Fatwapedia.com – Terkait posisi menghadap kiblat yang benar saat shalat, terdapat dua macam pembahasan sesuai dengan kondisi tempat dimana kita tinggal. Maka dalam masalah Menghadap Kiblat Ada Dua Keadaan:
Pertama: Ia menyaksikan ka’bah secara langsung. Maka wajib baginya mengarahkan matanya dan seluruh tubuhnya menghadap Ka’bah. Dan shalatnya tidak sah –apabila dia shalat di dalam Masjidil Haram dan melihat Ka’bah– namun ia menghadap ke bagian masjidil haram selain Ka’bah.
Kedua: Ia tidak menyaksikan ka’bah secara langsung. Maka wajib baginya mengarah ke arah Ka’bah bukan ke Ka’bahnya itu sendiri, karena ini menurut batas maksimal kemampuan untuk menghadap kiblat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:
“Janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya ketika buang air kecil maupun buang air besar. Akan tetapi berpalinglah dari arah kiblat ke barat maupun ke timur.” [2]
Dalam hadits tersebut terdapat perintah bahwa antara barat dan timur merupakan arah kiblat bagi penduduk Madinah. Dan diketahui juga bahwa kiblat untuk penduduk Mesir adalah antara timur dan selatan.
Di antara cara yang digunakan untuk mengetahui arah kiblat lewat mihrab (tempat imam) di dalam masjid maupun menggunakan alat bantu seperti kompas.
Kapan Gugurnya Kewajiban Menghadap Kiblat?
Seperti yang telah diketahui, bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat. Namun ada beberapa pengecualian sehingga seseorang dibolehkan shalat tanpa menghadap kiblat:
Pertama, Orang yang tidak mampu menghadap kiblat. Seperti orang sakit yang tidak mampu bergerak dan tidak ada orang yang membantu mengarahkannya ke kiblat. Orang seperti ini dinyatakan “tidak mampu” dan dimaafkan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”[Al-Qur`an Surat: At-Thaghabun: 16]
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 286]
Kedua, Orang yang tidak mampu mengetahui arah kiblat, kemudian ia berijtihad dan shalat menghadap ke arah selain kiblat.
Bagi orang yang tidak mampu mengetahui arah kiblat, ia harus bertanya kepada orang yang dapat menunjukkan ke mana arah kiblat. Jika ia tidak mendapatkan orang yang menunjukkannya, maka dibolehkan berijtihad dalam menentukan arah tersebut.
Jika orang tersebut telah berijtihad dalam menentukan arah kiblat, kemudian di pertengahan shalat mengetahui bahwa ia telah menghadap ke arah yang salah, maka ia harus berputar ke arah kiblat meskipun masih dalam keadaan shalat, sebagaimana hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang telah dijelaskan di atas, dalam hadits tersebut dikatakan:
“Lalu seketika mereka berputar menghadap ke arah Ka’bah.”
Namun jika ia mengetahui kesalahan tersebut seusai melaksanakan shalat, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulanginya sebagaimana pendapat yang rajih, yaitu pendapat al-Tsauri, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Berdasarkan hadits Amir bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhuma:
“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan di malam yang gelap. Kami pun tidak mengetahui kemana arah kiblat. Maka setiap orang diantara kami menghadap ke arah –menurut ijtihad– masing-masing. Setelah pagi hari, kami menceritakan perkara ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [3] Maka turunlah ayat:
“Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.”[1]
Ketiga, Ketika dalam keadaan sangat ketakutan, baik karena adanya musuh maupun lainnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. — Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” [2]
Juga ditegaskan dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dalam pembahasan shalat khauf,
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا عَلَى أَقْدَامِهِمْ أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
“Jika rasa takut tersebut lebih daripada itu, maka mereka shalat dengan posisi berdiri atau dengan berkendara, baik menghadap kiblat maupun tidak.” [3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila perang telah berkecamuk, maka cukuplah shalat dengan takbir dan isyarat kepala.” [4]
Keempat, Shalat sunnah ketika bepergian dalam kondisi berkendaraan
Dibolehkan bagi seorang musafir yang sedang bepergian dalam keadaan berkendaraan (mobil, pesawat atau kapal laut) untuk melaksanakan shalat sunnah meskipun tidak menghadap kiblat jika tidak mampu.
Sebagaimana Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangannya sejak malam hari pada waktu bepergian. Ibnu Umar tak menghiraukan kemana hewan tunggangannya tersebut mengarahkannya. Ia pun berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertasbih [maksudnya: melaksanakan shalat sunnah] di atas hewan tunggangan beliau dan juga shalat witir –dengan menghadap– kemanapun arah hewan tersebut berjalan. Namun Rasulullah tidak melaksanakan shalat fardhu di atas hewan tunggangan.” [1]
Dan juga hadits Amir bin Rabi’ah radhiallahu ‘anhuma, berkata:
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengendarai hewan tunggangan beliau bertasbih (shalat sunnah) kepala beliau mengisyaratkan kemanapun hewan tersebut berarah. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah shalat fardhu di atas hewan tunggangan.”[2]
Diriwayatkan dari jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat (sunnah) di atas hewan tunggangan beliau kemanapun hewan tersebut mengarah. Namun ketika Rasulullah akan menunaikan shalat fardhu, beliau pun turun dari tunggangan –lalu shalat– dengan menghadap ke arah kiblat.” [3]
Jika mampu melaksanakan shalat sunnah di awali dengan menghadap kiblat, lalu ketika hewan tunggangan tersebut berjalan, maka menghadap sesuai arah kemana ia pergi, tentu itu lebih baik. Berdasarkan hadits:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika hendak melaksanakan shalat sunnah di atas unta (ketika dalam perjalanan) maka beliau menghadap kiblat, lalu mengucapkan takbir (takbiratul ihram) kemudian shalat mengikuti jalannya unta kemana saja berarah.” [4]
Pertanyaan: Jika seseorang mengendarai mobil –yang tidak ia setir sendiri– setelah shalat Zhuhur, dan tahu bahwa ia tidak akan sampai pada tujuan kecuali setelah Maghrib, apakah dia melaksanakan shalat Ashar di dalam mobil, atau shalat Ashar ketika sudah Maghrib?
Pendapat yang jelas adalah, ia harus menunaikan shalat Ashar pada waktunya –ketika di mobil– meskipun ia sendiri yang menyetir mobil dan tidak menghadap ke arah kiblat. Karena “waktu” berfungsi untuk menegaskan datangnya fardhu shalat –seperti yang dijelaskan sebelumnya– maka lebih didahulukan daripada menghaap kiblat yang merupakan syarat shalat. Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Hadits Riwayat: At-Tirmidzi (345). Lihat: al-Irwa’ (1/323). Dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh al-Albani.
[2] Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 115 (“Disitulah wajah Allah” maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, Karena ia selalu berhadapan dengan Allah.)
[3] Al-Qur`an Surat: Al-Baqarah: 238-239 (Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat Ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya)
[4] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (4535) dan Imam Malik (396)
[5] Hadits Riwayat: Al-Baihaqi (3/255), Sanadnya Shahih
[6] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (6251) dan Muslim (397)
[7] Hadits Shahih. Telah disebutkan dalam bab “Thaharah” (bersuci)
[8] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1098) dna Muslim (700)
[9] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (1098)
[10] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (400)
[11] Dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh al-Albani. Abu Daud (1225) dan yang lainnya. Lihat: “Shifatus Sahalatin Nabi” (hal. 75)