Fatwapedia.com – Yang dimaksud dengan peletak dari ilmu tafsir adalah orang yang pertama kali menyusun ilmu tafsir secara tersendiri, yang terpisah dari ilmu lainnya, bukan yang pertama kali menafsirkan Al-Qur’an. Yang pertama menafsirkan Al-Qur’an tentu Allah sendiri di dalam Al-Qur’an, karena ayat-ayat Al-Qur’an antara satu sama lain saling menafsirkan atau memperjelas. Juga Rasulullah ﷺ yang diberi tugas untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umatnya.
Di kalangan para sahabat ada para ahli tafsir. Yang paling terkenal adalah sepuluh sahabat. Yaitu, sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan, Khulafaur Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Selain mereka ada juga Aisyah, Abullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Anas bin Malik, Mu’adz bin Jabal, Jabir bin Abdillah. Radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Di kalangan tabi’in, dikenal tiga madrasah para ahli tafsir. Pertama, madrasah Mekkah yaitu murid-murid Ibnu ‘Abbas dan yang paling terkenal adalah Mujahid bin Jabr, ‘Atha bin Abi Robah, Thawus bin Kaisan, Ikrimah maula (mantan budak yang dimerdekakakan) Ibnu Abbas. Kedua, madrasah Madinah, yang paling terkenal adalah Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi. Ketiga, madrasah Iraq, yang paling terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Wazr bin Hubaisy, Ubaidah As-Salmani, ‘Amir bin Syurohil Asy-Sya’bi dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.
Pada era sahabat dan tabi’in, ilmu tafsir belum ditulis secara tersendiri dalam sebuah kitab. Barulah pada zaman tabi’ut tabi’in ilmu tafsir mulai ditulis. Di antara mereka ada yang memasukkannya sebagai salah satu pembahasan dalam kitab-kitab hadits, misalnya dalam kitab Shahih Bukhari kita akan dapati satu pembahasan tentang tafsir, begitu juga dalam shahih muslim dan lainnya. Adapula yang menuliskannya secara khusus dalam satu kitab. Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertama kali menuliskan ilmu tafsir secara tersendiri dalam satu kitab –seperti yang diceritakan oleh Syekh Ad-Dadaw hafizhahullah dalam muhadarah beliau- ada yang mengatakan Yazid bin Harun (118-206 H), namun kitab tafsirnya tidak sampai kepada kita. Ada juga yang mengatakan Abdur Razzaq Ash-Shan’ani (126-211 H), dan kitab tafsirnya sampai kepada kita.
Selain mereka berdua, As-Suyuthi menyebutkan para ulama lain yang menulis tafsir yaitu Sufyan bin ‘Uyainah, Waqi’ bin Al-Jarrah, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Adam bin Abi Iyash, Ishaq bin Rohawaih, Rauh bin Ubadah, Abd bin Hamid, Sa’id, Abu Bakr bin Abi Syaibah, dan yang lainnya. Setelah mereka datanglah Ibnu Jarir Ath-Thabari yang kitab tafsirnya merupakan kitab tafsir terbaik. Setelah Ath-Thabari juga ada para ulama yang menulis tafsir seperti Ibnu Abi Hatim, Ibnu Majah, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, Abu Syaikh bin Hayyan, Ibnu Mundzir dan yang lainnya. Namun, kebanyakan kitab tafsir yang mereka tulis, sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi, hanya mengkompilasi perkataan para sahabat dan tabi’in dalam penafsiran, kecuali Ibnu Jarir Ath-Thabari. Ia tidak hanya menyebutkan tafsir-tafsir dari para sahabat dan tabi’in, tapi ia juga melakukan perbandingan antara satu pendapat dengan yang lainnya serta memilih pendapat yang paling kuat. Selain itu, ia juga membahas dari sisi i’robnya dan kesimpulan hukum darinya. (Lihat Al-Itqan, hal. 592). Maka wajar, tafsir Ath-Thabari menjadi tafsir yang terbaik, yang menjadi rujukan penting bagi para ulama tafsir berikutnya. As-Suyuthi menyebutnya sebagai tafsir yang paling mulia dan paling besar, yang para ulama berijma bahwa tidak ada tafsir yang ditulis yang sebanding dengannya. Begitu pula imam Nawawi mengatakan : “Kitab Ibnu Jarir dalam tafsir, tidak ada seorang pun yang menulis sebanding dengannya.” Sehingga para ulama menggelarinya sebagai imam para ahli tafsir.
