Fatwapedia.com – Jika di Jawa ada aksara Pegon, di negeri Melayu terdapat Tulisan Jawi, dan muslim Andalusia memiliki Texto Aljamiado, maka orang Hui di Tiongkok punya Xiaoerjing ( 小儿经 ), yaitu sistem penulisan rumpun bahasa Mandarin dengan menggunakan huruf-huruf Hijaiyah dan beberapa huruf modifikasi seperti huruf پُ (婆;pó), ٿٍ(勤;qín), ٿْو (穷;qióng) dan sebagainya sampai berjumlah 32 huruf, ditambah empat bentuk tulisan sufiks, sembilan vokal utama serta empat tanda baca. Secara harfiah, Xiaoerjing bisa diartikan sebagai aksara kanak-kanak.
Di Tiongkok aksara ini memiliki banyak sebutan seperti 小儿锦 ( xiǎo’ér jǐn ) 消经 ( Xīaojīng ) dan 小经 ( Xiǎo jīng ). Selain suku Hui, suku muslim lainnya seperti Dongxian dan Salar mengadopsi huruf ini sebagai aksara tulis mereka. Suku Dongxian menyebutnya Dōngxiān Wén ( 东乡文 ) atau huíhuí Wén ( 回回文 ) dan suku Salar menyebutnya Sālā Wén ( 撒拉文 ).Suku Dungan juga memakai huruf Xiaoerjing sebelum akhirnya memakai abjad Sirilik. Meski diturunkan dari abjad Arab-Persia, huruf ini tidak sama dengan huruf Uyghur yang dipakai muslim Xinjiang untuk menuliskan bahasa Uyghur.
Sejarah munculnya huruf Xiaoerjing mesti dirunut sejak datangnya bangsa Arab dan Persia ke Tiongkok dari zaman Dinasti Tang dan meningkat di era Dinasti Yuan yang banyak merekrut bangsa Hui dan Semu untuk dipekerjakan. Dalam waktu lama mereka memiliki keturunan di sana serta berasimilasi dengan bangsa Han, tentunya mereka harus bisa berbahasa Mandarin. Orang Hui yang kesulitan menulis karakter Hanzi kemudian memakai huruf Hijaiyah serta beberapa huruf modifikasi untuk menulis kata-kata bahasa Mandarin. Dari sinilah huruf Xiaoerjing muncul di kalangan muslim Hui. Huruf Xiaoerjing tertua yang ditemukan berasal dari tahun 740 H/1339 M. pada sebuah prasasti di Masjid Daxue Xixian di kota Xian. Beberapa papan penunjuk jalan di kota-kota Mayoritas muslim di Tiongkok masih menyertakan tulisan Xiaoerjing pada nama jalan atau tempat.
Pada mulanya sistem penulisan Huruf Xiaoerjing belum memiliki pembakuan hingga akhirnya diformulasikan oleh master Hu Dengzhou ( 胡登洲 ), sang Hujjatul Islam-nya orang Tionghoa dari perguruan Jingtai ( Jingtai Jiaoyu; 經堂教育 ) pada masa awal pemerintahan Dinasti Ming. Penulisan baku Huruf Xiaoerjing yang dipakai dalam pembelajaran agama disebut sistem Masjid, sedangkan untuk keperluan sehari-hari semisal surat menyurat tidak terikat dengan sistem tersebut.
Sekarang penggunaannya hanya dalam tradisi literasi keagamaan oleh para Ahong, Manla, ataupun muslim Hui yang sudah lanjut usia. Layaknya terjemahan kitab turots pesantren di Jawa yang mengunakan aksara Pegon, rata-rata kitab islami dari berbagai aliran Menhuan masih ditulis dengan huruf Xiaoerjing seperti Syarah Kitab Lamaat, kitab At-Tauhid, atau Terjemahan Al-Qur’an karya Ma Zhenwu, seorang Akhund Jahriyyah Menhuan, yang ditulis memakai huruf Xiaoerjing berdampingan dengan karakter Hanzi. Tetapi dewasa ini pemakaian karakter Hanzi dalam menulis karya-karya islami lebih dipilih karena dapat menjangkau banyak kalangan sehingga huruf Xiaoerjing mulai jarang dipakai. Wallahu A’lam Bisshawab
Oleh: Abu Bakar Ibn Ghazali Al-Kailandari
Referensi:
- Shoujiang, Mi, dan You Jia. 2017. Islam in China: mengenal Islam di negeri leluhur. Alih bahasa Kurnia NK. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.
- Sobieroj, Florian. 2016. Variance in Arabic Manuscripts. Berlin :Walter de Gruyter GmbH & Co KG.