Fikroh.com – Pertanyaan penting nan menyejarah: Kapan kaum Muslimin diserang dan dikuasai musuh? Dan kapan mereka sukses melawan agresi mereka?
Salah satu pola penting yang dapat dibaca adalah bahwa mereka diserang ketika dalam keadaan lemah dan saling bermusuhan satu sama lain. Dan berhasil menahan dan bahkan menundukkan musuhnya ketika bersatu atau setidaknya berhenti memusuhi satu sama lain.
Hanya saja, mengutip Prof Nazeer Ahmad, 90 persen problem umat Islam sepanjang terkait kepemimpinan politik adalah sepenuhnya problem domestik, yakni intrik dan berikutnya perpecahan politik.
Dalam kekacauan domestik itu, selalu menjadi momentum politik bagi musuh-musuh Islam untuk mengambil kesempatan untuk menyerang, menduduki dan membinasakan.
Jatuhnya Al Quds atau Yerusalem pada Perang Salib I diawali dari problem domestik negeri-negari Islam yang saling bermusuhan satu sama lain. Para amir di sepanjang pantai Suriah memiliki mindset (cara berpikir) yang sempit dan egoistik bahwa jatuhnya para amir rivalnya dianggap sebagai peluang (windows of opprtunity) untuk menyingkirkan lawan dan meneguhkan posisi politiknya.
Hampir tidak ada mindset holistik, yang merepresentasikan cara pandang pemimpin yang cermat dan memahami prioritas. Jika anda tidak dapat menghadapi semua musuhmu, maka anda harus bekerjasama dengan musuh-musuh kecil untuk menghadapi musuh besarmu. Itu kurang lebih doktrin seharusnya.
Ketika pasukan Salib menyeberang laut Mediterania, dan untuk pertamanya menarget kota benteng Antioch, maka Amir Antioch, Yaghi-Siyan segera berkirim surat kepada para amir sekitarnya untuk meminta bantuan. Sayangnya, para amir itu menolak untuk membantu karena dua alasan, pertama, mereka tidak sedang terancam dan kedua, jika Antioch jatuh maka mereka kehilangan satu rivalnya.
Mereka lupa jika target utama Perang Salib adalah direbutnya kembali kota suci Yerusalem. Dan untuk itu, mereka harus mengamankan jalur LoC (Lines of communication), baik untuk militer dan suplai logistik dari Eropa tenggara, sepanjang pantai Suriah hingga Yerusalem.
Hanya dibutuhkan 3 tahun untuk merebut Yerusalem sejak kejatuhan Antioch. Kejatuhan Antioch berarti kejatuhan para amir di Lantakia, Arwad, Tortosa, Tripoli, Byblos, Beirut, Sidon, Tyre, Acre, Caesarea, Jaffa dan akhirnya Yerusalem. Untuk mengamankannya, mereka membagi wilayah-wilayah yang dikuasainya menjadi empat kerajaan Kristen, Antioch, Edessa, Tripoli dan yang terbesar, Kerajaan Yerusalem.
Pola sama terjadi pada 1501 hingga 1526, gelombang ekspansi Portugis dan Spanyol terjadi ketika tiga dinasti besar di dunia Islam saling berperang satu sama lain. Mamluk versus Safawi dan Mamluk.
Di Afrika Utara pasca kejatuhan Muwahiddun, Spanyol menduduki Mars al Kabir (1505), Oran (1509), Bogie (1510), Libya (1511) dan Tlemcen (1512). Hingga 1530, Spanyol menundukkan mayoritas pusat-pusat perdagangan di pantai Mediteranian di Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Sementara Portugis menduduki Agadir (1502), Safi (1507) dan Azemur (1513). Hingga 1515, Portugis mengendalikan semua pantai Barat dari Maroko hingga Semenanjung Horn.
Dari sini, kita memahami pola menyejarah dalam setiap kejatuhan dan kebangkitan peradaban dan sayangnya, kita juga memahami bahwa kita ternyata lebih banyak mengulangi faktor-faktor kejatuhannya.
Kata bijak, keledai tidak akan terjerumus ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Namun yang melegakan, kita bukan keledai sehingga boleh jatuh ke lubang yang sama beberapa kali.