Tafsir-tafsir yang disebutkan di atas adalah termasuk ke dalam kategori madrasah al-atsar, atau yang dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Setelah itu, datanglah para ulama yang ahli dalam bidang-bidang ilmu tertentu. Kemudian mereka menulis tafsir yang coraknya didominasi oleh ilmu yang mereka kuasai tersebut. Inilah yang disebut dengan madrasah ar-ro’yi atau dikenal dengan tafsir bir-ro’yi atau bid-diroyah. Artinya, tafsir yang tidak hanya berpaku pada periwayatan saja, tetapi dengan melakukan analisis terhadap aspek kebahasaan, istinbat hukum dan lainnya. Maka datanglah ulama seperti Az-Zujaj, Al-Wahidi dalam kitab Al-Basith dan Abu Hayyan dalam kitab Al-Bahrul Muhit dan juga kitab An-Nahrul Mad sebagai ringkasan dari Al-Bahrul Muhit, yang dominan kajian tafsir mereka pada ilmu Nahwu. Lalu tafsir Al-Qurthubi yang dominan tafsirnya kepada fiqih dan istinbat hukum. Dan Fakhruddin Ar-Razi yang dominan tafsirnya pada ilmu-ilmu akal. Dan lain sebagainya.
Penamaan
Ilmu ini dinamakan dengan ilmu Tafsir.
Cakupan (Istimdad) Ilmu Tafsir
Istimdad ilmu tafsir adalah ilmu lain yang menjadi sumber rujukan, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Asyur dalam muqaddimah tafsirnya, adalah ilmu bahasa Arab, ilmu atsar (hadits), berita orang-orang Arab dan ushul Fiqih. Ada juga yang menambahkan ilmu Kalam dan ilmu Qiro’at. Namun, yang lebih tepat, ilmu kalam bukanlah termasuk istimdad dari ilmu tafsir, karena tafsir tidak bergantung kepada adanya ilmu kalam. Ilmu kalam yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an hanya dalam rangka memperdalam saja, meluaskan pembahasan, bukan hal yang utama, seperti juga ilmu-ilmu akal yang banyak dikemukakan oleh Ar-Razi dalam tafsirnya, sehingga tidak termasuk ke dalam istimdadnya.
Ilmu bahasa Arab yaitu mencakup matan Lughah, tashrif, Nahwu, Ma’ani, Bayan, dan seluruh penggunaan orang Arab yang bahasa Arabnya masih murni dalam perkataan-perkataan mereka yang ada kaitannya dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ilmu atsar (hadits) yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ dalam menjelaskan maksud sebagian ayat Al-Qur’an pada tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerancuan atau untuk memperjelas makna yang masih global. Hadits-hadits semacam ini, yaitu yang memberi penafsiran langsung pada lafazh ayat, sangat sedikit ditemui.
Atsar juga mencakup ijma para ulama terhadap tafsir suatu makna dalam ayat Al-Qur’an. Misalnya ijma mereka dalam memaknai saudari perempuan dalam ayat kalalah, maksudnya adalah saudari perempuan seibu, yang dimaksud dengan shalat pada surat Al-Jumu’ah adalah shalat jum’at. Begitu pula makna yang dimaksudkan dari shalat dan zakat adalah suatu ibadah yang memiliki tatacara khusus yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ.
Adapun ilmu qiro’at, ia tidak dibutuhkan dalam ilmu tafsir kecuali ketika menjadikannya sebagai dalil terhadap penafsiran makna lain dari suatu lafazh dalam ayat. Perannya untuk memilih makna paling kuat dari berbagai kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya, atau untuk lebih memperjelas maknanya. Menyebutkan ilmu qiro’at ini seperti halnya menyebutkan perkataan orang-orang Arab yang menjadi bukti pendukung (syahid).
