Fatwapedia.com – Kita mungkin mengenal kisah Khalid bin Walid radiallahu’anhu yang tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran.
Kita juga mungkin telah mendengar kisah penaklukan suatu kota Romawi oleh Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim yang disebabkan oleh teriakan minta tolong seorang muslimah.
Saat membahas kisah hidup Al Hajib Al Mansur, kita akan mendapati kisah gemilang seperti yang ditorehkan Khalid bin Walid ataupun Al Mu’tashim tersebut diantara berbagai kisah gemilang yang telah tokoh ini torehkan. Ia merupakan panglima perang dan penguasa Andalusia yang disejajarkan dengan khalifah Umayyah Andalusia Abdurrahman An Nashir.
Ia bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Amir bin Abi Amir. Nasabnya tersambung hingga Abdul Malik Al Ma’afiry, salah seorang pasukan Arab yang memasuki Andalusia bersama Thariq bin Ziyad. Sementara ibunya bernama Buraihah binti Yahya dari kabilah Bani Tamim. Keluarga kecil ini bermukim di bagian selatan Andalusia.
Muhammad bin Abi Amir tumbuh di tengah keluarga yang taat beragama. Ia mempelajari ilmu hadits dan sastra dengan tekun kemudian pergi ke kota Cordova. Di Cordova ia bekerja sebagai juru tulis Qadhi Muhammad bin Ishaq. Berawal dari situ, Ibnu Abi Amir lalu dekat dengan lingkungan istana pemerintahan Kekhalifahan Umayyah Andalusia. Ia diberi amanah untuk menjadi pengajar putra-putra Khalifah Al Hakam Al Mustansir.
Kemudian ia ditunjuk untuk menduduki beberapa posisi penting di jajaran pemerintahan antara lain; Lembaga pencetakan uang, Lembaga kekayaan umum dan kewarisan, Qadhi untuk daerah Sevilla dan Lablah dan Qadhi Al Qudhat (Ketua Hakim) untuk Afrika Utara.
Pada bulan Shafar 366 H, Khalifah Al Hakam Al Mustansir meninggal dunia. Kekuasaan berlanjut di tangan anaknya yang masih sangat belia, Hisyam Al Muayyid. Mengetahui situasi politik di tubuh Kekhalifahan Andalusia, kerajaan-kerajaan Kristen segera berkoalisi dan mulai menyerang wilayah-wilayah kaum muslimin.
Sang Khalifah yang masih kecil serta para pejabat istana yang takut dan enggan untuk berjihad membuat serangan-serangan koalisi Kristen tersebut tidak mendapatkan perlawanan hingga mereka berhasil mendekati kota Cordova yang merupakan ibukota Kekhalifahan Andalusia.
Muhammad bin Abi Amir sangat kecewa terhadap orang-orang Kekhalifahan, seolah kaum muslimin telah kehabisan kaum pria untuk turun ke medan pertempuran. Dengan penuh keberanian, Ibnu Abi Amir meminta perdana menteri saat itu, Ja’far Al Mushafi untuk menyiapkan pasukan guna menghadang serangan koalisi kristen.
Pada bulan Rajab 366 H, Ibnu Abi Amir memimpin pasukan islam dan bergerak meninggalkan Cordova. Ia menjadi panglima padahal belum pernah merasakan debu pertempuran sebelumnya. Namun kejadian luar biasa terjadi, Ibnu Abi Amir berhasil meraih kemenangan berturut-turut bahkan memaksa pasukan koalisi kristen untuk kembali ke tempat asal mereka. Pasukannya meninggalkan Cordova selama lima puluh satu hari dan kembali dengan ghanimah dan tawanan yang sangat banyak.
Setelah keberhasilan tersebut, Ibnu Abi Amir dipercayakan mengepalai pasukan Al Hadhirah -pasukan khusus Cordova-. Masyarakat dan para prajurit mencintai serta hormat padanya. Pada hari raya idul fitri di tahun yang sama, Ibnu Abi Amir kembali meninggalkan Cordova dan bergerak ke kawasan kerajaan Castille untuk mengepung salah satu benteng Kristen.
Lagi-lagi ekspedisi militer Ibnu Abi Amir berhasil menorehkan kemenangan. Saat kembali ke Cordova, ia diangkat menjadi gubernur ibukota kekhalifahan. Pada tahun 367 H, Ibnu Abi Amir kembali menyerang wilayah Kristen di Utara Andalusia dan berhasil meraih kemenangan.
