Fikroh.com – Sempat ramai ada seorang bocah perempuan mengatakan, agama orang Indonesia adalah agama warisan, terutama bagi mereka yang beragama Islam. Termasuk ia sendiri, yang mendapatkan agama Islam dari kedua orang tuanya, sehingga ia merasa agama yang dianutnya bukanlah pilihannya seratus persen.
Ada kesamaan antara penulis dan bocah tadi, kita sama-sama dilahirkan dari keluarga yang Islam dan kita mendapat agama ini dalam bentuk warisan dari orang tua. Ya,kita sama-sama “didoktrin” oleh kedua orang tua untuk beragama Islam. Tapi letak perbedaan kami, ia merasa dirugikan dengan “agama warisan” itu, sedangkan penulis benar-benar bersyukur dengan agama warisan ini. Bagaimana tidak, mendegar kisah beberapa muallaf yang menyatakan dirinya masuk Islam, mereka memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berifkir, mereka juga memerlukan ilmu yang cukup luas untuk menemukan kebenaran ini. Sedangkan kita yang sudah diberi anugerah menjadi Islam sejak kecil, tidak perlu bersusah-payah mempelajari semua agama hingga menemukan agama yang paling benar yaitu Islam.
Salah satu contohnya adalah Prof. Mauric Bucaille, seorang ahli bedah kenamaan Prancis yang memeluk Islam setelah melakukan penelitian pada jasad mumi Fir’aun Ramsis II. Mauric berkesimpulan bahwa Fir’aun mati dalam keadaan tenggelam di laut, dengan bukti sebutir garam di mumi Fir’aun. Hal itu sebelum ia mengenal Islam dan al-Quran. Hingga kemudian ada salah satu stafnya yang berbisik, bahwa kesimpuan dari penelitian yang Murice lakukan itu sudah diketahui Umat Islam melalui al-Quran mereka. Maurice terkejut dan membuatnya ingin mempelajari al-Quran. Singkat cerita, Maurice mempelajari al-Quran dengan backgroundnya sebagai seorang ilmuan sains dan kedokteran. Selama itu ia sangat terkagum dengan fakta ilmiah yang disampaikan al-Quran, hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk memeluk agama Islam. Hasil penelitiannya juga dibukukan dalam karya yang berjudul “Bibel, Alquran dan Ilmu Pengetahuan Modern” , dengan judul asli dalam bahasa Prancis, “La Bible, le Coran et la Science” . Buku yang dirilis tahun 1976 ini menjadi best-seller internasional di dunia Muslim dan telah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa utama di dunia.
Kalau kita lihat di era pertama Baginda Nabi menyampaikan dakwahnya, para sahabat diuji dengan dasyat. Mereka diuji untuk meninggalkan agama nenek moyang untuk kemudian memeluk agama Islam. Tentu hal itu tidaklah mudah, karena banyak juga yang memungkiri dakwah Nabi, seperti pamannya sendiri Abu Jahal dan Abu Lahab. Maka tidak ayal jika al-Quran melabeli para Sahabat yang beriman dengan Islam sebagai umat yang paling utama ( Khairul ummah).
Polemik tentang agama warisan tidak lepas dari pembahasan para ulama kalam (teolog), yang mereka sebut dengan istilah “Imanul muqallid”
atau imannya orang-orang yang hanya ikut-ikut. Imam al-Maturidi (W. 333 H.) berpendapat bahwa Imannya muqallid dianggap sah, dan mereka sudah dianggap selamat di akhirat kelak.
[1] Imam al-Amidi (W. 631 H) juga bependapat bahwasanya keimanan orang awam sah, tidak dihukumi Kafir. Imam ad-Dardiri (W. 1201 H.) dalam Kharidah juga berpendapat bahwa Iman mereka sudah bisa diterima alias sah. [2] Jadi sampai di sini, agama waisan tidak dianggap bermasalah. TIdak pelru takut lagi dicibir ‘sebagai boneka’ karena menganut agama warisan.
Kemudian para ulama menjelaskan, keimanan mereka dikatakan cukup meski tidak mengetahui dalil secara terperinci. Cukup mengetahui argumentasi umum, seperti argumntasi bahwa alam semesta ini adalah tanda keberadaan Allah swt. Namun kemudian ulama mempertegas, bahwa orang yang sebenarnya mampu mengetahui dalil secara terperinci namun tidak melakukannya, ia dihukumi telah bermaksiat. [3]
Dalam magnum opusnya; Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan, merupakan anugerah yang sangat besar jika seseorang dilahirkan dari orang tua yang beragama Islam, karena ia sudah dianggap beriman tanpa harus bersusah-payah mempelajari argumentasi kaum teolog. [4] Dan termasuk kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mendidik dan mengajarkannya tentang keimanan kepada Allah swt. Namun Imam al-Ghazali tidak memungkiri bahwasanya iman orang muqallid begitu rapuh, jika tidak disertai dengan usaha memperkuat iman tersebut.
Ulama juga membahas secara detail hukum mengucapkan kalimat syahadat , bahwasanya kalimat ini wajib diucapkan selama masih mampu. Sejak mengucap syahadat itulah, orang tersebut dikatakan sebagai muslim, meski masih melakukan maksiat dan tidak melaksanakan kewajiban agama.
Ada fenomena yang banyak terjadi, di mana beberapa anak-anak merasa belum mengucapkan kalimat syahadat selama ia lahir. Ia dilahirkan dari kedua orang tua muslim yang taat. kedua orangtuanya tidak pernah menyuruhnya mengucap syahadat sehingga ia bisa dikatakan Islam, orang tuanya hanya mendidiknya sholat, puasa dan melaksanakan kewajiban dalam agama. Lalu bagaimana hukum anak tersebut?.Jawabannya, anak tersebut adalah seorang muslim yang sah menurut para ulama. Ia juga dihukumi sebagaimana orang yang mengucap syahadat. [5] Terlebih lagi jika anak tersebut sudah melakukan sholat, kita semua tahu dalam doa tasyahhud ada ucapan syahadat di sana, ituun sudah dianggap bersyahadat. Bukankah kita di Indonesia sering mendengar kalimat azan? Bukankah kita dulu diajarkan menjawab azan? Ya itu semua adalah kalimat syahadat.
Dengan demikian, jika pembaca memeluk agama ini atas dasar warisan orang tua, maka bersyukurlah, dan senantiasa meningkatkan keimanan. Kita melihat banyak bahkan hampir semua ulama mendapatkan agama, bahkan ilmunya dari kedua orang tuanya, lalu di mana letak aibnya? Menapa harus menggungat seseorang hanya beragama atas warisan. Bagaimana dengan dilahrikannya dari rahim seorang wanita yang mengasuhnya hingga dewasa, apakah itu merupakan bahan olokan. Bagaimana jika dulunya ia dilahirkan dari watina pezina, yang menggugurkan anaknya dan membuangnya di selkan? Maka pintar-pintarlah bersyukur.
Oleh: Ali Afifi Al Azhari