Fikroh.com – Kerajaan Saudi Arabia termasuk negara-negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Suranta A Rahman menyebutkan bahwa walaupun berusaha dihalang-halangi oleh perwakilan pemerintah Belanda, Raja Abdul Aziz Ibn Saud menyerahkan surat pengakuan tersebut pada tanggal 21 November 1947. (Suranta A. Rahman, “Diplomasi RI di Mesir dan Negara-negara Arab pada tahun 1947”, Jurnal Wacana Vol 9, No. 2, Oktober 2007, hlm. 170)
Namun sesungguhnya hubungan erat Saudi dan Indonesia telah terjalin lebih awal daripada itu. Dua puluh satu tahun sebelum pengakuan kemerdekaan tersebut, Raja Saudi pernah bertemu dengan dua tokoh muslim dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Pertemuan ini disebutkan oleh almarhum Buya Hamka dalam tafsir beliau. (Hamka, Tafsir Al Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional, t.t.), jilid 8, hlm. 6262-6263)
Di tahun 1934, Hamka baru saja menunaikan tugas jadi muballigh dan Guru Muhammadiyah di Makassar. Setelah melaksanakan tugas tersebut, Hamka kemudian bertemu dengan KH. Muhammad Sudjak di rumah beliau di Kauman Dalam. KH. Muhammad Sudjak, salah satu tokoh besar Muhammadiyah. Beliau murid KH. Ahmad Dahlan dan inspirator berdirinya Rumah Sakit PKU. Dari Kiai Sudjak inilah Hamka mendapatkan cerita.
Pada tahun 1345 Hijriyah atau 1926 Masehi, setahun setelah Raja Abdul Aziz Ibn Saud menduduki Hijaz dan mengalahkan Kerajaan Syarif Husain dan putera-puteranya, naik hajilah ke Makkah dua orang pemimpin Islam Indonesia yang terkenal di masa itu, yaitu Omar Sa’id Cokroaminoto sebagai Pembangun dan Pemimpin Partai Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur Pemimpin dan Ulama Muhammadiyah. Kedua tokoh ini dapat berhadapan muka dengan Raja Abdul Aziz yang sedang berada di puncak kemenangannya.
Belanda Berusaha Menjelek-jelekkan Si Dan Muhammadiyyah
Sebelum beliau berdua diterima menghadap, Raja Ibn Saud lebih dahulu mencari keterangan- keterangan tentang kedua gerakan itu, Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Beliau juga mencari tahu tentang pribadi kedua pemimpin besar itu. L
Zaman itu adalah zaman penjajahan. Tentu saja ada suara-suara “kurang enak” yang disampaikan orang tentang kedua gerakan itu dan pribadi kedua beliau. Apalagi Pemerintah Belanda memiliki konsulat di Jeddah dan Vice Konsulnya seorang Pegawai Bumiputera di Makkah.
Sebagai muslim yang baik, Raja Abdul Aziz tidak langsung menerima kabar dari pihak Belanda. Beliau kemudian memanggil salah seorang yang ulama yang beliau percaya. Ulama kepercayaan sang Raja ini bernama Syaikh Abdul Aziz Al ‘Atiiqy. Syaikh Abdul Aziz ini adalah ulama wahhabi yang telah melanglang buana. Di tahun 1925, Syaikh Al Atiiqi bahkan sudah pernah ke Jawa dan bertemu langsung dengan kedua tokoh tersebut.
Syaikh Abdul Aziz Al ‘Atiiqiy kemudian menjelaskan kepada Raja Abdul Aziz,
“Sarekat Islam adalah satu gerakan penantang penjajahan Belanda dan membuka mata seluruh Muslimin di Tanah Jawa itu.
Adapun Muhammadiyah adalah gerakan agama yang menegakkan Mazhab Salaf seperti gerakan Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab juga.
Kedua gerakan itu sangat berpengaruh di negeri itu. Yang pertama berat kepada politik, dan yang kedua berat kepada membangun Roh Islam agar kembali kepada Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar keterangan dari Syaikh Al Atiiqy itu barulah Raja Abdul Aziz mendapat kejelasan tentang latar belakang dari kedua tokoh Islam tersebut.
HOS Cokroaminoto dan KH. Has Mansur pun diterima oleh sang raja dengan begitu hangat sesuai dengan adat-istiadat Arab yang asli dalam menerima tamu. Tidak banyak kesulitan protokol, apalagi K.H. Mas Mansur lancar sekali berbahasa Arab.
Kesan Raja Terhadap Hos Cokroaminoto Dan KH. Mas Mansoer
Pertemuan tersebut memberikan kesan yang begitu mendalam pada diri sang raja. Raja Abdul Aziz pun memuji kedua tokoh ini.
“Aku melihat cita-cita dan harapan kedua gerakan Islam di Jawa itu tergambar dalam pribadi kedua pemimpin itu. Dahulu masyarakat Arab menyebut wilayah nusantara dengan nama Jawa
Aku menampak kegagahan dan ketangkasan Sarekat Islam berjuang melawan penjajah asing terbayang pada pribadi Syaikh Syukri Amin (Cokroaminoto); pada suaranya yang bulat, pada ketegasan sikapnya dan pada matanya yang menunjukkan keperkasaan!
Dan perjuangan Muhammadiyah hendak menegakkan paham Salaf dan berpegang pada ajaran Islam yang asli terbayang jelas sekali pada tawadhunya Syaikh Mansur, lemah lembut sikapnya, fasih lidahnya berbahasa Arab dan luas ilmu agamanya.
Yang pertama seorang ahli perjuangan yang gagah!
Yang kedua seorang ulama yang besar!”
Raja Abdul Aziz kemudian berdoa, “Moga-moga Tanah Jawa akan mencapai cita-citanya.
الجاويون رجال طيبون
“Al-Jawiyyuuun rijaal thayyibuun, orang Jawa orang baik-baik semua.”
Demikianlah kisah pertemuan dua tokoh islam Indonesia, bahkan founding father negara kita dengan Raja Saudi dan dukungan serta harapan sang Raja agar rakyat Indonesia bisa memperoleh kemerdekaannya. Dukungan yang kemudian diwujudkan dengan pengakuan kemerdekaan dari Saudi di awal negeri ini berdiri.
Oleh: Wira Mandiri Bachrun