Fatwapedia.com – Ada Beberapa hal Yang Berkaitan Dengan Mandi junub yang harus kita pahami. Dimana ada perkara yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mandi junub. Dan berikut ini penjelasan selengkapnya.
1. Tidak Wajib Berwudhu Setelah Mandi.
Seorang yang junub jika selesai mandi sesuai dengan cara syar’i, kemudian ia hendak shalat maka tidak wajib baginya berwudhu, walaupun ketika mandi ia tidak berwudhu. Karena bersuci dari junub telah menggugurkan bersuci dari hadas. Danpenghalang junub lebih banyak dari yang disebabkan oleh hadas. Jadi yang lebih sedikit masuk pada yang lebih banyak.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «لَا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ مِنَ الْجَنَابَةِ.وفي رواية يَغْتَسِلُ وَيُصَلِّي الرَّكْعَتَيْنِ ، وَلَا أَرَاهُ يُحْدِثُ وُضُوءًا بَعْدَ الْغُسْل
“Rasulullah tidak berwudhu setelah mandi junub.”[1] Dalam riwayat lain disebutkan:“beliau mandi kemudian melaksanakan shalat dua raka’at. Dan aku tidak melihatnya berwudhu lagi setelah selesai mandi.”[2]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
إِذَا لَمْ تَمَسَّ فَرْجَكَ بَعْدَ أَنْ تَقْضِيَ غُسْلَكَ فَأَيُّ وُضُوءٍ أَسْبَغُ مِنَ الْغُسْلِ
“Jika kalian tidak menyentuh kemaluan kalian. Wudhu telah terganti oleh mandi.”[3]
Penulis berkata: terkait dengan permasalahan diatas, bahwa tidak wajib bagi yang mandi junub berniat menghilangkan hadas kecil. Dan ini adalah pendapat jumhurulama yang juga dipilih Ibnu Taimiyah.[4]
Sementara menurut pendapat mazhab Hanbali, boleh berniat keduanya, dan jika hanya berniat mandi saja, maka yang satu ini juga sudah dianggap cukup.[5]
Jika ada dua sebab yang menyebabkan wajib mandi. Seperti haid dengan junub, atau junub dengan hari Jum’at. Satu kali mandi dengan niat menghilangkan keduanya sudah cukup menghilangkan junub. Dan ini pendapat jumhur ulama.[6]
Jika ada seorang wanita yang junub kemudian haid sebelum ia sempat mandi. Dalam kasus ini, menurut pendapat ulama yang paling shahih, tidak wajib baginya mandi mengghilangkan junub dulu, dan cukup baginya sekali mandi bersuci dengan niat menghilangkan keduanya. Ini adalah pendapat Mazhab Imam Ahmad. Sementara sebagian ulama lain berpendapat harus bersuci mandi pada keduanya haid dan junub. Jika seorang wanita junub maka wajib baginya menghilangkan junub. Dan jika selesai dari haidnya, ia wajib mandi lagi.
Ada lagi ulama lain yang berpendapat: diwajibkan bagi wanita yang haid mencucikemaluannya, kemudian jika telah suci, ia wajib mandi. Dan dari sekian pendapat, pendapat pertamalah yang lebih tepat.
Ini tidak menafikan bagi yang ingin mandi karena junub, kemudian bersuci lagi karena haid, tetapi ini tidak diwajibkan.
2. Laki-laki boleh mandi dengan air sisa yang digunakan wanita.
Tak masalah suami atau istri menggunakan air bekas mandi pasangannya untuk meandi janabah
3. Suami boleh mandi bersama istrinya, dan boleh saling melihat aurat pasangannya tidaklah makruh,
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah:
وكُنْتُ «أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فَيُبَادِرُني، حتى أقول: دَعْ لي، دع لي، قال: وكلانا جُنُبَان
“Aku pernah mandi bersama Rasulullah dari satu bejana. (Tangan kami saling bersentuhan dan tangan beliau mengambil air, hingga aku mengatakan, ‘Tinggalkan untukku! Tinggalkan untukku!’ dan kami dalam keaadaan junub”.[1]
Tidak boleh mandi tanpa berpakaian di depan orang banyak. Kecuali jika tersembunyai dari pandangan orang banyak saperti dalam kamar mandi. Ini seperti disebutkan dalam hadits Maimunah Ra.; “aku menyiapkan air dan tempat mandi untuk Rasulullah kemudian aku menutupinya (ruangannya), kemudian beliau mulai mencucitangannya”. Dalam salah satu hadits nabi disebutkan bahwa nabi Musa ‘alaihissalamdan nabi Ayub ‘alaihissalam pernah mandi tanpa berpakaian, tetapi dalam kondisi tersembunyi.[2]
4. Berhadas ketika mandi
Seorang yang junub jika saat ia mandi tiba-tiba berhadas, ia menyelesaikan mandinya dan tidak perlu mengulangnya. Karena hadas tidak mempengaruhi dan menggugurkan sahnya mandi. Yang perlu dilakukan jika berhadas cukup dengan berwudhu. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama seperti ‘Atha, Tsaury yang mirip dengan pendapatnya mazhab Syafi’I, juga yang dipilih oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Mundzir.[3]
Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Junub
Orang yang junub boleh menunda mandinya. Dan tidak harus menyegerakan mandi ketika baru junub, walaupun menyegerakannya memang lebih baik dan afdhal.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ المَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ، فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ: «أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ» قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا، فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللَّهِ، إِنَّ المُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
“Bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah di salah satu jalan di kota Madinah sementara ia dalam keadaan junub. Ia bersembunyi dari beliau kemudian pergi mandi junub. Kemudian ketika bertemu lagi dengan Rasulullah beliau bertanya: “dari mana engkau? Abu Haurairah menjawab: sewaktu itu aku dalam kondisi junub, tidak suci wahai Rasulullah. Rasulullah pun menimpali: Subahanallah! Seorang muslim sama sekali tidaklah najis”.[4]
Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu :
كَانَ «يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ، فِي اللَّيْلَةِ الوَاحِدَةِ، وَلَهُ يَوْمَئِذٍ تِسْعُ نِسْوَةٍ»
“Bahwa Rasulullah pernah menggilir para istrinya dalam satu malam. Ketika itu beliau memiliki sembilan istri.”[1]
Mandi junub diutamakan segera ketika hendak shalat, sementara Rasulullah mungkin tertidur sebelum mandi.