Hukum Mempelajari Ilmu Tafsir
Hukum mempelajari ilmu tafsir adalah fardu kifayah. Artinya, di setiap negeri-negeri muslim mesti ada yang mempelajari ilmu tafsir agar memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya dan kewajiban yang mesti diamalkan darinya. Jika pada suatu negeri tidak ada seorang pun yang mempelajarinya, tentu mereka semua berdosa.
Masa`il Ilmu Tafsir
Yang dimaksud dengan masa`il dari suatu ilmu adalah tema-tema besar yang dibahas dalam ilmu tersebut. Dalam pembahasan masail ilmu tafsir ini saya memandang apa yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Hasan Ad-Dadaw Asy-Syanqithi hafizhahullah dalam muhadarah beliau tentang muqaddimah ilmu-ilmu syar’I adalah pemaparan yang sangat bagus. Beliau mengatakan bahwa tema-tema Al-Qur’an ini berkisar pada enam hal, yaitu :
- Aqidah dan yang berkaitan dengan tauhid
- Syariat dan yang berkaitan dengan hukum
- Akhlaq
- Kisah-kisah dan pelajaran-pelajarannya
- Tanda-tanda kiamat, gambaran kejadian kiamat dan yang berkaitan dengannya
- Ilmu-ilmu yang mengatur kehidupan manusia yang dapat disingkap melalui penelitian, baik itu berkaitan dengan alam, bahasa, makhluk hidup, dan lainnya
Enam tema ini, kata beliau, selaras dengan jumlah ayat Al-Qur’an itu sendiri yaitu enam ribuan lebih. Dimana para ulama sepakat tentang jumlah enam ribunya, namun berbeda pendapat tentang lebihnya.
Masail ilmu ini, menurut beliau, bisa diurutkan dengan dibagi kepada dua bagian, yaitu muqaddimah dan dasar (ashl). Muqaddimah mencakup muqaddimah kitab dan muqaddimah ilmu. Muqaddimah kitab berisi tentang apa yang ditulis oleh penulis dalam tafsirnya, manhaj penulisannya dan latar belakang penulisannya. Sedangkan muqaddimah ilmu berisi tentang pengantar-pengantar yang diperlukan untuk memahami tafsir (disebut ilmu ushul tafsir), tentang makna tafsir itu sendiri, metode tafsir, kaidah-kaidah tafsir dan sebagainya.
Adapun tema dasar (ashl) dalam masail tafsir, menurut beliau, adalah menafsirkan setiap surat dalam Al-Qur’an sesuai dengan ketentuannya. Kemudian Syekh menyebutkan sistematika penafsiran sebagai berikut :
- Mengikat surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya dengan menjelaskan sisi keterkaitannya (wajhul munasabah)
- Menyebutkan apakah surat tersebut Makiyyah atau Madaniyyah dan sejarah turunnya
- Menjelaskan korelasi (munasabah) antara ayat-ayat dan potongan-potongannya (maksudnya kelompok ayat yang sesuai temanya). Jika mampu maka hendaklah menampilkan tema-tema pembahasan dalam surat tersebut dan makna terpenting yang terkandung di dalamnya, seperti yang dilakukan oleh Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi Zhilalil Qur’an. Lalu menjelaskan tema-tema tersebut.
- Menyebutkan asbabun nuzul. Jika dalam surat tersebut hanya ada satu asbabun nuzul, maka sebutkan di pengantar suratnya. Namun jika banyak, maka sebutkan pada suatu kelompok ayat yang temanya sesuai. Dan menjadikan setiap kelompok ayat tersebut seperti satu surat penuh.
- Ketika masuk kepada penjelasan ayat, maka hendaklah membahas lafazh-lafazhnya (maksudnya dengan menjelaskan makna kosa katanya yang diambil dari ilmu matan Lughah dan juga pola-pola kata yang diambil dari ilmu tashrif). Juga menjelaskan cara-cara pembacaannya, dengan menjelaskan bentuk-bentuk yang mutawatir dalam ilmu qiro’at, lalu menisbatkan qiro’at tersebut kepada para qorinya yang terkenal, dan menjelaskan perbedaan qiro’at tersebut apakah berpengaruh kepada perbedaan makna ataukah tidak, dan apakah perbedaan qiro’at tersebut saling menafsirkan satu sama lain.
