Fatwapedia.com – Kapan orang yang memiliki hadats besar seperti junub boleh bertayamum? Apa syarat dan ketentuannya?
Tayamum Karena Sakit/dingin
Boleh bagi orang junub yang takut bersuci dengan air karena sangat dingin untuk bertayamum, seperti halnya orang yang sedang sakit. Ini mazhab jumhur ulama[1], yang melandaskan pendapatnya pada dalil-dalil berikut:
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan Janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa’: 29)
Hadits dari Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu ketika ia berada dalam perang Dzat as-Salasil:
احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِي غَزْوَةِ ذَاتِ السُّلَاسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ، ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟» فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي مَنَعَنِي مِنَ الِاغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّي سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ: {وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا} [النساء: 29] فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
“Aku mimpi basah pada malam yang sangat dingin pada saat aku di utus perang Dzatus Salasil. Aku yakin sekali bila mandi pastilah celaka. Maka aku bertayammum dan shalat shubuh mengimami para Shahabat lainnya. Ketika kami tiba kepada Rasulullah, mereka menanyakan hal itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya, “Wahai Amr, Apakah kamu mengimami shalat dalam keadaan junub?” Aku menjawab, “Aku ingat firman Allah [Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu], maka aku tayammum dan shalat.” (Mendengar itu) Rasulullah tertawa dan tidak berkata apa-apa.”[2]
Derajat hadits ini masih menjadi perdebatan, dan pendapat paling rajih adalah dhaif. Namun, hadits ini sesuai dengan kaidah syariat, serta dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wata’ala :
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu” (QS. Al-Maidah: 6)
yang letaknya dalam al-Qur`an setelah ayat tentang tayamum, yang mengisyaratkan bahwa tayamum boleh dilakukan ketika ada kesulitan dalam memakai air. Dan tidak diragukan lagi bahwa air yang sangat dingin menjadi salah satu kesulitan tersebut. Namun, perlu diperhatikan bahwa keringanan untuk bertayamum boleh jika tidak bisa menghangatkan air. Wallahu A’lam.
Tayamum Karena Waktunya Sempit
Jika waktunya sempit, dan dikhawatirkan waktu shalat akan luput jika Ia Bersuci dengan Air, bolehkah dia Bertayamum?
Ada dua pendapat ulama tentang orang yang sedang dalam waktu yang sangat sempit, yang jika ia bersuci dengan air maka akan terlewatkan waktu shalatnya, apakah boleh baginya untuk bertayamum:
Pendapat Pertama: Ia tidak boleh bertayamum meskipun akan kehilangan waktu shalat. Ini pendapat mazhab Syafii, Hanbali dan pendapat Abu Yusuf,[1] mereka berdalil:
Firman Allah Subhanahu wata’ala:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ…فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah mukamu…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS. Al-Maidah: 6).
Mereka berpendapat, bahwa tidak adanya air menjadi syarat bolehnya tayamum.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
“Bahwa Rasulullah bersabda: Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kamu apabila ia berhadas, hingga ia berwudhu’.”[2]
Hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, secara marfu’
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ ، وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari pengkhianatan”[3]
Dari dalil-dalil diatas, mereka berpendapat bahwa seorang muslim diperintahkan untuk bersuci dengan air jika telah datang waktu shalat. Jika waktu tersebut terlewatkan -baik karena malas atau suatu alasan lain- maka dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Pendapat Kedua: Boleh baginya bertayamum lalu mendirikan shalat sebelum waktu shalat habis. Ini pendapat Auza’i, Malik, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah.[4] Sementara mazhab Hanafi membolehkannya dengan syarat bahwa shalat yang akan dikerjakan merupakan shalat yang tidak bisa digantikan, misalnya shalat janazah.[5] Mereka berdalil dengan:
Hadits Abu Juhaim al-Anshari, ia berkata:
أَقْبَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الجِدَارِ، فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Rasulullah kembali dari Bi’r Jamal (sebuah kota terkenal dekat kota Madinah) lalu seseorang bertemu dengan beliau seraya mengucapkan salam, Nabi tidak menjawabnya hingga beliau menemukan tembok dan mengusap wajah dan tangannya baru kemudian menjawab salam orang itu.”[1]
Menurut mereka, bahwa ini dalil utama bolehnya bertayamum karena khawatir akan kehilangan waktu shalat.