4. Orang yang junub boleh tidur sebelum mandi dengan syarat ia berwudhu.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ia berkata;
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ، وَهُوَ جُنُبٌ، غَسَلَ فَرْجَهُ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ
“Rasulullah, jika hendak tidur sementara ia dalam keadaan junub, ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu sebagaimana hendak shalat.”[2]
‘Aisyah pernah ditanya oleh Abdullah bin Qais, ia berkata: “bagaimanakah cara Rasulullah mandi junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur atau setelahnya?. Aisyah menjawab: beliau pernah melakukan keduanya. Kadang beliau mandi kemudian tidur, dan kadang hanya berwudhu kemudian tidur. Abdullah berkata: Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melapangkan dalam masalah ini.[3]
5. Orang junub boleh membaca Al Qur’an dan menyentuh mushaf.
Apakah orang yang sedang junub atau wanita haid boleh memasuki masjid dan berdiam di dalamnya?.
Jumhur ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali) kecuali mazhab zhohiry, berpendapat tidak boleh masuk masjid serta berdiam diri di dalamnya bagi orang yang sedang junub dan wanita haid. Dan pendapat ini dikutip dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.[4]
Adapun landasannya sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS an-Nisaa’: 43)
Mereka menafsiri ayat ini: bahwa yang dimaksud dengan shalat dalam ayat tersebut adalah tempat-tempat didirikannya shalat, yaitu masjid. Adapun pelarangan memasuki masjid bagi wanita yang sedang haid atau nifas diqiyaskan dengan orang junub yang tertera dalam ayat tersebut.
Sedangkan ulama lain berpendapat beda dengan menganggap bahwa pendapat jumhur diatas adalah satu penafsiran para ulama salaf terhadap ayat tersebut. Adapun mereka dalam menafsirkan ayat tersebut dengan mengartikan bahwa katashalat dalam ayat adalah ibadah shalat, bukan bermakna masjid. Maka, makna ayat tersebut adalah: janganlah kalian menunaikan shalat sementara kalian sedang junub, kecuali jika kalian telah mandi atau jika sedang berada dalam perjalanan maka bertayamumlah. Karenanya, ayat yang turun sesudahnya menegaskan ini :
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu.” (QS. An-Nisaa: 43)
Adapun dalam pengqiyasan wanita haid dengan orang junub ada yang perlu diperhatikan. Seorang wanita haid dalam keadaan uzur tidak mungkin mandi kecuali jika telah suci, sementara ia tidak dapat menghentikan haidnya. Berbeda dengan orang junub yang dapat mandi segera.
Hadits Jasrah Binti Dajajah yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang junub dan wanita haid.”[1]
Dan sebaliknya ulama yang membolehkan berpendapat bahwa hadits tersebut statusnya dha’if yang tidak dapat dijadikan dalil. Dan hadits tersebut berkisar pada Jasrah, riwayatnya seorang diri yang tidak bisa diterima.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Atiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata:
“Bahwa Rasulullah menyuruh para gadis, ibu-ibu dan wanita-wanita haid untuk keluar (dari rumah-rumah mereka) untuk menghadiri shalat ‘ied agar menyaksikan kebahagian dan dakwah kaum muslimin. Sementara wanita-wanita haid diperintah untuk menjauh dari tempat shalat.”[2]
Mereka menambahkan; jika tempat shalat id saja dilarang seperti ini, terlebih lagi masjid.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud mushalla disini adalah ibadah shalat. Karena Rasulullah dan para sahabat sewaktu itu melaksanakan shalat ‘id di lapangan bukan di dalam masjid. Sementara bumi ini semuanya masjid (tempat untuk shalat) karenanya, tidak tepat jika pelarangan shalat dikhususkan pada masjid tertentu, sementara pada masjid lain tidak.
Dan juga dalam hadits ini terdapat riwayat lain dengan redaksi : sementara wanit-wanita haid diperintah untuk menjauhi shalat. Riwayat ini dapat ditemukan dalamShahih Muslim dan lainnya.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي المَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Rasulullah pernah mengeluarkan kepalanya kepadaku saat beliau sedang I’tikaf di masjid,lalu aku menyisir rambut beliau padahal aku sedang haid.”[1]
Mereka menambahkan: Aisyah enggan menuruti perintah beliau karena ia berada dalam masjid sementara ia sedang haid.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hadits tersebut tidak jelas. Karena mungkin ‘Aisyah tidak masuk masjid bukan karena haid, tapi karena di dalam masjid ada banyak laki-laki atau alasan lain.