Fikroh.com – Pernahkah anda ikut tahlilan tapi diadakan di Tiongkok?
Tentunya ini tak hanya sekedar candaan karena tradisi tahlilan memang ada di negeri Paman Mao. Seperti di Nusantara, peringatan hari ke-7, ke-40, sampai ke-100 pasca kematian almarhum yang disebut Ermaili (尔买里) juga dilaksanakan oleh muslim Tionghoa. Pada pelaksanaannya, seorang Ahong memimpin pembacaan Al-Qur’an ataupun Majmu’ (亥听; Hàitīng) untuk dihadiahkan kepada sang almarhum. Selama pengajian berlangsung, semerbak asap Hio (香; Xiāng) akan menyelimuti seluruh ruangan, lalu setelah acara selesai tamu undangan akan disuguhi makanan serta uang sedekah atas nama sang almarhum.
Beberapa kalangan memandang peringatan hari kematian seorang muslim merupakan pengaruh budaya Tionghoa untuk menghormati leluhur dalam ajaran Kongfusianisme (敬祖; Jìngzǔ). Pemakaian hio saat beribadah juga dianggap sebagian dari pengaruhnya pada Muslim Tiongkok yang bermazhab Hanafi dan berakidah Maturidiyah ini. Pembangunan masjid berbentuk mirip Klenteng serta perayaan keagamaan lain seperti Maulid Nabi Muhammad ﷺ, Hari Asyura, dan kelahiran Siti Fathimah Az-Zahra di dalamnya pun tampak dipengaruhi ide-ide Tiongkok.
Kritik akhirnya muncul dari kaum pembaharu seperti Ikhwani (伊赫瓦尼; Yīhèwǎní) dan Salafi (赛莱菲耶; Sàiláfēiyé). Bahkan penentangan tradisi “ tahlilan ” dan praktik keagamaan muslim Hui lainnya dimasukkan oleh Ma Wanfu ke dalam Sepuluh Doktrin Guoyuan ( 果园十条; Guǒyuán shítiáo ) saat pembentukan Ikhwani. Mereka menilai amalan tersebut adalah bid’ah ( 异端; Yì duān ) akibat sinisasi ( 汉化; Hànhuà ). Muslim Salar bahkan menganggap pembakaran hio saat ibadah yang dilakukan orang Hui dan sebagian suku Uyghur dianggap sebagai kebiasaan orang kafir.
Meski banyak ditentang kaum reformis, para ulama Tionghoa dari berbagai aliran Tarekat Sufi ( 门宦; Ménhuàn ) ataupun Gedimu Hanafi ( 格迪 目; Gédímù ), punya dalil kuat mengenai kegiatan keagamaan mereka. Hujjahnya pun sama seperti yang dipakai oleh ulama Nusantara yang membolehkan kegiatan keagamaan seperti itu. Seperti pemakaian hio saat ibadah yang diqiyaskan dengan bukhur Arab selama penggunaannya tidak melenceng dari Syari’at.
Tuduhan reformis muslim memang cukup beralasan karena Muslim Tionghoa berdiri di atas budaya Tiongkok yang berasal dari Kongfusianisme. Sejak awal Dinasti Ming, kaisar Hongwu memerintahkan orang Hui dan Semu menyesuaikan diri dengan bangsa Han dari segi penampilan hingga urusan pernikahan. Tak pelak asimilasi budaya Tionghoa dengan keislaman pun terjadi sehingga muslim Tionghoa mesti beradaptasi supaya tetap eksis. Maka jangan heran jika muslim Hui selalu membakar Hio saat beribadah, mendirikan masjid mirip Klenteng, atau merayakan Imlek.
Sebenarnya hal tersebut tidak terlalu bermasalah bagi kaum muslimin saat itu karena sejak perkembangan signifikannya di masa dinasti Yuan, Islam telah bersentuhan dengan budaya Konfusius. Pada waktu Dinasti Yuan menaklukkan Yunnan, Gubernur Sayyid Ajjal Syamsuddin Umar menerapkan sinisasi di Yunnan seperti Membangun Klenteng, sekolah Konfusius, dan Wihara bersama dengan pendirian masjid. Dimana penyebaran Islam diwarnai dengan Kongfusianisme tanpa melampaui batasan syariat Islam, mirip dengan metode wali songo di jawa dalam islamisasi Nusantara. Dengan demikian Islam lebih dapat dipahami oleh penduduk Tionghoa. Jadi selain mempelajari agama Islam, tokoh-tokoh muslim seperti Sayyid Ajjal, Zhang Si, Hai Rui, dan Li Zhi menguasai ajaran Kongfusius. Muslim yang terpengaruh ide-ide Kongfusianisme ini disebut Ru Hui (儒回).
Hal demikian membuktikan bahwa Islam dapat menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat tanpa melanggar syariat Islam itu sendiri. Itulah sebabnya kaisar Hongwu memperbolehkan Islam tetap ada di Tiongkok karena sesuai dengan ajaran Kongfusius, tak seperti Manikeanisme dan Nestorian yang dianggap bertolak belakang dengan Kongfusianisme. Hingga sekarang etika Kongfusianisme yang diselaraskan dengan Islam masih dilestarikan oleh kelompok Xidaotang.
Kendati terjadi percekcokan diantara firqah-firqah muslim hingga saat ini, kaum Muslimin Tiongkok tetap mencoba menjaga keharmonisan. Masing-masing dari mereka tetap mempertahankan keislaman di sebuah negeri berhaluan komunis. Malah di sebuah kota, masjid dari dua aliran Islam didirikan berdampingan tanpa ada ketegangan diantara kedua pengikutnya. Andaikata para da’i dahulu tidak menyesuaikan dengan budaya bangsa Han, mungkin Islam telah sirna dari bumi naga timur. Wallahu A’lam Bisshawab.
Oleh: Abu Bakar Ibn Ghazali Al-Kailandari
Referensi:
- Ma-Tong, Abu Yusuf. 2000. Zhongguo Yisilan Jiaopai yu Menhuan Zhidu Shilue. Ningxia: Ningxia Renmin Chuban She.
- Mi-Shoujiang, dan You-Jia. 2017. Islam in China: mengenal Islam di negeri leluhur. Alih bahasa Kurnia NK. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.
- Sen, Tan Ta. 2010. Cheng Ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara. Alih bahasa: Abdul Kadir. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.