Fikroh.com – Suatu kali Imam Taqiyyuddin Ibn As Subki menyaksikan perdebatan di hadapan beliau, antara Shadruddin Ibn Al Khaburi Asy Syafi’i dan ‘Alauddin Ibn At Turkamani Al Hanafi.
At Turkamani : “Saya heran dengan pendapat Syafi’iyyah, katanya Basmalah itu ayat dari setiap surat Al Qur’an, padahal syarat bisa ditetapkan sebagai bagian Al Qur’an kan harus mutawatir?!”
Al Khaburi : “Para Shahabat telah ijma’ bahwa tidak boleh ada yang ditulis dalam mushaf selain Al Qur’an, bahkan titik dan syakal saja tidak boleh ada. “Kalo ini, memang saat itu belum ada inovasi titik huruf dan syakalnya”, kata Syech Aiman. Sedangkan mereka menulis Basmalah dengan khat/font yang sama dengan yang digunakan menulis ayat Al Qur’an. Jadi seandainya Basmalah itu bukan bagian dari Al Qur’an niscaya mereka tidak akan melakukan hal itu. Berarti ini (Basmalah bagian dari Al Qur’an) adalah ijma’ mereka.”
At Turkamani : “Para Shahabat menulis Basmalah itu sebagai fashal/ pemisah antara dua surat.”
Al Khaburi : “Itu pendapat bathil. Karena mereka menulisnya juga di awal surat Al Fatihah, padahal surat ini tidak didahului surat lainnya sehingga tidak membutuhkan fashal. Sedangkan mereka tidak menulisnya di awal surat Bara-ah padahal surat ini (yang membutuhkan fashal karena) didahului surat lainnya. Toh jika tujuannya untuk fashal/ pemisah antar dua surat maka penulisan nama surat di awal seharusnya sudah cukup?!.”
At Turkamani : “Tapi tujuannya juga untuk tabarruk.”
Al Khaburi : “Kalo seperti itu niscaya meletakkan basmalah di awal ayat Bara-atu ‘Aisyah (ayat yang membebaskan Sayyidah ‘Aisyah dari haditsul ifki) tentu lebih tepat, karena kebahagiaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas turunnya ayat itu?!”
At Turkamani : “Basmalah itu juga merupakan surat pendek yang diletakkan diantara setiap surat.”
Al Khaburi : “Pendapat ini juga bathil. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat tertidur sekejap dan mendapatkan wahyu surat Al Kautsar beliau berkata “Saya baru saja menerima satu surat…” lalu beliau membaca surat Al Kautsar dengan bismillah, jadi seandainya seperti pendapat Anda tadi niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan berkata “Saya baru saja menerima dua surat..”, surat Al Kautsar dan surat basmalah.”
At Turkamani : “Oke. Kita kan sepakat bahwa barangsiapa mengingkari satu huruf saja dari Al Qur’an maka ia telah kafir. Sedangkan kami (pengikut madzhab Hanafi) mengingkari Basmalah sebagai bagian dari setiap surat Al Qur’an, kenapa kalian tidak mengkafirkan kami?.”
Al Khaburi : “Kalo begitu saya balik. Kita kan juga sepakat bahwa siapapun yang menetapkan selain Al Qur’an sebagai bagian dari Al Qur’an maka ia telah kafir. Kami menetapkan Basmalah sebagai bagian Al Qur’an, tapi kalian juga tidak mengkafirkan kami!.”
Selesai perdebatan.
Lalu bagaimana sebenarnya jawaban atas pertanyaan terakhir ini?, Siapa yang kafir?, Yang mengingkari Basmalah sebagai bagian dari setiap surat ataukah yang menetapkannya?
Para Ulama berkata : Keduanya tidak ada yang dianggap kafir, baik yang mengingkari ataupun yang menetapkan. Ini adalah ijma’ Ulama. Kenapa tidak ada yang kafir? Sebab dalil ketetapan basmalah sebagai bagian dari setiap surat, termasuk surat Al Fatihah, itu masih zhanni, bukan qath’i, sedangkan tidak boleh mengkafirkan seseorang hanya berdasar dalil zhanni.
Namun ada juga ulama yang menjelaskan bahwa keduanya, iya keduanya, baik yang mengingkari ataupun yang menetapkan, sebenarnya dalil mereka sama² qath’i dan sama² mutawatir. Hal ini sebagaimana penjelasan dari para ulama mutaakhirin.
Kog bisa dua hal yang bertentangan sama² mutawatir?, Bisa saja, dan itu sama sekali bukan hal aneh. Begini, Al Qur’an itu diturunkan “ala sab’ati ahruf”, dan juga diturunkan beberapa kali, sekali turun ada ziyadah/ penambahan, dan sekali turun lagi ternyata ada pengurangan. Seperti kata ملك pada surat Al Fatihah misalnya, sekali turun dibaca panjang mimnya, “Maaliki..”, dan di lain waktu turun dengan mim dibaca pendek, “Maliki..”. Dan semua orang yakin bahwa baik yang membaca panjang mim ataupun yang membacanya pendek keduanya sama² mutawatir.
Maka begitu juga dalam masalah basmalah ini. Diantara “sab’ati ahruf” itu ada yang menetapkan basmalah, dan diantaranya juga ada yang tidak menetapkan. Keduanya sama-sama mutawatir. Dan keduanya diriwayatkan oleh Qurra’ Sab’ah. Separo dari Imam Qiraat Sab’ah membaca basmalah di awal tiap surat dan separo lainnya tidak membacanya. Padahal semua Qiraat Sab’ah ini mutawatir.
Bahkan Imam Nafi’ sendiri mempunyai dua rawi qiraah, yang satu pakai basmalah dan yang satunya tidak. Ini menunjukkan bahwa keduanya sama-sama mutawatir bagi beliau.
Jadi, mau menetapkan atau meniadakan Basmalah, tidak ada yang dianggap kafir. Wa Allah ta’ala a’lam
Dari kitab Al Balabilus Shadihah fi Aghshani Suratil Fatihah, karya Al Qadhi Abdullah bin Abi Bakr Al Qadri Basyu’aib Al Anshari Al Hadhrami Asy Syafi’i.
Sebagai catatan, yang dibahas disini adalah mengenai Basmalah yang ada di tiap awal surat, termasuk Surat Al Fatihah. Bukan basmalah yang ada di ayat 30 Surat An Naml, kalo yang ini tidak boleh ada yang mengingkarinya sebagai bagian dari Al Qur’an.
Kitab Balabilus Shadihah adalah kitab yang khusus membahas tentang Surat Al Fatihah, terutama tentang cara membacanya dengan benar. Namun sisi-sisi lain tentang surat ini juga dibedah oleh muallif. Kitab ini juga menjelaskan banyak masalah yang masih dianggap membingungkan bagi banyak Ulama. Kata ulama, kitab ini penuh dengan Lathaif, Daqaiq dan ‘Azizil Ma’arif.