Fatwapedia.com – Apa itu shalat tasbih? Shalat tasbih adalah salah satu bentuk shalat sunnah yang dilakukan dalam gerakan khusus –yang akan diterangkan setelah ini–. Adapun sebab dinamakan shalat tasbih karena bacaan di dalamnya terdapat banyak tasbih. Dalam setiap raka’at ada 75 tasbih.(Nihayatul-Muhtaj (2/119)
Hukum Shalat Tasbih
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat tasbih. Hal ini dikarenakan mereka berbeda pendapat dalam menghukumi ketetapan hadits yang berkaitan dengan shalat tasbih. Yaitu,
Hadist Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ لَكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَقَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ وَخَطَأَهُ وَعَمْدَهُ وَصَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ وَسِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرُ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ قُلْتَ وَأَنْتَ قَائِمٌ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُ وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ فِي
أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
“Wahai pamanku Abbas, Maukah aku beri, maukah aku anugerahkan, dan maukah aku lakukan untukmu sepuluh perkara apabila kamu kerjakan maka Allah akan mengampuni seluruh dosa yang pertama hingga terakhir, yang lalu dan yang sekarang, baik yang dilakukan karena keliru ataupun sengaja, dosa kecil dan besar, tersembunyi dan yang terang-terangan. Sepuluh perkara itu adalah; kamu lakukan shalat empat rakaat, kamu baca dalam setiap rakaat surat Al-Fatihah dan surat (dari Al-Qur`an). Apabila telah selesai dari membaca surat di awal rakaat, maka ucapkalah dalam keadaan kamu berdiri: “Subhanallah, Walhamdulillah Wa La Ilaha Illallah Wallahu Akbar” sebanyak lima belas kali kemudian ruku’ lalu ucapkanlah dalam keadaan kamu ruku’ sepuluh kali, kemudian mengangkat kepalanya (berdiri) dari ruku’ lalu ucapkanlah tasbih tersebut sepuluh kali, kemudian turun sujud dan mengucapkan dalam sujudmu tasbih tersebut 10 kali, kemudian bangkit dari sujud dan mengucapkannya 10 kali. Kemudian sujud lagi dan mengucapkanya 10 kali lalu bangkit dan mengucapkan 10 kali. Sehingga jumlahnya 75 kali dalam satu rakaat. Kerjakanlah empat rakaat apabila kamu mampu melakukannya dalam setiap hari sekali maka kerjakanlah dan bila tidak mampu maka sekali dalam satu Jum’at apabila tidak mampu maka setiap bulan sekali dan bila tidak mampu maka sekali dalam seumur hidup).
Hadits ini dinilai Dhaif, Abu Daud (1297), Ibnu Majah (1387), Hakim (1/318-319), Baihaqy (3/51), Thabrany (11/161), Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah (1/25-26) dan selain mereka dari jalur Ibnu Abbas, namun semuanya Dha’if.
Ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya sebagai hadits Hasan,. Dan ia memiliki syahid yang banyak, namun syahid yang banyak tersebut tidak cukup untuk membantu, oleh karena itu, Al-hafidz dalam kitab At-Talkhis berkata (2/7); “Sesungguhnya seluruh jalur-jalur periwayatannya lemah (Dha’if), meskipun hadits dari Ibnu Abbas mendekati syarat untuk dikategorikan sebagai hadits Hasan, hanya saja riwayat tersebut Syadz dan di dalamnya terdapat keganjilan dan tidak terdapat penguat serta Syahid yang kuat, dan karena tata-cara shalat yang disebutkan di situ menyimpang dari tata-cara shalat lainnya, dan seterusnya”.
Penulis: hadits ini telah dinyatakan Dha’if oleh sekelompok ulama, di antara mereka adalah; Imam Ahmad –ada yang mengatakan bahwa Imam Ahmad menarik pernyataannya tentang Dha’if-nya hadits ini–, At-Tirmidzi, Ibnul-Arabi, dan telah dimunculkan oleh Ibnul-Jauzi dalam kitab Al-Maudhu’at, dan itu telah dibantah oleh Al-Hafidz, Syaikhul-Islam juga telah menyatakannya Dha’if, sedangkan Ibnu Khuzaimah dan Dzahabi masih abstain.
