justru lebih dipercaya. Tom Nichols menunjukkan bagaimana suatu pendapat yang salah bisa dianggap suatu kebenaran. Parahnya, pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan, seperti Perguruan Tinggi, media, hingga kalangan pakar itu sendiri, kadang justru memiliki andil dalam membunuh kepakaran.
“Matinya kepakaran adalah pesan agar semua orang mencari dan memperoleh informasi dari sumber yang tepat, demi kebaikan dirinya sendiri dan orang lain. Pesan tersebut penting bukan hanya untuk kegiatan sehari-hari, melainkan juga untuk menentukan arah suatu negeri. Saat pakar dimusuhi dan anti-intelektualisme kian marak, jalan menuju kekuasaan yang korup terbuka lebar, dan nasib demokrasi pun terancam,” demikian pesan yang ditulis dalam sampul belakang “Matinya Kepakaran” edisi Bahasa Indonesia.
Menurut Tom Nichols, andaikata pun belum mati, tetapi di AS, kepakaran berada dalam bahaya. “Ada yang benar-benar salah. Amerika Serikat menjadi negara yang terobsesi memuja ketidaktahuannya sendiri,” tulis Nichols.
Keprihatinan Nichols bukan soal ketidaktahuan orang terhadap sains, politik, atau geografi, dan sebagainya. Masyarakat memang terbagi dalam berbagai kemampuan dalam penguasaan llmu atau kepakaran. Yang penting, perbedaan itu diakui. Pilot diakui kepakarannya dalam menerbangkan pesawat; dokter memberikan resep obat; dan sebagainya.
“Masalah yang lebih besar adalah kita merasa bangga saat kita tidak mengetahui banyak hal. Orang Amerika telah mencapai titik ketika ketidaktahuan dianggap baik, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan publik. Menolak nasehat para pakar sama dengan menegaskan otonomi. Begitulah cara orang Amerika melindungi egonya yang semakin rapuh terhadap kemungkinan dinyatakan salah tentang apa pun. Inilah bentuk baru Deklarasi Kemerdekaan: kita tidak lagi memegang sebuah kebenaran, melainkan semua kebenaran, bahkan kebenaran yang tidak benar sekali pun. Semua hal dapat diketahui dan setiap pendapat mengenai apa pun sama baiknya dengan yang lain,” demikian Nichols.
Amerika Serikat, dengan fokusnya yang besar pada kebebasan individu, menjunjung tinggi perlawanan terhadap otoritas intelektual. Tahun 1835, pengamat Perancis, Alexis de Tocqueville, sudah menulis bahwa warga AS tidak benar-benar terpikat kepada para pakar atau kecerdasan mereka. Setiap orang AS hanya tertarik dengan pemahamannya masing-masing. Artinya, ketidakpercayaan kepada otoritas intelektual telah berakar dalam sifat demokrasi AS. Ketika warga negara saling mengamati satu sama lain di posisi yang setara, mereka akan senantiasa kembali ke pemikiran mereka sendiri sebagai sumber kebenaran yang paling jelas dan dekat.
Tom Nichols menyebut kondisi yang lebih meresahkan, dimana perlawanan terhadap pengetahuan justru dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya tahu lebih baik. Ia menunjuk kasus rendahnya partisipasi vaksinasi di kalangan masyarakat terdidik di kota-kota. Para orang tua yang berpendidikan merasa memiliki latar belakang yang memadai untuk meragukan ilmu kedokteran yang sudah mapan.
Demikianlah sekelumit paparan Tom Nichols tentang kondisi masyarakat AS yang menurutnya berada di titik yang berbahaya, karena tidak lagi menghargai otoritas kepakaran. Apa yang disampaikan Nichols mirip dengan apa yang sejak tahun 1970-an sudah diingatkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang hilangnya adab (loss of adab) di kalangan umat Islam.
Adab adalah kemampuan dan kemauan diri untuk memahami dan menyikapi segala sesuatu sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah. Kini, di era informasi dan serba internet, terjadi kerancuan ilmu (confusion of knowledge) yang meluas. Itu terjadi karena kesulitan masyarakat menentukan siapa ilmuwan yang sebenarnya layak dijadikan rujukan.
Meskipun ada beberapa perbedaan tentang konsep ilmu antara Islam dengan peradaban sekuler Barat, tetapi secara umum, buku Tom Nichols itu bisa dijadikan sebagai refleksi untuk melihat kondisi masyarakat kita di Indonesia, khususnya masyarakat muslim. Dalam hal ini, sangat penting kita mengkaji dan mendalami lagi konsep adab yang pernah diangkat dan dijabarkan oleh Prof. Naquib al-Attas.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, salah satu idea penting dan unggul yang diungkapkan oleh Prof. al-Attas adalah konsep adab. “Konsep Islam yang begitu penting ini telah ditemui semula oleh beliau lalu dihuraikan secara sistematik dan dihubungjalinkan dengan istilah-istilah lain yang terdapat dalam ruang lingkup ontologi, epistemologi dan pendidikan, etika, estetika, dan ekologi.” (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas: Ilmuwan Penyambung Tradisi Pembaharuan Tulen”, dalam Mohd Zaidi Ismail dan Wan Suhaimi wan Abdullah, Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafan untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas, hlm. 45).
Pentingnya adab dalam kehidupan manusia sudah banyak pula dikemukakan oleh para ulama terdahulu. Imam Ibnu Katsir, dalam Kitab Tafsirnya, menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. memaknai perintah Allah “Qū anfusakum wa-ahlȋkum nārā”, dengan “addibūhum wa ‘allimūhum (didiklah mereka agar beradab dan ajari mereka ilmu).
Salah satu sumbangan besar Prof. Naquib al-Attas dalam dunia pemikiran Islam kontemporer adalah menguraikan definisi dan kedudukan adab dalam konteks dominasi paham sekularisme terhadap Islam. Tahun 1973, dalam bukunya, Risalah untuk Kaum Muslimin, Prof. al-Attas sudah menjelaskan makna adab secara terperinci. Begitu pula dalam bukunya, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang: USM, 2007).
Apa yang terjadi di AS adalah bentuk hilangnya sebagian adab pada masyarakat AS terhadap ilmuwan mereka. Tetapi, Islam lebih dari itu. Islam bukan hanya menempatkan ilmu di tempat mulia. Tetapi, juga ketaqwaan dan akhlak mulia yang harus diutamakan. Sebab, sumber kerusakan masyarakat adalah munculnya ilmuwan-ilmuwan yang jahat, yang tidak beradab atau berakhlak bejat. Wallahu A’lam bish-shawab.
Oleh: Dr. Adian Husaini