Kemenangan demi kemenangan ini membuat Ibnu Abi Amir makin dicintai dan dihormati, bukan saja oleh masyarakat dan prajuritnya, namun juga oleh Khalifah Hisyam Al Muayyid. Terbukti dengan perlakuan Khalifah yang menurunkan perdana menteri sebelumnya dan menggantinya dengan Muhammad bin Abi Amir.
Kedudukan Muhammad bin Abi Amir pun semakin kokoh. Ia dicintai rakyat, dihormati prajuritnyanya dan juga selalu keluar memimpin pasukan untuk menyerang musuh. Di sisi lain kursi Kekhalifahan diisi oleh seorang yang masih belia. Hal ini menjadikan segala urusan pemerintahan berada di bawah titah langsung sang perdana menteri Ibnu Abi Amir.
Masa ini disebut juga dengan masa Daulah Amiriyah dan berlangsung selama 33 tahun (366-399 H). Masa ini berarti Kekhalifahan Umayyah Andalusia hanya sebagai formalitas dan simbol persatuan kaum muslimin Andalusia.
Periode dimana Ibnu Abi Amir menjabat merupakan masa dimana pemerintahan islam sangat kuat dan disegani. Hati para musuh diisi ketakutan akan pasukan Islam. Muhammad bin Abi Amir memiliki berbagai kisah menakjubkan dalam jihadnya, yang memperlihatkan kemuliaan Islam di mata musuh-musuhnya. Beberapa kisah tersebut antara lain:
Tak Terkalahkan Dalam Pertempuran
Terhitung 54 pertempuran telah ia pimpin semasa hidupnya dan tak pernah satu kali pun pasukannya merasakan kekalahan -dengan izin Allah-. Kerajaan Kristen Castille dan Leon adalah yang paling banyak merasakan ketangguhan pasukan islam di masa ini. Bahkan ibukota Leon hampir saja runtuh oleh serangan kaum muslimin pada tahun 371 H. Di tahun ini pula, Ibnu Abi Amir menggelari dirinya sendiri dengan sebutan “Al Hajib Al Mansur”.
Jika Al Hajib Al Mansur melakukan penyerangan terhadap kawasan kristen, maka tidak ada pasukan musuh yang bisa membendungnya. Hal itu membuat raja-raja Kristen menjalin perjanjian damai dengan Al Hajib Al Mansur dan tidak pernah berpikir untuk mengkhianatinya. Sebagai bukti kesetiaan para raja Kristen tersebut, terkadang mereka menyuruh putra-putra mahkota mereka untuk membantu Al Hajib Al Mansur dalam peperangan-peperangannya.
Menyerang Kerajaan Kristen Akibat Persoalan Kehormatan Muslimah
Al Hajib Al Mansur mengirim seorang utusan kepada penguasa kerajaan Kristen Navarre yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin. Saat berada di kawasan kerajaan Navarre, sang utusan melewati sebuah gereja yang didalamnya terdapat tiga wanita muslimah.
Rupanya para muslimah tersebut ditawan oleh salah seorang prajurit Navarre. Sang utusan langsung kembali ke Cordova untuk melaporkan apa yang baru saja ia lihat.
Mengetahui perihal tiga muslimah tersebut, Al Hajib Al Mansur segera bergerak dengan pasukan dalam jumlah yang besar untuk membebaskan mereka dan memberikan hukuman kepada raja Navarre. Begitu pasukan muslimin berada di depan benteng tapal batas Navarre, raja Navarre segera menemui Al Hajib Al Mansur untuk meminta maaf dan memperbarui perjanjian damai dengan mengatakan, “Para muslimah itu ditawan oleh seorang prajurit kami tanpa sepengetahuan kami. Dan prajurit tersebut telah diberikan hukuman yang pantas.”
Ketiga muslimah yang tertawan akhirnya terbebas dan gereja yang sebelumnya dijadikan tempat untuk menawan mereka dihancurkan sendiri oleh raja Navarre sebagai permohonan maafnya kepada kaum muslimin.
Mendirikan Markas Militer Di Tengah Kawasan Musuh
Di masa Al Hajib Al Mansur berkuasa, jihad ke kawasan musuh Islam sangat diminati. Kebiasaan berjihad kaum muslimin yang sebelumnya hanya satu kali dalam setahun ditambah menjadi dua kali dalam setahun. Satu kali di musim panas dan satu kali di musim semi.