Namun hadits ini didukung oleh beberapa ulama juga di antaranya; Muslim dan Abu Daud –sebagaimana dinukil oleh Mundziri–, Hakim, Baihaqy, dan Ibnu Hajar, sedangkan dari ulama kontemporer adalah; Ahmad Syakir, al-Albani, dan lain-lain. Selain itu, saudara Jasim al-Fuhaid –semoga Allah menjaganya– telah menulis risalah (tulisan) yang bagus dengan judul “At-Tanqih Lima Ja’a Fi Shalatit-Tasbih” dan upayanya bagus dalam penulisan tersebut, hingga akhirnya ia menyimpulkan keshahihan hadits tersebut. Namun menurut penulis: bahwa menyatakan hadits ini dengan Shahih atau Hasan dari jalur-jalur periwayatannya, itu adalah lingkup ijtihad, dan ini merupakan garapan peneliti mujtahid. Wallahu A’lam.
Terlepas dari status hadits diatas, Ada tiga pendapat Ulama mengenai hukum shalat tasbih:
Pertama: Dianjurkan (Mustahab).
Ini adalah pendapatnya Ibnu Mubarak, dan tidak sedikit dari para ahli ilmu, begitu juga dengan sebagaian ulama Syafi’iyyah, mereka telah menghukumi bahwa hadits di atas adalah shahih sehingga menyimpulkan hukum shalat tasbih adalah sunnah. (Al-Majmu’ (3/647), Nihayatul-Muhtaj (2/119)
Kedua: Dibolehkan (mubah)
Ini adalah pendapatnya sebagian ulama Hanabilah, mereka mengatakan, meskipun tidak ada ketetapan mengenai hadits di atas, namun perbuatan ini masuk dalam kategori “amalan tambahan”. Sehingga hadist dha’if (lemah) pun cukup untuk dijadikan pegangan. (Al-Mughni: 2/132)
Oleh karena itu Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni (2/132) mengatakan, “Dibolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan shalat tasbih, karena sesungguhnya suatu pekerjaan yang sifatnya sunnah dan amalan tambahan (fadhail a’mal) tidak disyaratkan bersumber dari hadis shahih”.
Ketiga: Tidak Disyariatkan (mamnu’)
Ini adalah pendapatnya Imam Ahmad, ia berkata, “Tidak membuat saya takjub” lalu Imam Ahmad ditanya, “Mengapa?”. Ia pun menjawab, “Sumbernya tidak ada yang shahih” sambil mengibaskan tangannya seperti orang yang mengingkari. (Al-Mughni :2/132)
Imam Nawawi berkata: “Pendapat yang menyatakan bahwa shalat tasbih itu ‘dianjurkan’, perlu dikaji lebih lanjut, karena hadistnya dha’if begitu juga di dalamnya ada perubahan gerakan shalat. Maka seharusnya janganlah melaksanakan suatu amalan tanpa adanya hadits. Dan hadits yang berkaitan dengan shalat tasbih tidaklah sah.”. (Al-Majmu’ : 3/548)
Penulis berkata: Pendapat yang terakhir adalah yang rajih, karena tidak adanya hadits shahih mengenai shalat tasbih, begitu juga karena di dalamnya terdapat pertentangan dengan gerakan shalat. Namun siapa yang telah berijtihad –dan orangnya memiliki kapasitas berijtihad– bahwa hadits di atas shahih maka disunnahkan baginya untuk melaksanakannya. Adapun pendapat kedua yang menghukumi “bolehnya” shalat tasbih walaupun hadistnya dha’if maka pendapat ini lemah. Dikarenakan dua alasan:
Yang benar bahwa hadist dha’if itu tidak dipakai sama sekali, baik itu dalam amalan tambahan ataupun yang lainnya. Ini merupakan madzhab peneliti dari para ulama, begitu pun dengan Madzhab Al-Bukhari, Muslim, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm, dan yang lainnya. (Tamamul-Minnah (hal. 34), dan Mukaddimah Shahihut-Targhib (1/16-36)
Yang mengatakan bolehnya memakai hadist dha’if dalam amalan tambahan, mereka pun telah menentukan beberapa syarat. Di antaranya, amalan tersebut haruslah menginduk di bawah amalan syar’i. Maka kedudukannya menjadi suatu pekerjaan yang sudah ditentukan dan disyariatkan dari dasarnya. Sedangkan shalat dengan tata-cara seperti ini tidak ada ketetapannya melainkan dari hadits di atas saja. Maka tidak dapat kita amalkan dengan alasan sebagai amalan tambahan, karena hal tersebut tidak disyariatkan.
Catatan Penting: Karena itu pendapat yang mengatakan bahwa shalat tasbih itu disyaria’tkan kemudian melaksanakannya pada malam ke-27 Ramadhan secara bersama-sama di masjid, maka pekerjaan seperti ini adalah bid’ah yang tidak ada landasannya. Wallahu A’lam.