- Menjelaskan bentuk-bentuk i’robnya (diambil dari ilmu Nahwu) dalam satu ayat penuh. Tetapi hendaklah fokus pada kata-kata yang dapat menimbulkan perbedaan petunjuk makna (dilalah) yang dihasilkan dari perbedaan bentuk i’rob. Adapun menyebutkan marfunya fa’il dan manshubnya maf’ul, hal itu adalah sesuatu yang sudah banyak diketahui, tidak selayaknya seorang mufassir mencurahkan waktu dan perhatiannya yang besar pada hal itu. Adapun tentang jar-majrur dan muta’alliqnya yang dibuang dan yang semacamnya adalah pembahasan yang cukup penting untuk diberi perhatian, karena dengan hal itu nash bisa dipahami.
- Menganalisis kesatuan lafazh-lafazhnya dalam kalimat (tahlil bunyawi). Setiap lafazh hendaklah dianalisis dengan analisis yang sesuai dengan petunjuk maknanya, menganalisis keterkaitan antara satu lafazh dengan lainnya, mengapa lafazh tersebut yang dipilih pada posisi tertentu, dan mengapa bukan lafazh yang lainnya, menganalisis kesatuan antar kalimat, memahami muta’alliqatul fi’li antara mubtada dan khobar dan keterkaitannya. Apa sisi balaghah dan sisi kemu’jizatannya. (Ini dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu Balaghah). Menaruh perhatian pada sisi kemu’jizatan balaghah dan kemu’jizatan pensyariatan sangat penting. Begitu pula sisi kemu’jizatan ilmiah (melalui pembuktian di alam semesta), jika memang seorang mufassir tersebut ahli dalam bidang ilmu tersebut. Misalnya yang berkaitan dengan keagungan Allah yang ditunjuki oleh keagungan alam dan kehebatan penciptaan. Karena banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat kepadanya.
- Di bagian akhir, setelah selesai menguraikan ayat, ia menarik berbagai kesimpulan yang terkandung di dalam ayat tersebut, baik berkenaan dengan fiqih, aqidah, dan lainnya. Dalam hal menyimpulkan fiqih, janganlah ia condong kepada satu madzhab. Karena hal itu berkonsekwensi menimbulkan sikap fanatik dan membatasi makna ayat pada madzhabnya yang ia sebutkan. Seperti yang dilakukan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Iklil fi ‘Ulum At-Tanzil, dimana ia menyebutkan berbagai istinbat hukum dari suatu ayat.
- Setelah selesai menafsirkan potongan surat (kelompok ayat yang memiliki kesamaan tema), hendaklah di akhir memberikan penutup yang berfungsi untuk mengikat pembahasan sebelumnya pada akal pikiran, baik itu dengan memberikan pertanyaan ataupun pernyataan bahwa pembahasan tema tersebut telah berakhir, agar bersiap untuk sampai kepada tema pembahasan selanjutnya.
Dengan sepuluh muqaddimah ilmu tafsir yang telah dipaparkan di atas, maka lengkaplah landasan untuk kokohnya sebuah ilmu. Sebagaimana dikemukakan oleh Ash-Shabban dalam bait nazhomnya :
إِنَّ مَبَادِئَ كُلِّ فَنٍّ عَشْرَة الحَدُّ وَالْمَوْضُوْعُ ثُمُّ الثَّمَرَة
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالْوَاضِع وَالإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِع
مَسَائِلٌ وَالْبَعْضُ بِالْبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الْجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَ
“Sesungguhnya permulaan-permulaan setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh
Definisi, objek ilmunya, kemudian buahnya (manfaatnya)
Penisbatannya kepada ilmu lain, keutamaannya, dan peletaknya
Namanya, istimdadnya (asal pengambilan ilmunya), hukumnya secara syariat
Pembahasannya. Satu dengan lainnya telah tercukupi
Siapa yang dapat menempuh semuanya itu, layaklah ia menyandang kemuliaan.”
Demikian tulisan tentang sejarah kepenulisan ilmu tafsir dan tokoh-tokoh peletak dasar ilmu tafsir beserta karya-karyanya. Wallahu A’lam.
Penulis: Muhammad Atim