Saat ekpedisi militernya yang kesekian di musim panas, Al Hajib Al Mansur dan pasukannya harus melalui jalan diantara dua gunung yang memiliki akses yang sangat sempit untuk bisa mencapai wilayah musuh di Utara Andalusia. Ketika pasukan Islam telah selesai dengan ekspedisinya dan ingin kembali ke Cordova, ternyata jalan sempit yang merupakan satu-satunya jalan pulang mereka telah disabotase oleh orang-orang Kristen dengan pasukan yang sangat banyak.
Dengan melakukan hal tersebut orang-orang Kristen mengira akan membuat Al Hajib Al Mansur menyerah, namun ternyata Al Hajib Al Mansur meresponnya dengan hal yang tidak mereka duga.
Al Hajib Al Mansur memutar balik ke arah Utara dan menduduki salah satu benteng Kristen disana. Ia mengeluarkan semua penduduknya dan menjadikan benteng tersebut sebagai markas dan membagi-bagi wilayahnya untuk para pasukannya.
Benteng tersebut menjadi pusat aktivitas militer kaum muslimin. Al Hajib Al Mansur membagi pasukannya menjadi beberapa pasukan ekspedisi kecil untuk menaklukan desa-desa di sekitarnya. Kaum muslimin banyak mengambil rampasan perang dan membunuh para prajurit Kristen.
Al Hajib Al Mansur mengumpulkan jasad-jasad prajurit Kristen yang telah terbunuh dan membuangnya ke jalan diantara dua gunung yang telah disabotase orang-orang Kristen. Kejadian ini membuat panglima Kristen ketakutan dan menawarkan akan membukakan jalan untuk pasukan Al Hajib Al Mansur agar bisa kembali ke Cordova. Dengan tegas Al Hajib Al Mansur menolak tawaran tersebut. Ia memutuskan akan tinggal selama sisa tahun yang ada.
Maka selama setahun penuh, markas pasukan Islam berada di kawasan Kristen baru akhirnya Al Hajib Al Mansur kembali ke Cordova.
Panji Islam Yang Tertinggal
Suatu waktu, Muhammad bin Abi Amir memimpin pasukannya memasuki wilayah Kristen di Utara. Kebiasaan di masa Ibnu Abi Amir saat itu, apabila ia mulai berperang maka beberapa panji akan ditancapkan di bukit yang tinggi sebagai tanda keberadaan pasukan Islam.
Maka ditancaplah beberapa panji di beberapa titik, lalu Muhammad bin Abi Amir menyerang benteng-benteng Kristen di kawasan tersebut. Begitu memasuki titik-titik pertahanan kristen, kaum muslimin mendapati kawasan tersebut telah kosong karena para penghuninya dan pasukan penjaga benteng telah lari menyelamatkan diri ke hutan dan lembah-lembah.
Setelah menyisir seluruh kawasan tersebut, Al Hajib Al Mansur menginstruksikan pencabutan panji-panji diatas bukit dan mengarahkan pasukannya ke wilayah lain. Namun ternyata salah satu prajurit lupa mencabut panji yang menjadi tanggung jawabnya.
Melihat ada satu panji islam yang masih berkibar, orang-orang Kristen mengira benteng mereka masih dikuasai pasukan Al Habib Al Mansur. Mereka tetap berada di hutan selama beberapa hari hingga mereka tersadar bahwa panji islam yang berkibar tersebut hanyalah panji yang lupa dicabut oleh kaum muslimin.
Ekspedisi militer ini akhirnya dikenal dengan nama pertempuran Ar royah (panji/bendera).
Seperti itulah kemuliaan Islam dan kaum muslimin saat dipimpin oleh orang yang lurus dan dengan sistem yang benar. Al Hajib Al Mansur Muhammad bin Abi Amir adalah pemimpin yang memegang pedang di tangan yang satu dan Kitab (ilmu) di tangan yang lain. Dengan iman, pengetahuan dan kekuatan, Islam dan kaum muslimin menjadi mulia.
Di akhir hayatnya, Al Hajib Al Mansur berwasiat agar sebuah botol yang telah ia simpan dikuburkan bersamanya. Di dalam botol tersebut terdapat debu-debu yang sebelumnya melekat di tubuh dan pakaiannya ketika bertempur. Debu-debu tersebut telah ia kumpulkan selama 27 tahun ketika melawan kerajaan-kerajaan Kristen di Utara Andalusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ فِى جَوْفِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan bertemu selamanya debu di jalan Allah dengan asap neraka Jahannam atas seorang hamba.”
Oleh: Abdurrahman Al Buthony