Ibnu Abdil Barr berkata, bagi orang yang tidak menemukan air dan khawatir waktu shalat terlewatkan, jika ia sakit atau musafir boleh baginya bertayamum. Jika tidak demikian, maka ia pun seperti mereka.[2]
Ibnu Taimiyah berkata, pendapat ulama paling benar dalam masalah ini, adalah boleh bagi setiap ibadah yang khawatir terlewatkan waktunya, seperti shalat jenazah dan shalat Id. Karena melaksanakan shalat dengan tayamum lebih baik dari meniggalkan shalat. Begitu juga jika seseorang tidak bisa melaksanakan shalat Jamaah yang wajib kecuali dengan bertayamum, boleh untuk melaksanakan shalat tersebut dengan bertayamum.
Penulis berkata: Pendapat yang lebih baik dalam masalah ini adalah bolehnya tayamum. Sebab, tayamum disyariatkan agar seseorang bisa mendapati waktu shalat ketika khawatir akan terlewatkan. Wallahu A’lam.
Orang yang bangun tidur ketika waktu shalat hampir habis, bolehkah dia bertayamum?
Ada dua pendapat dalam permasalahan seseorang yang bangun tidur ketika waktu shalat hampir habis, lalu ia bertayamum[3]:
Pertama: Ia boleh bertayamum lalu melaksanakan shalat. Ini pendapat Malik, Auza’i, Tsauri dan Ibnu Hazm.
Kedua: Ia harus tetap bersuci dengan air, kemudian melaksakan shalat meskipun waktunya telah habis. Ini pendapat mayoritas ulama: Abu Hanifah, Syafii, Ahmad, dan salah satu pendapat Malik. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam.
Pendapat yang terakhir adalah yang rajih, sebab waktu yang dimilikinya adalah setelah ia bangun dari tidurnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sesungguhnya tidak ada kelalaian dalam tidur, tapi kelalaian itu adalah orang yang tidak shalat hingga datang waktu shalat berikutnya. Maka, jika seseorang tertidur, hendaklah segera mengerjakannya setelah terbangun.”[1]
Ibnu Taimiyah berkata, jika seseorang bangun tidur sebelum matahari terbit, sehingga tidak memungkinkan baginya mandi dan shalat kecuali setelah matahari terbit, hendaknya ia shalat pada waktunya sehingga tidak meninggalkannya. Berbeda dengan seseorang yang bangun di awal waktu, maka ada waktu cukup baginya dan tidak boleh melewatkan waktu shalat tersebut.”[2]
Footnote:
[1] Al-Mabsuth (1/122), al-Majmu (2/330), al-Istidzkar (3/137), al-Mughni (1/163), al-Muhalla (2/134) dan Majmu al-Fatawa (21/399)
[2] Hadits Riwayat: Abu Daud (334), Ahmad (4/203), Daruquthni (1/178), Hakim (1/177) dan Al-Baihaqi (1/225). Dhaif. Hadits ini ada illatnya pada matan dan sanadnya. Namun, dishahihkan oleh Albani dalam al-Irwa (1/182) dengan alasan yang tidak bisa diterima.
[1] Al-Mughni (1/116), al-Majmu (2/280), al-Istidzkar (3/171) dan Tamam al-Minnah (132)
[2] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (6954) dan Muslim (526)
[3] Hadits Riwayat: Muslim (524), Tirmidzi (1) dan Ibnu Majah (272)
[4] Al-Mughni (1/166), al-Muhalla (2/117), Majmu al-Fatawa (21/439, 456) dan al-Ausath (2/30)
[5] Al-Mabsuth (1/188-189)
[1] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (337) dan Muslim (800)
[2] Al-Istidzkar (1/171)
[3] Al-Ausath (2/30), al-Muhalla (2/117) dan Majmu al-Fatawa (22/35-36)
[1] Hadits Riwayat: Muslim (1532) dan Abu Daud (437). Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Seseorang yang lupa shalat, hendaknya ia segera mengerjakannya ketika ia mengingatnya, dan tidak ada qadha selain shalat itu”. Dalam lafadz Muslim dari hadits Anas bin Malik disebutkan “Seseorang yang lupa shalat atau tertidur, makakafaratnya adalah dengan melaksanakan shalat tersebut ketika ia mengingatnya”.
[2] Majmu’ al-Fatawa (22/35)